Sabtu, 25 Mei 2013
In:
KAU
KAU *last part
Penayangan perdana program jalan-jalan akan dilakukan besok.
Aku sedikit terkejut ketika tim memperlihatkan video yang sudah diedit padaku.
Sebelum host membuka acara, di latar belakang terlihat sekelompok sky divers
yang sedang membuat formasi di langit.
”Eh, ini siapa yang ambil?” tanyaku.
”Debo, Bu,” jawab salah satu dari tim.
”Di mana?”
”Di lokasi.”
”Boleh nanti saya lihat rekaman aslinya?”
”Yang sky divers saja? Oke, nanti saya suruh Debo kirim.”
”Nggak usah, biar saya yang ke sana saja. Tolong katakan padanya untuk menyiapkan rekaman itu.”
Hasil video untuk tayangan perdana program jalan-jalan ini cukup bagus ketika kutunjukkan pada Pak Duta, beliau pun setuju dengan pendapatku. Siangnya, aku menemui Debo di studio. Ketika rekaman para sky divers yang sedang membentuk formasi diputar, aku meminta Debo untuk menghentikan dan memperbesar gambar. Aku ingin melihat wajah mereka satu per satu. Tapi aku kecewa.
”Maaf, Bu, saya pikir karena ini hanya sebagai background saja, saya tidak merekam dengan kualitas yang super. Jadi kalau diperbesar hasilnya pecah seperti ini.”
”Tidak bisa diakali, De? Saya ingin melihat wajah mereka satu per satu.”
”Maaf, Bu, sepertinya tidak bisa.”
Aku terhempas dalam kekecewaan. Padahal aku berharap banyak bisa melihat wajah orang yang kukira Cakka itu.
”Tapi, Bu, saya sempat ngobrol kok sama mereka waktu di hotel. Mereka kan menginap di hotel yang sama dengan kita.”
”Oh ya?” Aku jadi bersemangat. ”Terus, kamu tau mereka dari kelompok mana?”
”Mereka ini para pecinta olahraga ekstrem yang profesional. Tidak hanya sky diving, mereka juga melakukan bungee jumping, caving, macem-macem. Pokoknya semua olahraga ekstrem mereka lakukan. Base mereka di Bandung.”
”Nama kelompoknya?”
”Extrem Sports-apa-gitu, saya lupa.” Oke, lumayan.
Aku kembali ke kantor dan mulai mencari di internet informasi mengenai kelompok ini. Ternyata tidak mudah, karena nama extreme sports yang aku jadikan kata kunci menghasilkan ribuan informasi. Ketika kupersempit menjadi 'extreme sports Bandung', masih ratusan informasi yang kudapatkan. Aku harus membaca satu per satu. Sekali-kali aku lost track karena ingin membaca informasi lebih dalam mengenai olahraga menantang ini. Dan dari yang kubaca, para pelaku olahraga ini adalah orang-orang yang tak memiliki rasa takut sama sekali. Sampai sore aku belum juga menemukan informasi mengenai kelompok extreme sports yang bekerja sama dengan Angel.
Malamnya kutelepon Mama. ”Ma, nonton acara baru Shilla ya besok sore.”
”Pasti dong, pukul berapa? Biar Mama SMS teman-teman Mama juga. ”
Setelah kuberitahukan hari dan tanggal serta jamnya, dan selesai kutanyakan keadaan Papa, aku berperang melawan batinku; sebaiknya kutanyakan lewat Mama nggak ya perihal Cakka? Terakhir aku dengar dari Mama kalau Ny. Winda pergi ke Singapura untuk berobat karena sempat terkena stroke ringan. Berkali-kali kucoba menghubunginya, tetapi tidak tersambung, mungkin beliau masih di Singapura atau nomor HP-nya ganti? Mama mungkin masih suka teleponan dengan beliau. Harapanku, Mama bisa menanyakan ke Ny. Winda mengenai Cakka, apakah dia masih hidup atau tidak. Tapi aku takut Mama malah marah karena Mama sudah nggak mau dengar lagi tentang Cakka dan mungkin saja mereka sudah lost contact. Haahh.. aku benar-benar bingung hingga akhirnya saat pembicaraan dengan Mama berakhir, nama Cakka tak muncul dalam pembicaraan kami.
”Aku cari sendiri aja, deh! Aku harus yakin dulu kalau memang itu Cakka,” gumamku sendiri. Kuintip dari balik jendela kamarku, lagi-lagi sepotong awan kumulus yang menemaniku malam ini.
”Hai kamu, kita sendiri lagi malam ini. Apakah kamu bisa melihat Cakka-ku dari atas sana? Tolong sampaikan salam rinduku untuknya, ya..” Sejenak kutatap awan kumulus tersebut dan membayangkan Cakka menatap awan yang sama malam ini.
***
”Very good, Ashilla! I'm sure program Amazing Trip ini akan bakal mengikuti sukses acara Komar,” puji Pak Duta.
”Amin, Pak. Tapi tentunya semua tak akan berhasil tanpa tim saya di sini.” Seluruh anggota tim dan kru yang ikut menonton tayang perdana program Amazing Trip bertepuk tangan dan semua terlihat bahagia.
”Om bangga padamu, Shilla.” Om Dave menepuk-nepuk bahuku.
”Terima kasih, Om. Sekarang silakan semua menikmati hidangan yang sudah disediakan.” Aku mempersilakan seluruh yang hadir di studio untuk menyantap nasi tumpeng yang telah kupesan. Setelah semua sibuk sendiri-sendiri, aku menyelinap keluar dan kembali ke kantorku. Aku ingin mencari lagi informasi tentang kelompok extreme sport.
Baru saja kubuka laptopku, pintu ruangan diketuk dan kepala Gabriel menyembul dari baliknya.
”Shil, gue dapat nih informasi yang lo cari.” Gabriel menyerahkan secarik kertas padaku.
”Bener ini kelompok extreme sport yang waktu itu shooting di Lido?” Aku memang meminta bantuan Gabriel untuk ikut mencari keberadaan kelompok itu. As a true friend, Gabriel melaksanakan tugasnya tanpa banyak komentar.
”Bener. Gue kan udah cek. Tapi, sorry, mereka nggak kenal yang namanya Cakka.”
”Oh?” Aku spechless.
”Gue udah telepon ke mereka untuk menanyakan Cakka, tapi mereka bilang nggak ada yang namanya Cakka di sana. Dan saat gue tanya apa ada bekas pilot yang gabung sama mereka, jawabnya nggak ada.”
”Oh, I see. Mungkin dia di kelompok yang lain.”
”Ya, mungkin aja. Sorry, cuma itu yang bisa gue bantu, Shil.”
”Sip, thanks, ya.” Gabriel keluar ruangan dan aku menatap tulisan di kertas tersebut; 'Extremeezport' dan nomor telepon daerah Bandung.
Tanpa membuang waktu, aku langsung meraih telepon dan menghubungi nomor telepon itu.
”Halo, apa benar ini base camp Extremeezport?” tanyaku begitu tersambung.
”Ya betul. Boleh saya tau dari mana ini ya?” Terdengar suara perempuan yang menjawab telepon.
”Nama saya Ashilla. Saya dari sebuah stasiun televisi di Jakarta. Saya ingin sekali bertemu dan berbincang dengan anggota Extremeezport, apakah saya bisa membuat janji?”
”Oh, maaf, kami sudah teken kontrak dengan stasiun televisi lain di Bandung, jadi jadwalnya sedikit padat karena harus shooting keluar kota, sepertinya agak susah ya.”
”Ya, ya saya mengerti. Kalau boleh tahu, anggota Extremeezport ini bisa melakukan olahraga ekstrem apa saja ya?”
”Semua yang ekstrem bisa mereka lakukan. Mereka profesional, Bu.”
”Oh begitu. Boleh saya tahu di mana jadwal shooting selanjutnya?”
”Sumatra Utara, di Sungai Asahan.”
”Olahraganya apa?”
”Arung jeram.”
Kuketik lokasi tersebut di Google Search dan menemukan banyak gambar-gambar arung jeram dengan kata kunci 'arung jeram asahan'.
”Lokasi ini sangat ekstrem, Bu,” kata si penerima telepon tadi. ”Kabarnya ini arung jeram ketiga tersulit di seluruh dunia.”
Setelah membaca-baca informasi yang tersedia mengenai arung jeram di Sungai Asahan, aku pun mencari lokasi yang tepat untuk tempat shooting Amazing Trip. Lokasi tersebut harus tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Jadi bisa sebagai alasan untuk mencoba arung jeram yang ada di sana. Sekali menyelam, dua tiga pulau terlampaui, kan? Senyumku lebar dan harapanku tinggi bisa bertemu Cakka di sana. Tiga minggu lagi aku akan bisa bertemu dengan Cakka-ku. Aku yakin!
***
Semua persiapan sudah matang, dan Zeva pun sudah kuberi pengarahan sepanjang jalan menuju bandara. Wajah cantiknya sedikit pucat ketika aku mengatakan bahwa nanti dia pun harus ikut merasakan arung jeram agar lebih real dan natural.
”Apa saya harus ikut, Bu?” tanyanya.
”Iya! Kan sudah ada dalam kontrak kerja kamu kalau kamu mencoba pengalaman apa pun yang ditawarkan di daerah yang dikunjungi.”
”Ya, tapi...”
”Kita nanti ambil jalut yang paling ringan kok, tenang saja.”
”Tapi, Bu, kita bukannya mau meliput Danau Toba?”
”Iya, Sungai Asahan itu hulunya di Danau Toba. Masih satu jalur, kan?”
Sepanjang perjalanan, dalam pesawat Zeva yang biasanya banyak celoteh kini diam saja melihat keluar jendela pesawat. Kemurungannya yang tiba-tiba ini kuartikan karena dia takut mengarungi arung jeram. Kuhela napas panjang. Memang susah kalau punya host cengeng.
”Ze, biar nanti saya saja yang mencoba arung jeramnya. Kamu dari pinggir saja menggambarkan situasi yang ada, gimana?”
”Betulan, Bu? Saya nggak perlu nyebur?” tanyanya dengan wajah berbinar-binar.
”Iya...”
”Terima kasih, Bu, terima kasih.. Saya soalnya takut, karena saya pernah dengar di arung jeram Sungai Asahan itu pernah ada yang jatuh dan meninggal.”
Eh? Glek! Aku menelan ludah dengan susah payah. Ada yang pernah meninggal? Ini informasi baru, aku kok lupa mencari di internet tentang korban arung jeram di sana.
***
Di bandar udara, dua bus ukuran tanggung sudah menunggu rombongan kami. Memang Om Dave paling top deh! Bus ini milik perusahaan sewa keluarga kami yang disewa oleh Om Dave untuk mengantar kami ke mana-mana. Untuk hotelnya pun tak tanggung-tanggung, hotel paling dekat dengan Danau Toba dan mendapat kamar dengan pemandangan yang paling bagus.
Kami diajak berkeliling dahulu sebelum ke hotel untuk menikmati panorama Kota Medan di sore hari. Baru setelah perut kenyang dan mata mengantuk, kami masuk hotel. Tak disangka-sangka, aku bertemu lagi dengan Angel.
”Kurasa lama-lama kita bisa jadi teman,” ujar Angel dengan nada sinisnya yang belum sembuh juga.
”Kau jauh sekali dari Bandung, Njel,” kataku mengimbangi sarkasmenya.
”Kau sendiri, kerja atau sekalian mudik? Mumpung dibayari kantor?”
Aku hanya tertawa. Dalam hatiku penasaran dan ingin bertanya apakah dari anggota Extremeezport ada yang bernama Cakka pada Angel. Tapi aku tahu model perempuan ini. Dia nggak akan dengan mudah melepaskan sepotong informasi dengan mudah.
”Well, kurasa nanti malam aku harus memesan kopi panas ke kamar kalau begini caranya.” Angel melenggang masuk ke dalam lift.
Kuhampiri meja resepsionis untuk menanyakan apakah ada tamu bernama Cakka di hotel ini.
”Maaf, Bu, data tamu tak bisa kami berikan begitu saja. Kami harus menjaga privasi mereka.”
Wajahku sedikit memerah mendengarnya. Dia pikir aku mau membunuh seseorang di hotel ini? Tapi aku sangat mengerti peraturan yang mereka terapkan dan memilih untuk duduk-duduk di kafe, berharap rombongan Extremeezport akan datang untuk makan. Namun, dua jam aku duduk menunggu, tak ada satu pun wajah yang kukenal masuk ke kafe. Menelan rasa kecewa, kuputuskan untuk kembali ke kamar. Tomorrow is a big day!
Kusingkap jendela kamar hotel dan memandang keluar sambil bergumam, ”Hey kumulus, apakau kau ada di atas sana?” tanyaku sambil mencari-cari di langit yang cukup cerah malam ini. Tiba-tiba di sisi kanan aku melihat gumpalan awan asperatus. Awan ini berbentuk mirip angin tornado, dengan lilitan-lilitan awan yang memutar.
”Kenapa ada awan itu di sini? Apakah besok akan ada sesuatu yang buruk?” tanyaku dalam hati. Perasaanku tiba-tiba tak enak.
***
(Author P.O.V)
Sementara itu, di bagian tempat lainnya, Cakka–yang ternyata masih hidup–terbangun dari tidurnya yang sebenarnya masih resah. Tangannya mengucek-ucek matanya sebelum kemudian memutuskan mengangkat telepon yang masih saja berdering itu.
”Kka...” Suara ibunya membuat dirinya langsung terserang rindu.
”Ibu? Ibu baik-baik saja?”
”Ibu baik, Nak.” Meskipun samar, dia bisa mendengar getar sedih di suara ibu itu. ”Kamu sekarang di mana?”
”Di Medan.”
Sejenak pembicaraan singkat itu terhenti.
”Sampai kapan kamu mau begini, Nak?”
Cakka diam.
”Ibu tau kamu patah hati....”
”Ibu, Cakka baik-baik saja, sekarang yang penting Ibu sehat dulu ya,” kata Cakka, buru-buru memotong ucapan ibunya. ”Kalau urusan Cakka di Medan sudah selesai, Cakka akan ke Singapura menjenguk Ibu.”
”Tapi kamu jangan melakukan hal-hal yang aneh ya.”
”Iya, Bu, Cakka cuma olahraga saja kok di sini.”
”Olahraga kok jauh sekali sih, Nah? Pake keluar kota segala.”
”Karena tempat olahraganya cuma ada di Medan.”
”Olahraga apa sih?”
”Nanti saja ya kalau Cakka jenguk Ibu, akan Cakka ceritakan. Sekarang Ibu istirahat ya.”
Untung ibunya tidak membantah. Dengan suara lirih, dia mengucapkan selamat tinggal dan sekali lagi mengingatkan Cakka untuk berhati-hati selama di Medan. Cakka mengiyakan. Tapi tidak untuk janji bahwa hatinya akan baik-baik saja.
Dia masih memikirkan Shilla. Dan itu membuatnya semakin terhanyut dalam kesibukannya saat ini. Dia butuh alasan untuk melupakan cewek itu.
***
(Ashilla P.O.V)
”Rise and shine!” Kuketuk kamar Zeva yang masih tertutup. Tak ada jawaban. ”Zeva? Zevana..?” panggilku berulang-ulang, namun tak ada juga sahutan dari dalam. Setelah kurang lebih lima menit Zeva belum juga membuka pintu dan tingkahku mulai menarik perhatian tamu-tamu lain, barulah Zeva membuka pintu kamarnya. Tampangnya acak-acakan dan sepertinya dia tidak sehat. Kuletakkan punggung tanganku di keningnya.
”Badan kamu panas sekali! Kamu sakit?”
”Sebenarnya dari kemarin saya sudah nggak enak badan, Bu.”
”Kenapa kamu nggak bilang?”
”Saya takut dianggap melanggar kontrak.”
”Saya kan bukan orang yang kejam, Ze. Ya sudah sekarang kamu tiduran lagi saja, saya panggilkan dokter untuk memeriksa kamu.”
Kuminta pihak hotel untuk memanggil dokter dan menugaskan seorang kru wanita untuk menemani Zeva di hotel. Mungkin ini arti kemunculan awan asperatus semalam.
”The show must go on. Ayo yang lain berangkat.”
Bus berangkat menuju lokasi Amazing Trip yang sudah kami survei kemarin sore. Karena host-nya tidak ada di tempat, kameramen hanya merekam suasana di sekitar lokasi tempat wisata dan kami pun hanya sebentar untuk kemudian menuju Sungai Asahan untuk merasakan arung jeram di sana.
”Kami ingin yang level paling ringan saja,” kataku kepada petugas pendaftaran.
”Sudah pernah arung jeram sebelumnya?”
”Sudah, di Sukabumi.”
Kami diberikan pelampung dan helm untuk keamanan. Lalu kami dipersilakan mengambil dayung masing-masing.
”Baik, mohon semua berkumpul.”
Seorang instruktur dipanggil untuk memberikan pengarahan pada kami mengenai cara memegang dan mendayung dengan benar, cara duduk di perahu karet, juga apa yang harus kita lakukan jika terlempar dari perahu.
”Ikuti saja arusnya, jangan khawatir karena tim kami akan segera menolong Anda. Kami ada di sepanjang sungai untuk mengawasi.”
Setelah briefing selesai, kami pun siap untuk mengarungi jeram di level paling rendah. Bukankah promosi daerah di Amazing Trip ditujukan untuk menarik orang datang mengunjungi daerah tersebut?
Seorang kameramen siap mengabadikan gambarku saat berada di atas perahu karet. Sebelum perahu kami dilepas ada sebuah perahu karet yang ditumpangi empat orang laki-laki dan seorang pemandu melintas.
”Mereka sudah profesional, dan sekarang mau menuju level yang paling ekstrem, namanya Nightmare.” Pemandu kami menjelaskan. Aku menatap perahu karet mereka yang menjauh dan berharap semoga Cakka tak termasuk rombongan Nightmare itu.
”Namanya saja sudah seram sekali ya?” celutuk salah seorang kru.
”Makanya kita sih di level ringan aja ya, Bang, jangan pakai dibalik perahunya, oke? Nanti kuberi tip yang banyak!” tambah kru yang lain. Kami semua tertawa nervous.
”Siap?” Seseorang memberi aba-aba dan perahu karet kami leuncur. Belum apa-apa, goyangan air Sungai Asahan mulai terasa dan perahu kami naik turun mengikuti arus. Kameramen berada di perahu lain di depan dan sibuk mengabadikan momen tersebut. Aku tak sempat memikirkan tampil cantik untuk kamera, karena harus berjuang keras mendayung agar perahu tetap maju dan stabil. Tapi sulit rasanya membuat perahu tetap stabil dalam kondisi seperti ini.
Sepuluh menit kemudian, aku mulai menyesal naik arung jeram ini. Kenapa aku nggak duduk manis saja di atas menunggu rombongan Extremeezport datang? Kenapa juga harus ikut terjun? keluhku dalam hati. ”Karena pekerjaan! Pekerjaan! Pekerjaan!” Sebuah bisikan terdengar memberiku kekuatan.
”Kiri!” Pemandu kami memberi aba-aba dan kami mendayung sebelah kiri.
”Kanan!” Gantian sisi kanan yang mendayung.
”Berapa jauh?” tanyaku. Perahu karet yang tadi melintas sebelum kami sudah tak terlihat sama sekali. Mungkin mereka mendayungnya lebih kuat dari pada kami yang cuma karyawan biasa.
”Dua setengah kilo!” jawab si pemandu. Tiba-tiba dia menoleh ke belakang dan...
Wajahnya berubah.
”Berapa jauh lagi kita?” tanya seorang kru perempuan yang tampaknya sudah kelelahan.
”Satu kilo lagi.” Pemandu itu kembali menoleh ke belakang dan aku penasaran dengan apa yang dilihatnya.
”Ada apa sih? Ada buaya ya?” Kelakarku tapi sebenarnya takut juga kalau benar ada buaya.
”Bukan, arusnya sepertinya tambah kuat. Ini tidak seperti biasanya.”
”Masa sih?” tanyaku mulai panik.
”Kiri! Kita mencari tempat untuk berhenti!” teriak si pemandu. Kami pun dengan panik mendayung di sebelah kiri agar perahu lebih cepat menepi. Namun, apa daya tiba-tiba perahu oleh karena arus kuat yang menghantam ditambah baru besar yang seolah tiba-tiba muncul di hadapan kami. Aku dan seorang kru perempuan yang duduk di depanku terlempar jatuh dari perahu karet.
”Ada yang jatuh! Ada yang jatuh!”
”Bu Shilla!”
”Dea!”
”Tolong, ada yang jatuh!”
Sebenarnya aku ingat pesan dari instruktur tadi di atas bahwa jika terlempar ke sungai jangan panik, ikuti saja arus dan menunggu seseorang datang menjemput. Tapi makin jauh aku terseret arus kok belum ada juga yang menolongku? Sekarang aku benar-benar panik.
”Tolo... blep! Blep!” Air masuk dengan semena-mena begitu aku membuka mulut untuk berteriak ketika melewati rombongan yang sedang beristirahat di pinggir sungai.
”Tolong..! Tolong...!” Helmku sudah miring ke mana-mana dan aku tak dapat melihat orang lain di sekelilingku.
”Saya pernah dengar di arung jeram Sungai Asahan itu pernah ada yang jatuh dan meninggal.” Terngiang kembali ucapan Zeva kemarin di atas pesawat, dan semalam aku melihat awan asperatus! Oh Tuhan, selamatkan aku, jeritku dalam hati.
Aku tak tahu berapa lama aku terseret arus yang mengerikan ini, badanku sakit karena terbentur-bentur. Tak hanya itu, kepalaku, kakiku, semua sudah berkenalan dengan batu-batu di sungai ini. Tapi aku terus mencoba melambaikan tangan berharap ada yang melihat, siapa pun itu. Aku sudah tak melihat lagi ke mana arus membawaku. Semoga tidak ke Nightmare, doaku dalam hati. Tiba-tiba sepasang tangan kekar menggapai pelampungku dan memegangnya dengan kuat. Sejenak kami berdua terseret arus tapi kemudian penolongku tersebut menarikku dengan sekuat tenaganya menuju pinggir sungai. Arus yang kuat membuatnya sedikit kesulitan, tapi akhirnya kami pun sampai juga ke pinggir sungai.
”Ayo cepat tarik! Tarik!” Terdengar beberapa orang berteriak. Aku memejamkan mataku karena ketakutan yang luar biasa. Tubuhku bergetar hebat. Dalam hatiku tak berhenti-henti mengucap syukur karena telah lolos dari maut.
Aku merasakan tubuhku dibopong dan perlahan penolongku membaringkan aku di tanah. Aku masih belum berani membuka mataku, tapi saat orang tersebut menyibak rambut yang menutupi wajahku, dia seperti terhenyak dan memanggil namaku.
”Shilla?”
Aku mengenali suaranya. Suara yang selama ini kurindukan, suara yang menjawab tebakan-tebakan awan saat kami terbang berdua, suara lembut yang terakhir kudengar sebelum tidur. Perlahan kubuka mataku.
”Cakka...”
Spontan Cakka memelukku dan pecahlah tangisku. Oh Tuhan, terima kasih. Selesai sudah penantianku. Akhirnya aku menemukan Cakka-ku kembali.
”Aku... nyariin kamu... ke mana-mana, Kka...” kataku di antara sedu sedanku. Cakka mengeratkan pelukannya.
”Oh, Shilla, maafkan aku.”
”Please jangan tinggalin aku lagi, Kka..”
Kutumpahkan semua tangisku di dadanya. Semua kesedihan yang selama ini kurasakan sendiri. Duka yang mendalam karena ditinggal kekasih hati. Dan malam-malam yang sepi saat aku terbangung karena memimpikannya. Seiring ringannya beban dalam dadaku, tangisku pun mereda.
Cakka menatapku sesaat dan mencium keningku dengan sangat lembut membuat kupu-kupu kecil dalam perutku beterbangan ke sana sini.
”Nggak akan.”
Dan saat itu, aku tak punya pilihan lain kecuali percaya.
”Eh, ini siapa yang ambil?” tanyaku.
”Debo, Bu,” jawab salah satu dari tim.
”Di mana?”
”Di lokasi.”
”Boleh nanti saya lihat rekaman aslinya?”
”Yang sky divers saja? Oke, nanti saya suruh Debo kirim.”
”Nggak usah, biar saya yang ke sana saja. Tolong katakan padanya untuk menyiapkan rekaman itu.”
Hasil video untuk tayangan perdana program jalan-jalan ini cukup bagus ketika kutunjukkan pada Pak Duta, beliau pun setuju dengan pendapatku. Siangnya, aku menemui Debo di studio. Ketika rekaman para sky divers yang sedang membentuk formasi diputar, aku meminta Debo untuk menghentikan dan memperbesar gambar. Aku ingin melihat wajah mereka satu per satu. Tapi aku kecewa.
”Maaf, Bu, saya pikir karena ini hanya sebagai background saja, saya tidak merekam dengan kualitas yang super. Jadi kalau diperbesar hasilnya pecah seperti ini.”
”Tidak bisa diakali, De? Saya ingin melihat wajah mereka satu per satu.”
”Maaf, Bu, sepertinya tidak bisa.”
Aku terhempas dalam kekecewaan. Padahal aku berharap banyak bisa melihat wajah orang yang kukira Cakka itu.
”Tapi, Bu, saya sempat ngobrol kok sama mereka waktu di hotel. Mereka kan menginap di hotel yang sama dengan kita.”
”Oh ya?” Aku jadi bersemangat. ”Terus, kamu tau mereka dari kelompok mana?”
”Mereka ini para pecinta olahraga ekstrem yang profesional. Tidak hanya sky diving, mereka juga melakukan bungee jumping, caving, macem-macem. Pokoknya semua olahraga ekstrem mereka lakukan. Base mereka di Bandung.”
”Nama kelompoknya?”
”Extrem Sports-apa-gitu, saya lupa.” Oke, lumayan.
Aku kembali ke kantor dan mulai mencari di internet informasi mengenai kelompok ini. Ternyata tidak mudah, karena nama extreme sports yang aku jadikan kata kunci menghasilkan ribuan informasi. Ketika kupersempit menjadi 'extreme sports Bandung', masih ratusan informasi yang kudapatkan. Aku harus membaca satu per satu. Sekali-kali aku lost track karena ingin membaca informasi lebih dalam mengenai olahraga menantang ini. Dan dari yang kubaca, para pelaku olahraga ini adalah orang-orang yang tak memiliki rasa takut sama sekali. Sampai sore aku belum juga menemukan informasi mengenai kelompok extreme sports yang bekerja sama dengan Angel.
Malamnya kutelepon Mama. ”Ma, nonton acara baru Shilla ya besok sore.”
”Pasti dong, pukul berapa? Biar Mama SMS teman-teman Mama juga. ”
Setelah kuberitahukan hari dan tanggal serta jamnya, dan selesai kutanyakan keadaan Papa, aku berperang melawan batinku; sebaiknya kutanyakan lewat Mama nggak ya perihal Cakka? Terakhir aku dengar dari Mama kalau Ny. Winda pergi ke Singapura untuk berobat karena sempat terkena stroke ringan. Berkali-kali kucoba menghubunginya, tetapi tidak tersambung, mungkin beliau masih di Singapura atau nomor HP-nya ganti? Mama mungkin masih suka teleponan dengan beliau. Harapanku, Mama bisa menanyakan ke Ny. Winda mengenai Cakka, apakah dia masih hidup atau tidak. Tapi aku takut Mama malah marah karena Mama sudah nggak mau dengar lagi tentang Cakka dan mungkin saja mereka sudah lost contact. Haahh.. aku benar-benar bingung hingga akhirnya saat pembicaraan dengan Mama berakhir, nama Cakka tak muncul dalam pembicaraan kami.
”Aku cari sendiri aja, deh! Aku harus yakin dulu kalau memang itu Cakka,” gumamku sendiri. Kuintip dari balik jendela kamarku, lagi-lagi sepotong awan kumulus yang menemaniku malam ini.
”Hai kamu, kita sendiri lagi malam ini. Apakah kamu bisa melihat Cakka-ku dari atas sana? Tolong sampaikan salam rinduku untuknya, ya..” Sejenak kutatap awan kumulus tersebut dan membayangkan Cakka menatap awan yang sama malam ini.
***
”Very good, Ashilla! I'm sure program Amazing Trip ini akan bakal mengikuti sukses acara Komar,” puji Pak Duta.
”Amin, Pak. Tapi tentunya semua tak akan berhasil tanpa tim saya di sini.” Seluruh anggota tim dan kru yang ikut menonton tayang perdana program Amazing Trip bertepuk tangan dan semua terlihat bahagia.
”Om bangga padamu, Shilla.” Om Dave menepuk-nepuk bahuku.
”Terima kasih, Om. Sekarang silakan semua menikmati hidangan yang sudah disediakan.” Aku mempersilakan seluruh yang hadir di studio untuk menyantap nasi tumpeng yang telah kupesan. Setelah semua sibuk sendiri-sendiri, aku menyelinap keluar dan kembali ke kantorku. Aku ingin mencari lagi informasi tentang kelompok extreme sport.
Baru saja kubuka laptopku, pintu ruangan diketuk dan kepala Gabriel menyembul dari baliknya.
”Shil, gue dapat nih informasi yang lo cari.” Gabriel menyerahkan secarik kertas padaku.
”Bener ini kelompok extreme sport yang waktu itu shooting di Lido?” Aku memang meminta bantuan Gabriel untuk ikut mencari keberadaan kelompok itu. As a true friend, Gabriel melaksanakan tugasnya tanpa banyak komentar.
”Bener. Gue kan udah cek. Tapi, sorry, mereka nggak kenal yang namanya Cakka.”
”Oh?” Aku spechless.
”Gue udah telepon ke mereka untuk menanyakan Cakka, tapi mereka bilang nggak ada yang namanya Cakka di sana. Dan saat gue tanya apa ada bekas pilot yang gabung sama mereka, jawabnya nggak ada.”
”Oh, I see. Mungkin dia di kelompok yang lain.”
”Ya, mungkin aja. Sorry, cuma itu yang bisa gue bantu, Shil.”
”Sip, thanks, ya.” Gabriel keluar ruangan dan aku menatap tulisan di kertas tersebut; 'Extremeezport' dan nomor telepon daerah Bandung.
Tanpa membuang waktu, aku langsung meraih telepon dan menghubungi nomor telepon itu.
”Halo, apa benar ini base camp Extremeezport?” tanyaku begitu tersambung.
”Ya betul. Boleh saya tau dari mana ini ya?” Terdengar suara perempuan yang menjawab telepon.
”Nama saya Ashilla. Saya dari sebuah stasiun televisi di Jakarta. Saya ingin sekali bertemu dan berbincang dengan anggota Extremeezport, apakah saya bisa membuat janji?”
”Oh, maaf, kami sudah teken kontrak dengan stasiun televisi lain di Bandung, jadi jadwalnya sedikit padat karena harus shooting keluar kota, sepertinya agak susah ya.”
”Ya, ya saya mengerti. Kalau boleh tahu, anggota Extremeezport ini bisa melakukan olahraga ekstrem apa saja ya?”
”Semua yang ekstrem bisa mereka lakukan. Mereka profesional, Bu.”
”Oh begitu. Boleh saya tahu di mana jadwal shooting selanjutnya?”
”Sumatra Utara, di Sungai Asahan.”
”Olahraganya apa?”
”Arung jeram.”
Kuketik lokasi tersebut di Google Search dan menemukan banyak gambar-gambar arung jeram dengan kata kunci 'arung jeram asahan'.
”Lokasi ini sangat ekstrem, Bu,” kata si penerima telepon tadi. ”Kabarnya ini arung jeram ketiga tersulit di seluruh dunia.”
Setelah membaca-baca informasi yang tersedia mengenai arung jeram di Sungai Asahan, aku pun mencari lokasi yang tepat untuk tempat shooting Amazing Trip. Lokasi tersebut harus tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Jadi bisa sebagai alasan untuk mencoba arung jeram yang ada di sana. Sekali menyelam, dua tiga pulau terlampaui, kan? Senyumku lebar dan harapanku tinggi bisa bertemu Cakka di sana. Tiga minggu lagi aku akan bisa bertemu dengan Cakka-ku. Aku yakin!
***
Semua persiapan sudah matang, dan Zeva pun sudah kuberi pengarahan sepanjang jalan menuju bandara. Wajah cantiknya sedikit pucat ketika aku mengatakan bahwa nanti dia pun harus ikut merasakan arung jeram agar lebih real dan natural.
”Apa saya harus ikut, Bu?” tanyanya.
”Iya! Kan sudah ada dalam kontrak kerja kamu kalau kamu mencoba pengalaman apa pun yang ditawarkan di daerah yang dikunjungi.”
”Ya, tapi...”
”Kita nanti ambil jalut yang paling ringan kok, tenang saja.”
”Tapi, Bu, kita bukannya mau meliput Danau Toba?”
”Iya, Sungai Asahan itu hulunya di Danau Toba. Masih satu jalur, kan?”
Sepanjang perjalanan, dalam pesawat Zeva yang biasanya banyak celoteh kini diam saja melihat keluar jendela pesawat. Kemurungannya yang tiba-tiba ini kuartikan karena dia takut mengarungi arung jeram. Kuhela napas panjang. Memang susah kalau punya host cengeng.
”Ze, biar nanti saya saja yang mencoba arung jeramnya. Kamu dari pinggir saja menggambarkan situasi yang ada, gimana?”
”Betulan, Bu? Saya nggak perlu nyebur?” tanyanya dengan wajah berbinar-binar.
”Iya...”
”Terima kasih, Bu, terima kasih.. Saya soalnya takut, karena saya pernah dengar di arung jeram Sungai Asahan itu pernah ada yang jatuh dan meninggal.”
Eh? Glek! Aku menelan ludah dengan susah payah. Ada yang pernah meninggal? Ini informasi baru, aku kok lupa mencari di internet tentang korban arung jeram di sana.
***
Di bandar udara, dua bus ukuran tanggung sudah menunggu rombongan kami. Memang Om Dave paling top deh! Bus ini milik perusahaan sewa keluarga kami yang disewa oleh Om Dave untuk mengantar kami ke mana-mana. Untuk hotelnya pun tak tanggung-tanggung, hotel paling dekat dengan Danau Toba dan mendapat kamar dengan pemandangan yang paling bagus.
Kami diajak berkeliling dahulu sebelum ke hotel untuk menikmati panorama Kota Medan di sore hari. Baru setelah perut kenyang dan mata mengantuk, kami masuk hotel. Tak disangka-sangka, aku bertemu lagi dengan Angel.
”Kurasa lama-lama kita bisa jadi teman,” ujar Angel dengan nada sinisnya yang belum sembuh juga.
”Kau jauh sekali dari Bandung, Njel,” kataku mengimbangi sarkasmenya.
”Kau sendiri, kerja atau sekalian mudik? Mumpung dibayari kantor?”
Aku hanya tertawa. Dalam hatiku penasaran dan ingin bertanya apakah dari anggota Extremeezport ada yang bernama Cakka pada Angel. Tapi aku tahu model perempuan ini. Dia nggak akan dengan mudah melepaskan sepotong informasi dengan mudah.
”Well, kurasa nanti malam aku harus memesan kopi panas ke kamar kalau begini caranya.” Angel melenggang masuk ke dalam lift.
Kuhampiri meja resepsionis untuk menanyakan apakah ada tamu bernama Cakka di hotel ini.
”Maaf, Bu, data tamu tak bisa kami berikan begitu saja. Kami harus menjaga privasi mereka.”
Wajahku sedikit memerah mendengarnya. Dia pikir aku mau membunuh seseorang di hotel ini? Tapi aku sangat mengerti peraturan yang mereka terapkan dan memilih untuk duduk-duduk di kafe, berharap rombongan Extremeezport akan datang untuk makan. Namun, dua jam aku duduk menunggu, tak ada satu pun wajah yang kukenal masuk ke kafe. Menelan rasa kecewa, kuputuskan untuk kembali ke kamar. Tomorrow is a big day!
Kusingkap jendela kamar hotel dan memandang keluar sambil bergumam, ”Hey kumulus, apakau kau ada di atas sana?” tanyaku sambil mencari-cari di langit yang cukup cerah malam ini. Tiba-tiba di sisi kanan aku melihat gumpalan awan asperatus. Awan ini berbentuk mirip angin tornado, dengan lilitan-lilitan awan yang memutar.
”Kenapa ada awan itu di sini? Apakah besok akan ada sesuatu yang buruk?” tanyaku dalam hati. Perasaanku tiba-tiba tak enak.
***
(Author P.O.V)
Sementara itu, di bagian tempat lainnya, Cakka–yang ternyata masih hidup–terbangun dari tidurnya yang sebenarnya masih resah. Tangannya mengucek-ucek matanya sebelum kemudian memutuskan mengangkat telepon yang masih saja berdering itu.
”Kka...” Suara ibunya membuat dirinya langsung terserang rindu.
”Ibu? Ibu baik-baik saja?”
”Ibu baik, Nak.” Meskipun samar, dia bisa mendengar getar sedih di suara ibu itu. ”Kamu sekarang di mana?”
”Di Medan.”
Sejenak pembicaraan singkat itu terhenti.
”Sampai kapan kamu mau begini, Nak?”
Cakka diam.
”Ibu tau kamu patah hati....”
”Ibu, Cakka baik-baik saja, sekarang yang penting Ibu sehat dulu ya,” kata Cakka, buru-buru memotong ucapan ibunya. ”Kalau urusan Cakka di Medan sudah selesai, Cakka akan ke Singapura menjenguk Ibu.”
”Tapi kamu jangan melakukan hal-hal yang aneh ya.”
”Iya, Bu, Cakka cuma olahraga saja kok di sini.”
”Olahraga kok jauh sekali sih, Nah? Pake keluar kota segala.”
”Karena tempat olahraganya cuma ada di Medan.”
”Olahraga apa sih?”
”Nanti saja ya kalau Cakka jenguk Ibu, akan Cakka ceritakan. Sekarang Ibu istirahat ya.”
Untung ibunya tidak membantah. Dengan suara lirih, dia mengucapkan selamat tinggal dan sekali lagi mengingatkan Cakka untuk berhati-hati selama di Medan. Cakka mengiyakan. Tapi tidak untuk janji bahwa hatinya akan baik-baik saja.
Dia masih memikirkan Shilla. Dan itu membuatnya semakin terhanyut dalam kesibukannya saat ini. Dia butuh alasan untuk melupakan cewek itu.
***
(Ashilla P.O.V)
”Rise and shine!” Kuketuk kamar Zeva yang masih tertutup. Tak ada jawaban. ”Zeva? Zevana..?” panggilku berulang-ulang, namun tak ada juga sahutan dari dalam. Setelah kurang lebih lima menit Zeva belum juga membuka pintu dan tingkahku mulai menarik perhatian tamu-tamu lain, barulah Zeva membuka pintu kamarnya. Tampangnya acak-acakan dan sepertinya dia tidak sehat. Kuletakkan punggung tanganku di keningnya.
”Badan kamu panas sekali! Kamu sakit?”
”Sebenarnya dari kemarin saya sudah nggak enak badan, Bu.”
”Kenapa kamu nggak bilang?”
”Saya takut dianggap melanggar kontrak.”
”Saya kan bukan orang yang kejam, Ze. Ya sudah sekarang kamu tiduran lagi saja, saya panggilkan dokter untuk memeriksa kamu.”
Kuminta pihak hotel untuk memanggil dokter dan menugaskan seorang kru wanita untuk menemani Zeva di hotel. Mungkin ini arti kemunculan awan asperatus semalam.
”The show must go on. Ayo yang lain berangkat.”
Bus berangkat menuju lokasi Amazing Trip yang sudah kami survei kemarin sore. Karena host-nya tidak ada di tempat, kameramen hanya merekam suasana di sekitar lokasi tempat wisata dan kami pun hanya sebentar untuk kemudian menuju Sungai Asahan untuk merasakan arung jeram di sana.
”Kami ingin yang level paling ringan saja,” kataku kepada petugas pendaftaran.
”Sudah pernah arung jeram sebelumnya?”
”Sudah, di Sukabumi.”
Kami diberikan pelampung dan helm untuk keamanan. Lalu kami dipersilakan mengambil dayung masing-masing.
”Baik, mohon semua berkumpul.”
Seorang instruktur dipanggil untuk memberikan pengarahan pada kami mengenai cara memegang dan mendayung dengan benar, cara duduk di perahu karet, juga apa yang harus kita lakukan jika terlempar dari perahu.
”Ikuti saja arusnya, jangan khawatir karena tim kami akan segera menolong Anda. Kami ada di sepanjang sungai untuk mengawasi.”
Setelah briefing selesai, kami pun siap untuk mengarungi jeram di level paling rendah. Bukankah promosi daerah di Amazing Trip ditujukan untuk menarik orang datang mengunjungi daerah tersebut?
Seorang kameramen siap mengabadikan gambarku saat berada di atas perahu karet. Sebelum perahu kami dilepas ada sebuah perahu karet yang ditumpangi empat orang laki-laki dan seorang pemandu melintas.
”Mereka sudah profesional, dan sekarang mau menuju level yang paling ekstrem, namanya Nightmare.” Pemandu kami menjelaskan. Aku menatap perahu karet mereka yang menjauh dan berharap semoga Cakka tak termasuk rombongan Nightmare itu.
”Namanya saja sudah seram sekali ya?” celutuk salah seorang kru.
”Makanya kita sih di level ringan aja ya, Bang, jangan pakai dibalik perahunya, oke? Nanti kuberi tip yang banyak!” tambah kru yang lain. Kami semua tertawa nervous.
”Siap?” Seseorang memberi aba-aba dan perahu karet kami leuncur. Belum apa-apa, goyangan air Sungai Asahan mulai terasa dan perahu kami naik turun mengikuti arus. Kameramen berada di perahu lain di depan dan sibuk mengabadikan momen tersebut. Aku tak sempat memikirkan tampil cantik untuk kamera, karena harus berjuang keras mendayung agar perahu tetap maju dan stabil. Tapi sulit rasanya membuat perahu tetap stabil dalam kondisi seperti ini.
Sepuluh menit kemudian, aku mulai menyesal naik arung jeram ini. Kenapa aku nggak duduk manis saja di atas menunggu rombongan Extremeezport datang? Kenapa juga harus ikut terjun? keluhku dalam hati. ”Karena pekerjaan! Pekerjaan! Pekerjaan!” Sebuah bisikan terdengar memberiku kekuatan.
”Kiri!” Pemandu kami memberi aba-aba dan kami mendayung sebelah kiri.
”Kanan!” Gantian sisi kanan yang mendayung.
”Berapa jauh?” tanyaku. Perahu karet yang tadi melintas sebelum kami sudah tak terlihat sama sekali. Mungkin mereka mendayungnya lebih kuat dari pada kami yang cuma karyawan biasa.
”Dua setengah kilo!” jawab si pemandu. Tiba-tiba dia menoleh ke belakang dan...
Wajahnya berubah.
”Berapa jauh lagi kita?” tanya seorang kru perempuan yang tampaknya sudah kelelahan.
”Satu kilo lagi.” Pemandu itu kembali menoleh ke belakang dan aku penasaran dengan apa yang dilihatnya.
”Ada apa sih? Ada buaya ya?” Kelakarku tapi sebenarnya takut juga kalau benar ada buaya.
”Bukan, arusnya sepertinya tambah kuat. Ini tidak seperti biasanya.”
”Masa sih?” tanyaku mulai panik.
”Kiri! Kita mencari tempat untuk berhenti!” teriak si pemandu. Kami pun dengan panik mendayung di sebelah kiri agar perahu lebih cepat menepi. Namun, apa daya tiba-tiba perahu oleh karena arus kuat yang menghantam ditambah baru besar yang seolah tiba-tiba muncul di hadapan kami. Aku dan seorang kru perempuan yang duduk di depanku terlempar jatuh dari perahu karet.
”Ada yang jatuh! Ada yang jatuh!”
”Bu Shilla!”
”Dea!”
”Tolong, ada yang jatuh!”
Sebenarnya aku ingat pesan dari instruktur tadi di atas bahwa jika terlempar ke sungai jangan panik, ikuti saja arus dan menunggu seseorang datang menjemput. Tapi makin jauh aku terseret arus kok belum ada juga yang menolongku? Sekarang aku benar-benar panik.
”Tolo... blep! Blep!” Air masuk dengan semena-mena begitu aku membuka mulut untuk berteriak ketika melewati rombongan yang sedang beristirahat di pinggir sungai.
”Tolong..! Tolong...!” Helmku sudah miring ke mana-mana dan aku tak dapat melihat orang lain di sekelilingku.
”Saya pernah dengar di arung jeram Sungai Asahan itu pernah ada yang jatuh dan meninggal.” Terngiang kembali ucapan Zeva kemarin di atas pesawat, dan semalam aku melihat awan asperatus! Oh Tuhan, selamatkan aku, jeritku dalam hati.
Aku tak tahu berapa lama aku terseret arus yang mengerikan ini, badanku sakit karena terbentur-bentur. Tak hanya itu, kepalaku, kakiku, semua sudah berkenalan dengan batu-batu di sungai ini. Tapi aku terus mencoba melambaikan tangan berharap ada yang melihat, siapa pun itu. Aku sudah tak melihat lagi ke mana arus membawaku. Semoga tidak ke Nightmare, doaku dalam hati. Tiba-tiba sepasang tangan kekar menggapai pelampungku dan memegangnya dengan kuat. Sejenak kami berdua terseret arus tapi kemudian penolongku tersebut menarikku dengan sekuat tenaganya menuju pinggir sungai. Arus yang kuat membuatnya sedikit kesulitan, tapi akhirnya kami pun sampai juga ke pinggir sungai.
”Ayo cepat tarik! Tarik!” Terdengar beberapa orang berteriak. Aku memejamkan mataku karena ketakutan yang luar biasa. Tubuhku bergetar hebat. Dalam hatiku tak berhenti-henti mengucap syukur karena telah lolos dari maut.
Aku merasakan tubuhku dibopong dan perlahan penolongku membaringkan aku di tanah. Aku masih belum berani membuka mataku, tapi saat orang tersebut menyibak rambut yang menutupi wajahku, dia seperti terhenyak dan memanggil namaku.
”Shilla?”
Aku mengenali suaranya. Suara yang selama ini kurindukan, suara yang menjawab tebakan-tebakan awan saat kami terbang berdua, suara lembut yang terakhir kudengar sebelum tidur. Perlahan kubuka mataku.
”Cakka...”
Spontan Cakka memelukku dan pecahlah tangisku. Oh Tuhan, terima kasih. Selesai sudah penantianku. Akhirnya aku menemukan Cakka-ku kembali.
”Aku... nyariin kamu... ke mana-mana, Kka...” kataku di antara sedu sedanku. Cakka mengeratkan pelukannya.
”Oh, Shilla, maafkan aku.”
”Please jangan tinggalin aku lagi, Kka..”
Kutumpahkan semua tangisku di dadanya. Semua kesedihan yang selama ini kurasakan sendiri. Duka yang mendalam karena ditinggal kekasih hati. Dan malam-malam yang sepi saat aku terbangung karena memimpikannya. Seiring ringannya beban dalam dadaku, tangisku pun mereda.
Cakka menatapku sesaat dan mencium keningku dengan sangat lembut membuat kupu-kupu kecil dalam perutku beterbangan ke sana sini.
”Nggak akan.”
Dan saat itu, aku tak punya pilihan lain kecuali percaya.
#TAMAT
KAU *part 11
”SELAMAT pagi, Bu Shila,” sapa Rio.
”Selamat pagi, Rio. Apa kabar hari ini?” Rio sedikit terkejut kutanyakan kabarnya.
”Eh ba..baik, Bu, terima kasih.”
”Oke, have a nice day.” Aku melangkah masuk ke lift. Pagi ini mood-ku memang sedang baik. Rapat dengan Pak Duta minggu lalu, dan sekarang aku menuju kantor Om Dave. Sudah lama aku tak mengunjungi beliau. Aku juga tak sempat berkunjung ke rumahnya, membuatku sedikit merasa bersalah juga karena tanteku sudah sering menanyakan kapan aku akan datang ke rumah mereka.
-
Nanti kumasakkan makanan kesukaanmu, Shil.
Kau datanglah.
-
Begitu SMS dari Om Dave yang beberapa kali kuterima. Aku hanya mengiyakan dan berjanji jika ada waktu kosong aku akan datang mengunjunginya. Namun, sampai sekarang aku belum juga sempat. Kira-kira Tante marah tidak ya? Aku akan cari tahu lewat Om Dave.
”Halo, Om, good morning,” sapaku setelah mengetuk pintu kantornya.
”Shilla..! Alamak! Sibuk kali kau rupanya sampai-sampai tak sempat mengunjungi Om-mu ini.”
”Maad, Om, tapi kan Om tau sendiri gimana hectic-nya kerjaan Shilla sekarang.”
”Iyalah, mengertilah aku. Bawa apa kau?”
”Ini, mainan untuk sepupuku tersayang di rumah. Dan oleh-oleh dari Sukabumi untuk Tante.” Kuserahkan tas plastik yang kutenteng.
”Bah! Untukku tak kau belikan apa-apa?”
”Tenang, Om, Shilla kan tahu Om paling suka rengginang terasi. Nih, Shilla bawakan spesial buat Om.”
”Mantap! Thank you. You know me so well,” katanya berkelakar.
”Om gaul juga ternyata.” Om Dave terbahak-bahak.
”Gara-gara anakku lah. Cuma dia yang tahu lagu-lagu terbaru. Aku kan sudah tua.”
Kalau kuperhatikan memang Om Dave tampak menua sekarang. Beberapa kerut di wajahnya mulai tampak. Aku jadi ingat Papa. Apa kabar ya Papa sekarang? Aku lebih banyak berkomunikasi dengan Mama dan berasumsi kalau Papa sehat-sehat saja. Dari dulu memang aku tak begitu dekat dengan Papa, hanya pada saat-saat tertentu saja Papa dan aku ngobrol. Selama ini kami tak pernah beradu argumen, hal itu sudah dimonopoli Mama.
”So, are you ready for your first shooting?” tanya Om Dave.
”Siap, Om!”
Kepergianku ke Sukabumi kemarin memang untuk mencari tempat sebagai shooting perdana acara jalan-jalan stasiun TV kami yang baru. Dua hari aku di sana dan melihat sebuah danau yang indah di Lido. Menurut penduduk lokal, tempat itu sering didatangi para peminat olahraga ekstrem sky diving alias terjun bebas. Aku bergidik mendengarnya. Apa mereka berniat bunuh diri? Dan kata penuduk tersebut, minggu depan akan ada yang datang lagi dari stasiun TV lain yang akan merekam kegiatan ekstrem mereka. Aku harus lihat dan siapa tahu bisa mengambil sedikit buat tambahan promosi acaraku.
”Shilla akan berangkat minggu depan, Om.”
”Good. Siapa yang akan menjadi host acara itu?”
”Namanya Zevana Cakrabuana. Dia kandidat paling kuat. Om tau, kan?”
Om Dave tampak berpikir mengingat-ingat nama yang kusebutkan.
”Itu lho, Om, pemain sinetron. Belakangan ini dia memang mulai jarang muncul di layar kaca. Tapi, kepribadiannya super, energik, dan sangat camera face. Plus, dia bilang masih bisa nego soal honor. Jadi, overall, oke banget.”
”Oke, Om percaya dengan pilihanmu. Namanya juga sudah match dengan acaranya. Cakrabuana. Bagus! Bagus!” Om Dave mengangguk-angguk setuju.
***
Persiapan sudah sembilan puluh persen, naskah sudah siap dan Zeva pun sudah diberi pengarahan. Gadis ini cukup cerdas dan mampu mengembangkan sendiri dialognya tanpa keluar dari naskah aslinya. Kami pun berangkat ke Sukabumi pada hari yang telah ditentukan dengan membawa dua bus dan satu mobil kecil. Aku sebagai produser acara tentu saja harus ikut mendampingi di pengambilan gambar pertama ini. Perjalanan agak sedikit terhambat karena di beberapa tempat terjadi macet yang luar biasa dan kami sampai di Lido menjelang malam.
Sesampainya kami di hotel, rupanya sudah ada rombongan lain dan menurut resepsionis, jumlah kamar yang dipesan juga hampir sama dengan jumlah kamar yang rombongan kami pesan.
”Sepertinya mereka teh rombongan tipi juga sama itu... orang-orang yang suka ski diping,” katanya dengan logat Sunda yang kental.
”Oh...” Aku mengangguk-angguk. ”Dari stasiun TV mana? Tau nggak?” tanyaku penasaran. ”Dari Jakarta juga?” Resepsionis itu mengecek buku catatannya.
”Bukan, mereka teh dari Bandung. Cukup terkenal ini di Bandung, namina tipi KBS.”
Dengan sepotong informasi itu, kami berjalan menuju kamar masing-masing.
Pukul sepuluh malam, mataku masih juga tak bisa terpejam. Kuputuskan untuk keluar kamar, menuju restoran untuk menghirup wedang jahe hangat. Ternyata aku tak sendiri, seseorang sudah duduk di restoran itu dan menikmati secangkir minuman yang asapnya masih mengepul. Orang itu duduk menghadap jendela menatap panorama di malam hari yang indah dengan langit bening bertabur bintang. Tampak dari belakang, orang itu berambut lumayan pendek. Mungkin dia bisa jadi teman ngobrolku malam ini sambil membunuh waktu.
Begitu aku berjalan mendekatinya, perempuan itu mengangkat wajahnya dan menatapku dari pantulan jendela. Sesaat aku seperti dihipnotis; berhenti berlajan dan balas menatapnya. Wajah itu seperti wajah yang kukenal, tapi siapa? Perlahan perempuan itu menoleh.
”Angel?” tanyaku dengan nada tak percaya.
”Shilla,” katanya sambil mengangguk formal, sebelah tangannya mempersilakanku duduk di sampingnya. Aku mengenyahkan perasaan tak nyamanku dan duduk di kursi persis di samping Angel.
”Tidak bisa tidur?” tanyanya pendek. Nadanya datar seperti tanpa tanda apa-apa. Aku pun mulai rileks.
”Ya. Kau juga?” tanyaku basa-basi. Angel hanya mengangkat bahunya.
”Bagaimana kabarmu, Njel?” Angel tersenyum mendengar pertanyaanku seolah aku mencibirnya.
”Baik. Aku masih hidup. Kau bisa sampaikan pada om-mu.”
Aku terdiam.
”Kalau kau mau tau,” sambungnya. ”Aku sekarang bekerja di stasiun TV juga, jadi sekadar informasi saja kalau di dunia ini stasun TV bukan milik om-mu saja.”
Aku menggelengkan kepala tak memercayai apa yang kudengar. Angel–tak berubah juga rupanya. Dari dulu hingga sekarang kata-kata sinis selalu keluar dari mulutnya. Kutahan diriku agar tak terpancing.
”Baguslah kalau begitu,” jawabku tenang. ”Stasiun TV mana tampatmu bekerja sekarang?”
”KBS.” Aku menoleh ke arahnya.
”Di...”
”Ya, di Bandung.” Oh, rupanya kru-kru Angel yang sedang menginap di sini. Mereka meliput program apa ya? Diriku tergelitik penasara, tapi lagi-lagi kutahan diriku agar tak tampak bodoh.
”Kau sendiri, sedang apa di sini? Meliput?” tanyanya. Sejenak aku ragu.
”Kalau kau pikir aku akan mencuri idemu, you're wrong. Tapi kalo pun nggak mau jawab, fine.” Aku memilih diam dan Angel tak meneruskan pertanyaannya.
”Aku mau tanya sesuatu, Angel, kau boleh menjawab, boleh juga tidak.” Aku sudah lama penasaran dan kurasa inilah saat yang tepat untuk mendapatkan jawabannya. ”Kenapa kau sepertinya membenciku setengah mati?” I know it sounds stupid and whining, but I gotta know.
Angel tertawa pelan. ”Menurutmu aku membencimu, begitu?”
”Sepertinya begitu.” Aku tak perlu membeberkan semua yang telah dia lakukan padaku sewaktu aku menjadi anak buahnya, aku yakin dia masih ingat.
”Sebenarnya aku tidak membencimu, Shilla. Aku membenci keberuntunganmu.” Apa? Apa aku nggak salah dengar? Keberuntunganku dalam hal apa? Bukannnya aku sial terus? Apalagi kalau ada awan stratus yang gelap di langit, bisa dipastikan hariku tak akan menjadi lebih baik. Kadang kurasa mood-ku dipengaruhi juga oleh bentukan awan.
”Kau begitu lugu, begitu bodoh...” Aku menoleh hendak protes. ”Saat itu...” Angel buru-buru menambahkan. ”C'mon admit it, you're just fresh graduate and you expect to beat me? Wake up, girl!”
Ya, ya, terserah, yang penting sekarang aku kan sudah berhasil dan tidak bodoh lagi.
”Tapi dengan keberuntungan, kau bisa melambung naik dan before I knew it, namamu mulai terkenal sebagai reporter cute dengan topi rajut yang unik.” Angel mengatakan kalimat terakhir dengan gara mencibir. Sungguh mati aku pengin menamparnya. So what kalau aku pakai topi rajut? Apa itu mengganggu laporanku? Eh, tapi tunggu dulu, reporter cute? Did she actually say 'cute'? Aku melirik ke arahnya. Ah.. kumaafkan deh kata-kata Angel yang kasar sebelumnya. Aku baru tahu kalau aku terkenal. Kenapa dulu Angel tak memberitahuku ya?
”Dan aku iri dengan kemudahan yang kau dapatkan dengan fasilitas dari Om-mu itu,” sambungnya. Oh, that's why. Aku mengerti sekarang.
”Sekarang apa jabatanmu? Apa kau duduk di kursiku sekarang, seperti cita-citamu dulu?”
”Hey? Dari mana...” Ups!
Angel tertawa. ”Aku tau, Shilla, I know everything.”
”Aku produser acara sekarang.”
”Ow, tentu saja! Mana mungkin dengan memiliki Om seperti itu kau tetap jadi reporter, ya kan? Tapi aku sedikit heran, kenapa kau tidak duduk menggantikanku? Apa kau tidak sepintar yang orang bilang?”
Ihh... Angel dan mulut besarnya itu!
”Aku produser acara 'Berkoar Bersama Komar' kalau kau belum tau.”
”Ya, ya, aku tau. Baguslah.” Dia pun bangkit dari duduknya untuk kembali ke kamarnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun dan meninggalkan minumannya dingin tak tersentuh. I guess Angel will always be Angel.
***
Rombonganku berangkat pagi-pagi sekali karena kami akan mengejar matahari terbit yang konon akan terlihat sangat indah di pagi hari dekat danau tempat kami akan shooting. Zeva sudah siap dengan make yp dan kameramen serta kru yang lain pun sudah menunggu di bus saat aku datang. Sebelum mobil kami berangkat, kulihat kendaraan dari KBS masih parkir dan belum berangkat. 'Kalau kesiangan, rezeki dipatuk ayam.' Dulu Mama sering berpesan padaku demikian. Maka dengan hati-hati aku dan kru berangkat menuju lokasi.
Semburat sinar oranye muncul di ufuk timur, menandakan matahari akan segera muncul. Awan-awan sirus yang tampak seperti kapas putih memantulkan sinar oranye dari matahari dan efek yang dihasilkan sungguh luar biasa. Guratan-guratan warna oranye dan biru gradasi seolah permainan sinar laser di langit. Benar-benar memesona. Kuminta kameramen merekam proses tersebut, untuk nanti dijahitkan pada rekaman hari ini. Setelah matahari bersinar dengan sempurna, kami mulai mengambil gambar Zeva yang sedang menjelaskan tempat dan keindahan alam di Sukabumi ini.
Selama empat jam kamudi sini menelusuri keindahan Lido dan sekitarnya. Akhirnya, menjelang siang pengambilan gambar pun selesai. Aku mengajak kru untuk kembali ke hotel. Saat kami sedang bersiap-siap, di kejauhan kudengar suara-suara. Penasaran, segera aku mengambil tempat yang agak tinggi untuk melihat asal suara itu.
Nun jauh di sana, kulihat bus rombongan TV KBS membongkar muatan dan beberapa orang bersiap untuk masuk ke dalam pesawat kecil dengan berpakaian lengkap. Kurasa mereka adalah para pecinta olahraga ekstrem itu, tapi kenapa ada Angel ya? Dari sini aku bisa mengenali sosok Angel yang menggunakan celana panjang dan kaus berwarna putih. Angel shooting apa di sana ya?
Tak lama mobil kami siap berangkat. Separuh perjalanan menuju hotel, mesin pesawat terdengar dari kejauhan dan orang-orang tersebut naik.
”Itu mereka lagi shooting acara live.” Seorang kru tiba-tiba angkat bicara.
”Oh ya? Kamu tau dari mana?” tanyaku.
”Kan tadi malam kami main kartu sama-sama,” jawabnya sambil nyengir.
”Acaranya live?”
”Iya, kalau nanti kita sampai hotel, mungkin masih ada.”
Sebelum mobil berhenti sempurna, aku langsung membuka pintu dan setengah berlari menuju kamar. Aku benar-benar penasaran, Angel jadi apa di stasiun TV itu? Apakah dia jadi reporter sekarang? Seperti aku dulu. Ha-ha! Aku rasanya ingin tertawa jika hal itu benar adanya. Kunyalakan TV dan mencari channel KBS di daftar stasiun TV yang ada di atas meja. Setelah kutemukan, benar saja, wajah Angel yang sedang melaporkan dari atas langit.
”Wah, berani juga dia ikut terbang!” seruku pada diri sendiri. Gambar beralih ke para profesional sky divers. Mereka sedang membentuk formasi lingkaran, kemudian segilima dan beberapa formasi lainnya.
”Cool!”
Saat hanya beberapa ratus meter saja dari tanah, mereka membuka parasut masing-masing dan mendarat dengan mulus. Angel–yang entah bagaimana caranya sudah turun ke bawah juga–menghampiri mereka untuk wawancara. Satu per satu wajah para sky divers itu disorot oleh kamera. Ketika sampai pada orang terakhir, kamera hanya menyorot sebentar karena pimpinan kelompok olahraga ekstrem itu sudah mulai bicara. Tapi yang sebentar itu sudah cukup membuatku tercekat. Wajah itu... wajah itu...
”Seperti Cakka,” bisikku. ”Tapi apa mungkin?”
Kutatap layar televisi sambil berdoa dalam hati agar kamera disorotkan kembali kepada para sky divers itu, dan ketika akhirnya sebelum selesai wawancara, Tuhan mengabulkan doaku. Kameramen kembali menyorot wajah mereka satu per satu. Sky diver yang berdiri di paling ujung sedang menunduk sibuk membuka ikatan di pinggangnya. Tapi rambut itu, posturnya, cara berdirinya, aku sangat kenal. Nggak salah lagi! Itu Cakka! Meskipun hanya sekelebat, aku yakin itu Cakka. Cakka-ku! Aku menyambar tas tanganku dan berlari ke resepsionis.
”Mbak, eh, Teh, tolong saya, apa ada tukang ojek dekat sini?”
”Aya. Mau dipanggilkan?”
”Mau. Yang bisa ngebut. Sekarang ya.”
Resepsionis menelepon seseorang dan aku diminta menunggu sebentar. Aku berjalan mondar-mandir membuat resepsionis itu gelisah dan tak enak hati. Duh! Mana sih ojeknya? Aku nggak bisa menunggu terlalu lama, aku harus segera ke lokasi itu!
”Bu, ojeknya sudah menunggu di depan, silakan.”
”Makasih ya.”
Aku langsung berlari ke luar. Seorang tukang ojek sudah menungguku.
”Mang, tarik! Ke lokasi terjun bebas. Kebut ya.”
”Siap!” Benar saja, tanpa ba-bi-bu, motor mencelat maju dan aku pun sampai di lokasi dalam waktu kurang dari lima belas menit. Kru Angel masih ada di sana sedang merapikan kamera dan perlengkapan shooting, tapi di mana para profesional sky divers-nya? Aku celingukan ke kanan dan kiri.
”Hey. Sedang apa di sini?”
”Oh, aku... cari seseorang.” Angel mengangkat sebelah alisnya dan memasang tampang mengejek.
”Oh ya? Siapa?”
”Sky divers tadi, mereka ke mana?”
”Tuh!” Angel menunjuk dengan dagunya ke arah mobil yang sudah pergi meninggalkan lokasi. Aku hanya sempat menyuruh tukang ojek mengejar sih bisa-bisa saja, tapi aku mulai tak yakin dengan apa yang aku lihat tadi di televisi. Bisa saja itu bukan Cakka.
”Njel, mereka sky divers dari mana?” tanyaku.
”Kenapa? You wanna hire them? No can do, Sister! Mereka sudah aku kontrak untuk 16 episode. Dan kontraknya baru habis tahun depan! Lagi pula, cari dong acara yang baru, jangan menjiplak!”
”Nggak, aku nggak mau hire mereka kok, aku cuma mau tau mereka bas camp-nya di mana?”
”Bandung.”
”Mereka kelompok? Nama kelompoknya apa?”
”Find out for yourself! I'm not your answering machine!” Angel berbalik dan masuk ke bus mereka, meninggalkanku terpaku sendiri.
Apa benar tadi itu Cakka? Mungkinkah aku salah lihat?
”Selamat pagi, Rio. Apa kabar hari ini?” Rio sedikit terkejut kutanyakan kabarnya.
”Eh ba..baik, Bu, terima kasih.”
”Oke, have a nice day.” Aku melangkah masuk ke lift. Pagi ini mood-ku memang sedang baik. Rapat dengan Pak Duta minggu lalu, dan sekarang aku menuju kantor Om Dave. Sudah lama aku tak mengunjungi beliau. Aku juga tak sempat berkunjung ke rumahnya, membuatku sedikit merasa bersalah juga karena tanteku sudah sering menanyakan kapan aku akan datang ke rumah mereka.
-
Nanti kumasakkan makanan kesukaanmu, Shil.
Kau datanglah.
-
Begitu SMS dari Om Dave yang beberapa kali kuterima. Aku hanya mengiyakan dan berjanji jika ada waktu kosong aku akan datang mengunjunginya. Namun, sampai sekarang aku belum juga sempat. Kira-kira Tante marah tidak ya? Aku akan cari tahu lewat Om Dave.
”Halo, Om, good morning,” sapaku setelah mengetuk pintu kantornya.
”Shilla..! Alamak! Sibuk kali kau rupanya sampai-sampai tak sempat mengunjungi Om-mu ini.”
”Maad, Om, tapi kan Om tau sendiri gimana hectic-nya kerjaan Shilla sekarang.”
”Iyalah, mengertilah aku. Bawa apa kau?”
”Ini, mainan untuk sepupuku tersayang di rumah. Dan oleh-oleh dari Sukabumi untuk Tante.” Kuserahkan tas plastik yang kutenteng.
”Bah! Untukku tak kau belikan apa-apa?”
”Tenang, Om, Shilla kan tahu Om paling suka rengginang terasi. Nih, Shilla bawakan spesial buat Om.”
”Mantap! Thank you. You know me so well,” katanya berkelakar.
”Om gaul juga ternyata.” Om Dave terbahak-bahak.
”Gara-gara anakku lah. Cuma dia yang tahu lagu-lagu terbaru. Aku kan sudah tua.”
Kalau kuperhatikan memang Om Dave tampak menua sekarang. Beberapa kerut di wajahnya mulai tampak. Aku jadi ingat Papa. Apa kabar ya Papa sekarang? Aku lebih banyak berkomunikasi dengan Mama dan berasumsi kalau Papa sehat-sehat saja. Dari dulu memang aku tak begitu dekat dengan Papa, hanya pada saat-saat tertentu saja Papa dan aku ngobrol. Selama ini kami tak pernah beradu argumen, hal itu sudah dimonopoli Mama.
”So, are you ready for your first shooting?” tanya Om Dave.
”Siap, Om!”
Kepergianku ke Sukabumi kemarin memang untuk mencari tempat sebagai shooting perdana acara jalan-jalan stasiun TV kami yang baru. Dua hari aku di sana dan melihat sebuah danau yang indah di Lido. Menurut penduduk lokal, tempat itu sering didatangi para peminat olahraga ekstrem sky diving alias terjun bebas. Aku bergidik mendengarnya. Apa mereka berniat bunuh diri? Dan kata penuduk tersebut, minggu depan akan ada yang datang lagi dari stasiun TV lain yang akan merekam kegiatan ekstrem mereka. Aku harus lihat dan siapa tahu bisa mengambil sedikit buat tambahan promosi acaraku.
”Shilla akan berangkat minggu depan, Om.”
”Good. Siapa yang akan menjadi host acara itu?”
”Namanya Zevana Cakrabuana. Dia kandidat paling kuat. Om tau, kan?”
Om Dave tampak berpikir mengingat-ingat nama yang kusebutkan.
”Itu lho, Om, pemain sinetron. Belakangan ini dia memang mulai jarang muncul di layar kaca. Tapi, kepribadiannya super, energik, dan sangat camera face. Plus, dia bilang masih bisa nego soal honor. Jadi, overall, oke banget.”
”Oke, Om percaya dengan pilihanmu. Namanya juga sudah match dengan acaranya. Cakrabuana. Bagus! Bagus!” Om Dave mengangguk-angguk setuju.
***
Persiapan sudah sembilan puluh persen, naskah sudah siap dan Zeva pun sudah diberi pengarahan. Gadis ini cukup cerdas dan mampu mengembangkan sendiri dialognya tanpa keluar dari naskah aslinya. Kami pun berangkat ke Sukabumi pada hari yang telah ditentukan dengan membawa dua bus dan satu mobil kecil. Aku sebagai produser acara tentu saja harus ikut mendampingi di pengambilan gambar pertama ini. Perjalanan agak sedikit terhambat karena di beberapa tempat terjadi macet yang luar biasa dan kami sampai di Lido menjelang malam.
Sesampainya kami di hotel, rupanya sudah ada rombongan lain dan menurut resepsionis, jumlah kamar yang dipesan juga hampir sama dengan jumlah kamar yang rombongan kami pesan.
”Sepertinya mereka teh rombongan tipi juga sama itu... orang-orang yang suka ski diping,” katanya dengan logat Sunda yang kental.
”Oh...” Aku mengangguk-angguk. ”Dari stasiun TV mana? Tau nggak?” tanyaku penasaran. ”Dari Jakarta juga?” Resepsionis itu mengecek buku catatannya.
”Bukan, mereka teh dari Bandung. Cukup terkenal ini di Bandung, namina tipi KBS.”
Dengan sepotong informasi itu, kami berjalan menuju kamar masing-masing.
Pukul sepuluh malam, mataku masih juga tak bisa terpejam. Kuputuskan untuk keluar kamar, menuju restoran untuk menghirup wedang jahe hangat. Ternyata aku tak sendiri, seseorang sudah duduk di restoran itu dan menikmati secangkir minuman yang asapnya masih mengepul. Orang itu duduk menghadap jendela menatap panorama di malam hari yang indah dengan langit bening bertabur bintang. Tampak dari belakang, orang itu berambut lumayan pendek. Mungkin dia bisa jadi teman ngobrolku malam ini sambil membunuh waktu.
Begitu aku berjalan mendekatinya, perempuan itu mengangkat wajahnya dan menatapku dari pantulan jendela. Sesaat aku seperti dihipnotis; berhenti berlajan dan balas menatapnya. Wajah itu seperti wajah yang kukenal, tapi siapa? Perlahan perempuan itu menoleh.
”Angel?” tanyaku dengan nada tak percaya.
”Shilla,” katanya sambil mengangguk formal, sebelah tangannya mempersilakanku duduk di sampingnya. Aku mengenyahkan perasaan tak nyamanku dan duduk di kursi persis di samping Angel.
”Tidak bisa tidur?” tanyanya pendek. Nadanya datar seperti tanpa tanda apa-apa. Aku pun mulai rileks.
”Ya. Kau juga?” tanyaku basa-basi. Angel hanya mengangkat bahunya.
”Bagaimana kabarmu, Njel?” Angel tersenyum mendengar pertanyaanku seolah aku mencibirnya.
”Baik. Aku masih hidup. Kau bisa sampaikan pada om-mu.”
Aku terdiam.
”Kalau kau mau tau,” sambungnya. ”Aku sekarang bekerja di stasiun TV juga, jadi sekadar informasi saja kalau di dunia ini stasun TV bukan milik om-mu saja.”
Aku menggelengkan kepala tak memercayai apa yang kudengar. Angel–tak berubah juga rupanya. Dari dulu hingga sekarang kata-kata sinis selalu keluar dari mulutnya. Kutahan diriku agar tak terpancing.
”Baguslah kalau begitu,” jawabku tenang. ”Stasiun TV mana tampatmu bekerja sekarang?”
”KBS.” Aku menoleh ke arahnya.
”Di...”
”Ya, di Bandung.” Oh, rupanya kru-kru Angel yang sedang menginap di sini. Mereka meliput program apa ya? Diriku tergelitik penasara, tapi lagi-lagi kutahan diriku agar tak tampak bodoh.
”Kau sendiri, sedang apa di sini? Meliput?” tanyanya. Sejenak aku ragu.
”Kalau kau pikir aku akan mencuri idemu, you're wrong. Tapi kalo pun nggak mau jawab, fine.” Aku memilih diam dan Angel tak meneruskan pertanyaannya.
”Aku mau tanya sesuatu, Angel, kau boleh menjawab, boleh juga tidak.” Aku sudah lama penasaran dan kurasa inilah saat yang tepat untuk mendapatkan jawabannya. ”Kenapa kau sepertinya membenciku setengah mati?” I know it sounds stupid and whining, but I gotta know.
Angel tertawa pelan. ”Menurutmu aku membencimu, begitu?”
”Sepertinya begitu.” Aku tak perlu membeberkan semua yang telah dia lakukan padaku sewaktu aku menjadi anak buahnya, aku yakin dia masih ingat.
”Sebenarnya aku tidak membencimu, Shilla. Aku membenci keberuntunganmu.” Apa? Apa aku nggak salah dengar? Keberuntunganku dalam hal apa? Bukannnya aku sial terus? Apalagi kalau ada awan stratus yang gelap di langit, bisa dipastikan hariku tak akan menjadi lebih baik. Kadang kurasa mood-ku dipengaruhi juga oleh bentukan awan.
”Kau begitu lugu, begitu bodoh...” Aku menoleh hendak protes. ”Saat itu...” Angel buru-buru menambahkan. ”C'mon admit it, you're just fresh graduate and you expect to beat me? Wake up, girl!”
Ya, ya, terserah, yang penting sekarang aku kan sudah berhasil dan tidak bodoh lagi.
”Tapi dengan keberuntungan, kau bisa melambung naik dan before I knew it, namamu mulai terkenal sebagai reporter cute dengan topi rajut yang unik.” Angel mengatakan kalimat terakhir dengan gara mencibir. Sungguh mati aku pengin menamparnya. So what kalau aku pakai topi rajut? Apa itu mengganggu laporanku? Eh, tapi tunggu dulu, reporter cute? Did she actually say 'cute'? Aku melirik ke arahnya. Ah.. kumaafkan deh kata-kata Angel yang kasar sebelumnya. Aku baru tahu kalau aku terkenal. Kenapa dulu Angel tak memberitahuku ya?
”Dan aku iri dengan kemudahan yang kau dapatkan dengan fasilitas dari Om-mu itu,” sambungnya. Oh, that's why. Aku mengerti sekarang.
”Sekarang apa jabatanmu? Apa kau duduk di kursiku sekarang, seperti cita-citamu dulu?”
”Hey? Dari mana...” Ups!
Angel tertawa. ”Aku tau, Shilla, I know everything.”
”Aku produser acara sekarang.”
”Ow, tentu saja! Mana mungkin dengan memiliki Om seperti itu kau tetap jadi reporter, ya kan? Tapi aku sedikit heran, kenapa kau tidak duduk menggantikanku? Apa kau tidak sepintar yang orang bilang?”
Ihh... Angel dan mulut besarnya itu!
”Aku produser acara 'Berkoar Bersama Komar' kalau kau belum tau.”
”Ya, ya, aku tau. Baguslah.” Dia pun bangkit dari duduknya untuk kembali ke kamarnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun dan meninggalkan minumannya dingin tak tersentuh. I guess Angel will always be Angel.
***
Rombonganku berangkat pagi-pagi sekali karena kami akan mengejar matahari terbit yang konon akan terlihat sangat indah di pagi hari dekat danau tempat kami akan shooting. Zeva sudah siap dengan make yp dan kameramen serta kru yang lain pun sudah menunggu di bus saat aku datang. Sebelum mobil kami berangkat, kulihat kendaraan dari KBS masih parkir dan belum berangkat. 'Kalau kesiangan, rezeki dipatuk ayam.' Dulu Mama sering berpesan padaku demikian. Maka dengan hati-hati aku dan kru berangkat menuju lokasi.
Semburat sinar oranye muncul di ufuk timur, menandakan matahari akan segera muncul. Awan-awan sirus yang tampak seperti kapas putih memantulkan sinar oranye dari matahari dan efek yang dihasilkan sungguh luar biasa. Guratan-guratan warna oranye dan biru gradasi seolah permainan sinar laser di langit. Benar-benar memesona. Kuminta kameramen merekam proses tersebut, untuk nanti dijahitkan pada rekaman hari ini. Setelah matahari bersinar dengan sempurna, kami mulai mengambil gambar Zeva yang sedang menjelaskan tempat dan keindahan alam di Sukabumi ini.
Selama empat jam kamudi sini menelusuri keindahan Lido dan sekitarnya. Akhirnya, menjelang siang pengambilan gambar pun selesai. Aku mengajak kru untuk kembali ke hotel. Saat kami sedang bersiap-siap, di kejauhan kudengar suara-suara. Penasaran, segera aku mengambil tempat yang agak tinggi untuk melihat asal suara itu.
Nun jauh di sana, kulihat bus rombongan TV KBS membongkar muatan dan beberapa orang bersiap untuk masuk ke dalam pesawat kecil dengan berpakaian lengkap. Kurasa mereka adalah para pecinta olahraga ekstrem itu, tapi kenapa ada Angel ya? Dari sini aku bisa mengenali sosok Angel yang menggunakan celana panjang dan kaus berwarna putih. Angel shooting apa di sana ya?
Tak lama mobil kami siap berangkat. Separuh perjalanan menuju hotel, mesin pesawat terdengar dari kejauhan dan orang-orang tersebut naik.
”Itu mereka lagi shooting acara live.” Seorang kru tiba-tiba angkat bicara.
”Oh ya? Kamu tau dari mana?” tanyaku.
”Kan tadi malam kami main kartu sama-sama,” jawabnya sambil nyengir.
”Acaranya live?”
”Iya, kalau nanti kita sampai hotel, mungkin masih ada.”
Sebelum mobil berhenti sempurna, aku langsung membuka pintu dan setengah berlari menuju kamar. Aku benar-benar penasaran, Angel jadi apa di stasiun TV itu? Apakah dia jadi reporter sekarang? Seperti aku dulu. Ha-ha! Aku rasanya ingin tertawa jika hal itu benar adanya. Kunyalakan TV dan mencari channel KBS di daftar stasiun TV yang ada di atas meja. Setelah kutemukan, benar saja, wajah Angel yang sedang melaporkan dari atas langit.
”Wah, berani juga dia ikut terbang!” seruku pada diri sendiri. Gambar beralih ke para profesional sky divers. Mereka sedang membentuk formasi lingkaran, kemudian segilima dan beberapa formasi lainnya.
”Cool!”
Saat hanya beberapa ratus meter saja dari tanah, mereka membuka parasut masing-masing dan mendarat dengan mulus. Angel–yang entah bagaimana caranya sudah turun ke bawah juga–menghampiri mereka untuk wawancara. Satu per satu wajah para sky divers itu disorot oleh kamera. Ketika sampai pada orang terakhir, kamera hanya menyorot sebentar karena pimpinan kelompok olahraga ekstrem itu sudah mulai bicara. Tapi yang sebentar itu sudah cukup membuatku tercekat. Wajah itu... wajah itu...
”Seperti Cakka,” bisikku. ”Tapi apa mungkin?”
Kutatap layar televisi sambil berdoa dalam hati agar kamera disorotkan kembali kepada para sky divers itu, dan ketika akhirnya sebelum selesai wawancara, Tuhan mengabulkan doaku. Kameramen kembali menyorot wajah mereka satu per satu. Sky diver yang berdiri di paling ujung sedang menunduk sibuk membuka ikatan di pinggangnya. Tapi rambut itu, posturnya, cara berdirinya, aku sangat kenal. Nggak salah lagi! Itu Cakka! Meskipun hanya sekelebat, aku yakin itu Cakka. Cakka-ku! Aku menyambar tas tanganku dan berlari ke resepsionis.
”Mbak, eh, Teh, tolong saya, apa ada tukang ojek dekat sini?”
”Aya. Mau dipanggilkan?”
”Mau. Yang bisa ngebut. Sekarang ya.”
Resepsionis menelepon seseorang dan aku diminta menunggu sebentar. Aku berjalan mondar-mandir membuat resepsionis itu gelisah dan tak enak hati. Duh! Mana sih ojeknya? Aku nggak bisa menunggu terlalu lama, aku harus segera ke lokasi itu!
”Bu, ojeknya sudah menunggu di depan, silakan.”
”Makasih ya.”
Aku langsung berlari ke luar. Seorang tukang ojek sudah menungguku.
”Mang, tarik! Ke lokasi terjun bebas. Kebut ya.”
”Siap!” Benar saja, tanpa ba-bi-bu, motor mencelat maju dan aku pun sampai di lokasi dalam waktu kurang dari lima belas menit. Kru Angel masih ada di sana sedang merapikan kamera dan perlengkapan shooting, tapi di mana para profesional sky divers-nya? Aku celingukan ke kanan dan kiri.
”Hey. Sedang apa di sini?”
”Oh, aku... cari seseorang.” Angel mengangkat sebelah alisnya dan memasang tampang mengejek.
”Oh ya? Siapa?”
”Sky divers tadi, mereka ke mana?”
”Tuh!” Angel menunjuk dengan dagunya ke arah mobil yang sudah pergi meninggalkan lokasi. Aku hanya sempat menyuruh tukang ojek mengejar sih bisa-bisa saja, tapi aku mulai tak yakin dengan apa yang aku lihat tadi di televisi. Bisa saja itu bukan Cakka.
”Njel, mereka sky divers dari mana?” tanyaku.
”Kenapa? You wanna hire them? No can do, Sister! Mereka sudah aku kontrak untuk 16 episode. Dan kontraknya baru habis tahun depan! Lagi pula, cari dong acara yang baru, jangan menjiplak!”
”Nggak, aku nggak mau hire mereka kok, aku cuma mau tau mereka bas camp-nya di mana?”
”Bandung.”
”Mereka kelompok? Nama kelompoknya apa?”
”Find out for yourself! I'm not your answering machine!” Angel berbalik dan masuk ke bus mereka, meninggalkanku terpaku sendiri.
Apa benar tadi itu Cakka? Mungkinkah aku salah lihat?
KAU *part 10
DI sebuah restoran seafood pinggir danau pilihan Mama di
daerah Cibubur, aku lebih banyak melayangkan pandangan ke arah danau dan
membiarkan Mama menghabiskan sebagian besar porsi kepiting saus padang.
Pikiranku masih sibuk ke proposal program acara jalan-jalan yang baru saja
separuh kuselesaikan. Tadi Mama keburu bangun dan mengajakku ngobrol sehingga
aku tak sempat lagi menyelesaikannya.
”Shil, biasanya kan kamu paling suka kepiting, kenapa nggak makan?”
”Masih kenyang, Mam,” jawabku.
”Kamu harus makan, kalau nggak Mama pesenin udang ya? Atau cumi?”
”Ng.. nggak, nggak usah. Shilla makan kepiting aja.” Bisa repot kalau Mama pesan udang atau cumi, bisa-bisa aku yang harus menghabiskan.
Tiba-tiba seorang pria berdiri dekat meja kami dan membuat aku dan Mama serentak mengangkat wajah untuk melihat siapa yang datang. Aku tak mengenalnya sementara Mama langsung berdiri dan memluk pria tersebut. Siapa dia?
”Shilla, kenalkan, ini Alvin anak temen Mama.” Alvin menyodorkan tangannya yang aku sambut dengan senyum kaku. Tangannya terlalu lembut untuk ukuran seorang pria, beda dengan tangan Cakka yang kasar. Kenapa aku jadi membandingkannya dengan Cakka? Kutepis kelebatan pikiran tentang Cakka & mencoba fokus. Alvin memamerkan senyumnya yang menimbulkan sebuah lesung di pipi kanannya muncul. Cute, lumayan juga. Rupanya ini yang membuat Mama membelikanku baju baru dan mengajak makan di restoran ini.
”Alvin, akhirnya kamu datang. Kirain nggak jadi,” kata Mama.
”Jadi dong, Tante, kan saya sudah janji.”
”Sendiri?”
”Sendiri, Tante.”
”Sengaja Mama undang Alvin untuk datang ke sini, biar kamu kenal. Alvin ini anak sahabat Mama dulu di SMP.” kata Mama. Aku hanya mengangguk saja. Teman Mama tampaknya tersebar di mana-mana. Kalau aku sih jangankan teman SMP, teman SMA saja sudah banyak yang aku tak ingat namanya.
”Shil,” panggil Mama berusaha mengalihkan perhatianku dari permukaan danau yang dihiasi lampu-lampu. ”Alvin ini kerja di broadcasting juga lho.”
”Oh ya?” tanyaku sopan.
”Betul. Saya salah satu pimpinan redaksi di Cakrawala Television,” ucapnya sambil tersenyum.
”Oh? TV mana itu ya?”
”TV lokal di Cibubur sini. Memang tidak besar sih, maklum stasiun TV lokal.”
”Oh...” Aku mengangguk sopan. Sumpah, belum pernah dengar sebelumnya. Mama yang sepertinya mengetahui gelagatku yang akan kembali memandang ke danau, langsung mengambil alih percakapan.
”Mama kamu bagaimana kabarnya? Sehat?”
”Sehat, Tante.” Alvin kembali melempar senyum. Kalau aku perhatikan, senyum Alvin tak pernah lepas dari wajahnya. Mungkin dia tau kelebihannya terletak pada lesung pipinya itu. Rambutnya agak cepak lurus dengan gel yang membentuknya supaya terlihat acak-acakan, tidak seperti Cakka yang rambutnya gondrong ikal itu memang acak-acakan. Postur tubuhnya juga tinggi, tapi tak setinggi Cakka. Lagi-lagi Cakka yang mampir di benakku. Dalam hati aku menghela napas. Aku kangen kamu, Kka.
”Shilla produser program talkshow yang sama Komar itu lho,” kata Mama membuyarkan angan-anganku.
”Ow! Hebat. Rating-nya sedang tinggi sekali, saya juga selalu nonton. Ternyata produsernya gadis cantik yang di depan saya. Mungkin suatu hari TV kita bisa berkolaborasi dalam satu acara?” tanya Alvin. Aku mengangguk.
”Boleh juga,” jawabku dengan kurang antusias. Mama sepertinya menangkap jawabanku yang penuh basa-basi. Kakinya menendangku di bawah meja. Aku menjerit perlahan. Sakit juga tendangan Mama.
”Kenapa, Shil?” tanya Alvin.
”Oh, ng..nggak, kepentok kaki meja.” Alvin kembali senyum. Lama-lama pusing juga aku melihat lesung pipinya itu.
Aku berusaha memusatkan perhatian pada Alvin yang aku tahu sengaja dicarikan Mama dengan susah payah melalui berbagai penyaringan dan pertimbangan untuk menjadi jodohku. Sudah berkali-kali gagal menyuruhku membuka hati pada pria lain, akhirnya Mama memutuskan untuk mengambil langkah drastis ini. Namun, sepanjang makan malam itu, aku jadi selalu membandingkan Alvin dengan Cakka. Di mataku, Alvin tak sebanding dengan Cakka, tetapi aku tak mau mengecewakan Mama. Mungkin aku harus mulai membuka hari dan menerima kenyataan bahwa Cakka tak akan kembali.
Setelah Mama pulang kembali ke Surabaya, Alvin terus menelepon, mengirim SMS, dan mengajakku ke luar untuk jalan-jalan, nonton, atau sekadar minum kopi. Aku sebenarnya malas, karena program baru yang akan aku ajukan akan segera diagendakan dalam rapat dan butuh banyak persiapan. Kalau saja bukan karena Mama yang menelepon dan menanyakan kabar Alvin padaku, pasti cowok itu tak akan aku gubris sama sekali.
”Mam, kenapa tanya kabar Alvin ke Shilla? Tanya langsung aja deh, ke orangnya.”
”Lho, kan kamu yang sering ketemu dia.”
”Nggak juga.”
”Kenapa nggak? Memang dia nggak mengajak kamu ke luar?”
”Karena Shilla nggak mau.”
”Kamu harus mau kalo diajak Alvin.”
”Kenapa?” Aku balik tanya.
”Karena Alvin itu anak baik, dan nggak ada gunanya kamu terus-terusan berkabung demi seseorang yang sudah meninggal.” Aku terdiam. Sesuatu seperti menusuk dadaku. Bagiku Cakka masih ada. Dia belum meninggal.
”Shill, kamu dengar Mama?”
”Iya, Mam.”
”Besok mau jalan ke mana sama Alvin?”
Sebenarnya aku sudah menolak ajakan Alvin.
”Nggak ke mana-mana.”
”Mama ke Jakarta besok kalo begitu.”
Oh NO!
”Mama kenapa jadi terobsesi sama Alvin begini sih?” Aku berkata kesal dan mungkin Mama mendengar nada kesalku. Sebagai hadiah, Mama berceramah panjang lebar mengenai bahayanya hidup sendiri, bahayanya terobsesi pada seseorang, bahayanya mengharap dari seseorang yang sudah mati, pokoknya semua yang pernah aku dengar diucapkan lagi oleh Mama membuatku menyesal menolak ajakan Alvin untuk ke bioskop besok.
”Mam, Shilla cuma bercanda kok, besok Shilla sama Alvin mau pergi nonton.” Aku terpaksa harus menelan harga diriku, dan menelepon Alvin nanti, demi menghentikan ceramah Mama.
”Bilang dong dari tadi, kan Mama nggak ngabisin pulsa. Trus kamu udah siapin baju?”
”Baju Shilla banyak, kok.”
”Gak boleh pake jeans dan kaus ya!”
”Kenapa? Kan cuma ke bioskop.”
”Pakai gaun yang cantik dong.”
”Nggak Mam, jeans cukup, percaya deh.”
”Terserah kamu kalo gitu.” Mama rupanya nggak mau memaksa. Mungkin takut aku berubah pikiran.
Setelah pembicaraan dengan Mama selesai, sebuah tantangan baru menanti; aku harus menelepon Alvin dan mengajaknya kencan. Oh, betapa memalukan setelah tadi aku menolaknya. Kulihat keluar jendela, langit di atas cerah dengan gumpalan awan kumulonimbus yang besar berwarna putih bersih dan hitam berarak-arak.
”Sepertinya mau hujan,” gumamku sendiri melihat beberapa kilat di antara awan tersebut. Kali ini aku harus akui, bentukan awan kumulonimbus yang berkelompok besar-besar tersebut seperti tumpukan cucian kotor di pojokan kamar. Mungkin hubunganku dengan Alvin akan berakhir seperti tumpukan cucian kotor.
”Halo... umm.. Alvin?”
”Eh, halo Shilla, ada apa?”
”Aku berubah pikiran. Besok aku mau nonton sama kamu.”
”Great! Aku jemput jam 7 malam ya.”
”Oke, thanks.” Fiuh. Ternyata nggak sulit.
***
Pukul tujuh tepat, Alvin tiba di kosan dengan pakaian rapi seperti biasa dan lagi-lagi mengobral senyumnya. Beberapa teman kosku yang sedang duduk-duduk di depan sepertinya terjerat pesonanya. Aku tak peduli, kalau ada yang mau menjadikan Alvin gebetan mereka, silakan saja. Kubenamkan kepalaku lebih dalam ke topi rajut kuningku. Awan kumolonimbus yang kemarin sudah mencurahkan hujannya yang banyak itu ternyata masih memiliki banyak persediaan air. Gumpalan awan tersebut malam ini terlihat masih menggantung di langit dan kini yang banyak terlihat adalah yang berwarna hitam, perasaanku jadi kurang enak.
”Nice hat,” pujinya.
”Thanks,” jawabku singkat.
Di bioskop, Alvin mengantre tiket, sementara aku memandang satu per satu poster-poster film yang dipajang. Film yang akan kami tonton kali ini bertema komedi dengan latar belakang Perang Dunia kedua yang dibintangi Brad Pitt yang katanya sangat bagus. Alvin membeli popcorn dan minuman untuk kami dan kami pun masuk teater setelah dipersilakan.
Setelah lampu dipadamkan dan iklan-iklan film lain selesai ditayangkan, film Inglourious Basterds mulai diputar. Seharusnya film ini yang bisa kunikmati karena action dan latar belakang perang yang aku suka. Harus kuakui, Alvin hebat juga bisa mengetahui kalau aku suka film perang. Mungkin sebelumnya ia sudah berkonsultasi dengan Mama. Namun sialnya, film itu justru mengingatkanku pada Cakka. Selama di bioskop, aku sibuk mengusap air mata dan Alvin yang berniat mencuri-curi pegang tanganku jadi mengurungkan niat dan melipat tangannya selama film berlangsung.
Selesai nonton kami minum kopi di kafe dekat bioskop.
”Filmnya bagus ya tadi?” tanya Alvin.
Aku mengangguk.
”Kulihat kamu sangat menikmatinya, sampai-sampai menangis.” Aku tahu Alvin ingin menanyakan padaku perihal air mata yang tumpah di dalam tadi. Well, why not just tell him?
”Aku dulu punya teman, dia pilot.”
”Teman?”
”Pacar.”
”I see.” Alvin mengangguk paham. ”Lalu?”
”Dia hilang....” Mataku terancam basah lagi.
”Hilang? Maksudnya?”
”Sepulang tugas, pesawatnya jatuh, mungkin kamu pernah dengar kecelakaan pesawat setahun yang lalu?”
”Oh, itu? Ya, aku memang menonton beritanya. Kapten siapa namanya?”
”Cakka.”
”Ya, ya, aku ingat.”
”Maaf Alvin, aku mengerti maksud Mama mengenalkan kita berdua, tapi aku belum bisa melupakan dia. Aku.. aku..”
”Aku paham kok, Shil. No worries.” Dan kami menghabiskan malam dengan aku menceritakan perihal Cakka padanya.
Alvin sangat baik dan pengertian, tak sekali pun dia menginterupsiku. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian. Aku tahu harga dirinya pasti sedikit banyak terkoyak karena pengakuanku, tapi apa mau dikata? Lagi pula, dia yang bertanya duluan. Aku hanya perlu menjawab dengan jujur. Kalau pada akhirnya dia mundur dan memutuskan untuk tak lagi menghubungiku, itu sepenuhnya pilihan dia, bukan paksaan dariku.
Keesokan harinya, Mama meneleponku dan bertanya perihal jalan-jalanku dengan Alvin.
”Shil, Mama mendapat SMS dari Alvin, katanya dia tak bisa lagi meneruskan perkenalan dengan kamu. Kenapa, Shil? Ada apa?”
”Memang dia bilangnya apa, Ma?” Jantungku berdebar. Kira-kira apa yang dikatakan Alvin pada Mama?
”Katanya dia ternyata masih mencintai mantannya dan belakangan ini mereka sudah mulai kontak lagi.”
”Oh ya? Alvin bilang begitu?” Syukurlaaahh.. aku selamat dari amukan Mama. Alvin menyelamatkanku.
”Tapi, Mama jadi curiga nih.”
Mataku langsung melotot. Waduh!
”Cu... curiga kenapa, Mam?”
”Mama tahu betul kalau Alvin itu belum punya pacar, dari dulu sampai sekarang. Mamanya yang cerita ke Mama. Jadi, kenapa Alvin bisa bohong seperti itu?”
”Ya... mungkin sebenarnya dia punya pacar, Mam, tapi nggak dia ceritakan ke mamanya,” jawabku sedikit gugup.
”Alvin? Bohong? Memang dia keliatan punya tampang pembohong? Menurut Mama nggak. Kamu nggak cerita tentang Cakka ke dia, kan?” Suara alto nada rendah andalan Mama mulai keluar.
”Um.. dikit,” jawabku dengan suara pelan. ”Tapi itu dia yang tanya kok, Mam, bukan Shilla yang inisiatid cerita!” sambungku buru-buru.
”Shilla, ngapain sih kamu pakai cerita soal Cakka? Dia itu sudah mati, Shil. Mati!” Aku tersentak mendengar perkataan Mama. Belum pernah kudengar beliau mengatakan sesuatu yang keras seperti itu.
”Kenapa Mama kasar begitu?” tanyaku dengan sedih.
”Kamu hidup dalam bayang-bayang semu. Kamu harus segera menghentikan ini semua, Shilla! Kalau tidak, kamu akan jadi perawan tua seumur hidupmu, mengerti?” Mama mengeluarlan ultimatumnya.
***
”Tapi bagi gue dia belum meninggal, Yel.”
Sore itu, sepulang kerja, aku mengajak Gabriel untuk makan malam. Aku buruh teman curhat dan butuh sahabat yang mengerti perasaanku. Gabriel sangat mengerti apa yang aku rasakan dibandingkan orang lain. Kami mengawali karier bersama dan hingga kini kedekatan kami tetap terjaga.
”Gue merasa dia ada di suatu tempat, menunggu untuk gue temukan.” Gabriel hanya diam saja. Kurasa dia sebenarnya memiliki pendapat yang sama dengan Mama, tapi nggak tega menyatakan langsung padaku.
”Menurut lo, gue gila nggak, Yel?”
”Mungkin sekian ons aja gilanya.”
”Ah elo!” Kulempar lap tangan di atas meja ke arahnya sambil tertawa. ”Dari dulu nggak pernah serius lo. Gue heran, gimana cewek lo bisa betah jadi pacar lo ya?”
”Justru itu yang bikin pacar gue nggak bisa lepas.”
”Huu! GR!”
Sejenak kami saling melempar joke dan celaan yang hanya nyambung bagi kami berdua. Tiba-tiba Gabriel menatapku serius.
”Shil, sorry kalo pertanyaan gue menyinggung perasaan lo, tapi sampai kapan elo menganggap Cakka masih hidup? Udah setahun lebih dia hilang.”
”Iya, gue tau udah setahun lebih. Elo pikir gue nggak menghitung?”
Gabriel tak tahu kalau aku memiliki kalender khusus untuk menghitung hari kepergian Cakka yang kusimpan rapat-rapat dalam laci kantor. Seperti ritual, tiap pagi aku akan mengeluarkan kalender kecil tersebut, mencoret tanggal hari itu dan kembali bekerja. Memang akan terdengar aneh, tapi ritual itu yang justru membuatku kuat dengan keyakinan bahwa suatu hari nanti aku akan bertemu lagi dengan Cakka-ku.
”So, kenapa elo nggak dengerin kata-kata nyokap lo? Beliau benar, Shil. Elo tuh harus move on!”
”Tapi gue belum siap melepas dia, Yel.”
”Oke, gue ngerti perasaan lo. Gue tau Cakka memang spesial buat elo. Tapi gue harap elo juga ingat kalo nyokap lo pasti sedih ngeliat keadaan lo sekarang. Elo produser yang sukses, acara lo mendapat rating tertinggi, tapi hati lo kosong.”
”Hati gue nggak kosong!” kataku dengan nada sedikit tinggi.
”Iya, gue tau hati lo dipenuhi Cakka, tapi sampai kapan?”
”Sampai dia kembali.”
Gabriel hanya diam dan memandangku dengan tatapan sedih.
”Lo cinta banget sama dia ya, Shil?”
”Iya.”
”Oke.” Gabriel mengulurkan tangannya dan menepuk punggung tanganku pelan. ”Gue akan coba untuk mencari berita terakhir tentang usaha pencarian Cakka.”
”Bukannya pencarian udah dihentikan?” tanyaku.
”Iya, tapi nanti gue find out lagi, siapa tau ada kabar terbaru.”
”Find out ke mana? Gue udah coba cari ke Dayat, mantan bosnya, nggak ada kabar.”
”I have my own sources.” Gabriel mengedipkan sebelah matanya, membuatku tertawa karena cara Gabriel mengedip itu seperti orang cacingan.
”Elo masih mencari wangsit dari awan, Shil?” tanya Gabriel mengalihkan pembicaraan.
”Cari wangsit? Sembarangan aja lo!” Kucubit tangannya kuat-kuat.
”Selama ini gue bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mungkin acara talkshow yang elo produserin itu bisa melambung rating-nya. Pasti elo dapet wangsit dari mbah awan, ya?”
”Gabriel! Gue bukan manusia klenik, tau!”
”Tapi elo masih kan memandang ke luar jendela sebelum rapat atau sebelum shooting? Buat apa coba kalau bukan minta wangsit?” Gabriel habis-habisan meledekku, dia tau yang sebenarnya, tapi dia sengaja meledekku agar aku kembali tertawa. Gabriel memang seperti itu. True friend.
***
”Ayo Shilla, masa kamu takut.” Aku berpegangan tangan ke pintu helikopter yang terbuka.
”Lompat Shilla, lompat. Ambil awan-awan kamu. Ayo lompat.” Aku masih berpegangan pada pintu helikopter dengan posisi menghadap ke luar. Dari atas sini, aku bisa melihat betapa kecilnya daratan di bawah sana.
”Aku takut, Kka.”
”Kamu pasti bisa.”
”Aku nggak bakal bisa.”
”Kamu bisa!”
”Aku belum mau mati!”
”Kamu nggak bakal mati.”
”Aku takuuuuuttt!” Tiba-tiba aku sudah melayang di udara. Berputar-putar terbawa angin. Ujung jariku menyentuh lembutnya awan yang dingin. Butiran-butiran air membasahi telapak tanganku.
Makin lama daratan makin dekat. Hijaunya sawah, birunya laut, mulai terlihat. Aku segera menarik tali dan parasutku mengembang membawaku melayang sejenak di udara sebelum turun ke darat. Tiba-tiba dari atas sesosok jangkung menyusulku sambil berteriak...
”Shillaaaa.. tunggu aku...” Dan sosok itu melewatiku dengan cepat. Cakka tak memakai parasutnya! Dia akan terhempas ke tanah, dia akan mati!
”Cakka...! Cakkaaaa..!” Aku tersentak bangun dari mimpi burukku. Kuhela napas panjang berusaha menenangkan diri. Keringat membasahi sekujur tubuhku. Kulirik jam meja yang menunjukkan pukul 2.30 dini hari. Fuih... pagi masih lama. Kuseret kakiku ke dapur mengambil air minum. Beberapa hari belakangan ini, aku sering mengalami mimpi dan semuanya berhubungan dengan Cakka. Mimpi-mimpi itu biasanya diawali dengan kegiatan yang pernah aku lakukan bersama Cakka, tetapi akhirnya berubah menjadi cerita horor yang membangunkanku di tengah malam seperti ini dan membuatku tak bisa tidur lagi sampai pagi.
Untuk membunuh waktu, kukeluarkan laptop dan mulai merapikan berkas yang akan kupresentasikan di depan Pak Duta. Semua sudah siap dan aku yakin sekali Pak Duta tak akan menolaknya. Kalau mengingat Pak Duta, terbukti dia beda jauh sekali dengan Angel sehingga tak terasa sudah tiga bulan aku bekerja sebagai produser. Om Dave ternyata benar, Pak Duta bukan diktator dan sangat suportif. Aku pun jadi berkembang dengan ide-ideku. Rasanya ada kepuasan tersendiri dalam batinku. Kuhela napas dalam dan mengintip dari jendela. Sepotong awan kumulus menyapaku di luar sana. Awan kumulus itu terlihat kesepian tanpa teman-temannya karena biasanya jenis awan ini berbentuk kelompok-kelompok bulat dan cukup banyak.
”Hey kamu, mana teman-temanmu yang lain?” bisikku padanya. Hingga pagi gorden kubiarkan terbuka agar kami bisa saling menemani; aku dan awan kumulus, dua makhluk yang sama-sama kesepian.
”Shil, biasanya kan kamu paling suka kepiting, kenapa nggak makan?”
”Masih kenyang, Mam,” jawabku.
”Kamu harus makan, kalau nggak Mama pesenin udang ya? Atau cumi?”
”Ng.. nggak, nggak usah. Shilla makan kepiting aja.” Bisa repot kalau Mama pesan udang atau cumi, bisa-bisa aku yang harus menghabiskan.
Tiba-tiba seorang pria berdiri dekat meja kami dan membuat aku dan Mama serentak mengangkat wajah untuk melihat siapa yang datang. Aku tak mengenalnya sementara Mama langsung berdiri dan memluk pria tersebut. Siapa dia?
”Shilla, kenalkan, ini Alvin anak temen Mama.” Alvin menyodorkan tangannya yang aku sambut dengan senyum kaku. Tangannya terlalu lembut untuk ukuran seorang pria, beda dengan tangan Cakka yang kasar. Kenapa aku jadi membandingkannya dengan Cakka? Kutepis kelebatan pikiran tentang Cakka & mencoba fokus. Alvin memamerkan senyumnya yang menimbulkan sebuah lesung di pipi kanannya muncul. Cute, lumayan juga. Rupanya ini yang membuat Mama membelikanku baju baru dan mengajak makan di restoran ini.
”Alvin, akhirnya kamu datang. Kirain nggak jadi,” kata Mama.
”Jadi dong, Tante, kan saya sudah janji.”
”Sendiri?”
”Sendiri, Tante.”
”Sengaja Mama undang Alvin untuk datang ke sini, biar kamu kenal. Alvin ini anak sahabat Mama dulu di SMP.” kata Mama. Aku hanya mengangguk saja. Teman Mama tampaknya tersebar di mana-mana. Kalau aku sih jangankan teman SMP, teman SMA saja sudah banyak yang aku tak ingat namanya.
”Shil,” panggil Mama berusaha mengalihkan perhatianku dari permukaan danau yang dihiasi lampu-lampu. ”Alvin ini kerja di broadcasting juga lho.”
”Oh ya?” tanyaku sopan.
”Betul. Saya salah satu pimpinan redaksi di Cakrawala Television,” ucapnya sambil tersenyum.
”Oh? TV mana itu ya?”
”TV lokal di Cibubur sini. Memang tidak besar sih, maklum stasiun TV lokal.”
”Oh...” Aku mengangguk sopan. Sumpah, belum pernah dengar sebelumnya. Mama yang sepertinya mengetahui gelagatku yang akan kembali memandang ke danau, langsung mengambil alih percakapan.
”Mama kamu bagaimana kabarnya? Sehat?”
”Sehat, Tante.” Alvin kembali melempar senyum. Kalau aku perhatikan, senyum Alvin tak pernah lepas dari wajahnya. Mungkin dia tau kelebihannya terletak pada lesung pipinya itu. Rambutnya agak cepak lurus dengan gel yang membentuknya supaya terlihat acak-acakan, tidak seperti Cakka yang rambutnya gondrong ikal itu memang acak-acakan. Postur tubuhnya juga tinggi, tapi tak setinggi Cakka. Lagi-lagi Cakka yang mampir di benakku. Dalam hati aku menghela napas. Aku kangen kamu, Kka.
”Shilla produser program talkshow yang sama Komar itu lho,” kata Mama membuyarkan angan-anganku.
”Ow! Hebat. Rating-nya sedang tinggi sekali, saya juga selalu nonton. Ternyata produsernya gadis cantik yang di depan saya. Mungkin suatu hari TV kita bisa berkolaborasi dalam satu acara?” tanya Alvin. Aku mengangguk.
”Boleh juga,” jawabku dengan kurang antusias. Mama sepertinya menangkap jawabanku yang penuh basa-basi. Kakinya menendangku di bawah meja. Aku menjerit perlahan. Sakit juga tendangan Mama.
”Kenapa, Shil?” tanya Alvin.
”Oh, ng..nggak, kepentok kaki meja.” Alvin kembali senyum. Lama-lama pusing juga aku melihat lesung pipinya itu.
Aku berusaha memusatkan perhatian pada Alvin yang aku tahu sengaja dicarikan Mama dengan susah payah melalui berbagai penyaringan dan pertimbangan untuk menjadi jodohku. Sudah berkali-kali gagal menyuruhku membuka hati pada pria lain, akhirnya Mama memutuskan untuk mengambil langkah drastis ini. Namun, sepanjang makan malam itu, aku jadi selalu membandingkan Alvin dengan Cakka. Di mataku, Alvin tak sebanding dengan Cakka, tetapi aku tak mau mengecewakan Mama. Mungkin aku harus mulai membuka hari dan menerima kenyataan bahwa Cakka tak akan kembali.
Setelah Mama pulang kembali ke Surabaya, Alvin terus menelepon, mengirim SMS, dan mengajakku ke luar untuk jalan-jalan, nonton, atau sekadar minum kopi. Aku sebenarnya malas, karena program baru yang akan aku ajukan akan segera diagendakan dalam rapat dan butuh banyak persiapan. Kalau saja bukan karena Mama yang menelepon dan menanyakan kabar Alvin padaku, pasti cowok itu tak akan aku gubris sama sekali.
”Mam, kenapa tanya kabar Alvin ke Shilla? Tanya langsung aja deh, ke orangnya.”
”Lho, kan kamu yang sering ketemu dia.”
”Nggak juga.”
”Kenapa nggak? Memang dia nggak mengajak kamu ke luar?”
”Karena Shilla nggak mau.”
”Kamu harus mau kalo diajak Alvin.”
”Kenapa?” Aku balik tanya.
”Karena Alvin itu anak baik, dan nggak ada gunanya kamu terus-terusan berkabung demi seseorang yang sudah meninggal.” Aku terdiam. Sesuatu seperti menusuk dadaku. Bagiku Cakka masih ada. Dia belum meninggal.
”Shill, kamu dengar Mama?”
”Iya, Mam.”
”Besok mau jalan ke mana sama Alvin?”
Sebenarnya aku sudah menolak ajakan Alvin.
”Nggak ke mana-mana.”
”Mama ke Jakarta besok kalo begitu.”
Oh NO!
”Mama kenapa jadi terobsesi sama Alvin begini sih?” Aku berkata kesal dan mungkin Mama mendengar nada kesalku. Sebagai hadiah, Mama berceramah panjang lebar mengenai bahayanya hidup sendiri, bahayanya terobsesi pada seseorang, bahayanya mengharap dari seseorang yang sudah mati, pokoknya semua yang pernah aku dengar diucapkan lagi oleh Mama membuatku menyesal menolak ajakan Alvin untuk ke bioskop besok.
”Mam, Shilla cuma bercanda kok, besok Shilla sama Alvin mau pergi nonton.” Aku terpaksa harus menelan harga diriku, dan menelepon Alvin nanti, demi menghentikan ceramah Mama.
”Bilang dong dari tadi, kan Mama nggak ngabisin pulsa. Trus kamu udah siapin baju?”
”Baju Shilla banyak, kok.”
”Gak boleh pake jeans dan kaus ya!”
”Kenapa? Kan cuma ke bioskop.”
”Pakai gaun yang cantik dong.”
”Nggak Mam, jeans cukup, percaya deh.”
”Terserah kamu kalo gitu.” Mama rupanya nggak mau memaksa. Mungkin takut aku berubah pikiran.
Setelah pembicaraan dengan Mama selesai, sebuah tantangan baru menanti; aku harus menelepon Alvin dan mengajaknya kencan. Oh, betapa memalukan setelah tadi aku menolaknya. Kulihat keluar jendela, langit di atas cerah dengan gumpalan awan kumulonimbus yang besar berwarna putih bersih dan hitam berarak-arak.
”Sepertinya mau hujan,” gumamku sendiri melihat beberapa kilat di antara awan tersebut. Kali ini aku harus akui, bentukan awan kumulonimbus yang berkelompok besar-besar tersebut seperti tumpukan cucian kotor di pojokan kamar. Mungkin hubunganku dengan Alvin akan berakhir seperti tumpukan cucian kotor.
”Halo... umm.. Alvin?”
”Eh, halo Shilla, ada apa?”
”Aku berubah pikiran. Besok aku mau nonton sama kamu.”
”Great! Aku jemput jam 7 malam ya.”
”Oke, thanks.” Fiuh. Ternyata nggak sulit.
***
Pukul tujuh tepat, Alvin tiba di kosan dengan pakaian rapi seperti biasa dan lagi-lagi mengobral senyumnya. Beberapa teman kosku yang sedang duduk-duduk di depan sepertinya terjerat pesonanya. Aku tak peduli, kalau ada yang mau menjadikan Alvin gebetan mereka, silakan saja. Kubenamkan kepalaku lebih dalam ke topi rajut kuningku. Awan kumolonimbus yang kemarin sudah mencurahkan hujannya yang banyak itu ternyata masih memiliki banyak persediaan air. Gumpalan awan tersebut malam ini terlihat masih menggantung di langit dan kini yang banyak terlihat adalah yang berwarna hitam, perasaanku jadi kurang enak.
”Nice hat,” pujinya.
”Thanks,” jawabku singkat.
Di bioskop, Alvin mengantre tiket, sementara aku memandang satu per satu poster-poster film yang dipajang. Film yang akan kami tonton kali ini bertema komedi dengan latar belakang Perang Dunia kedua yang dibintangi Brad Pitt yang katanya sangat bagus. Alvin membeli popcorn dan minuman untuk kami dan kami pun masuk teater setelah dipersilakan.
Setelah lampu dipadamkan dan iklan-iklan film lain selesai ditayangkan, film Inglourious Basterds mulai diputar. Seharusnya film ini yang bisa kunikmati karena action dan latar belakang perang yang aku suka. Harus kuakui, Alvin hebat juga bisa mengetahui kalau aku suka film perang. Mungkin sebelumnya ia sudah berkonsultasi dengan Mama. Namun sialnya, film itu justru mengingatkanku pada Cakka. Selama di bioskop, aku sibuk mengusap air mata dan Alvin yang berniat mencuri-curi pegang tanganku jadi mengurungkan niat dan melipat tangannya selama film berlangsung.
Selesai nonton kami minum kopi di kafe dekat bioskop.
”Filmnya bagus ya tadi?” tanya Alvin.
Aku mengangguk.
”Kulihat kamu sangat menikmatinya, sampai-sampai menangis.” Aku tahu Alvin ingin menanyakan padaku perihal air mata yang tumpah di dalam tadi. Well, why not just tell him?
”Aku dulu punya teman, dia pilot.”
”Teman?”
”Pacar.”
”I see.” Alvin mengangguk paham. ”Lalu?”
”Dia hilang....” Mataku terancam basah lagi.
”Hilang? Maksudnya?”
”Sepulang tugas, pesawatnya jatuh, mungkin kamu pernah dengar kecelakaan pesawat setahun yang lalu?”
”Oh, itu? Ya, aku memang menonton beritanya. Kapten siapa namanya?”
”Cakka.”
”Ya, ya, aku ingat.”
”Maaf Alvin, aku mengerti maksud Mama mengenalkan kita berdua, tapi aku belum bisa melupakan dia. Aku.. aku..”
”Aku paham kok, Shil. No worries.” Dan kami menghabiskan malam dengan aku menceritakan perihal Cakka padanya.
Alvin sangat baik dan pengertian, tak sekali pun dia menginterupsiku. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian. Aku tahu harga dirinya pasti sedikit banyak terkoyak karena pengakuanku, tapi apa mau dikata? Lagi pula, dia yang bertanya duluan. Aku hanya perlu menjawab dengan jujur. Kalau pada akhirnya dia mundur dan memutuskan untuk tak lagi menghubungiku, itu sepenuhnya pilihan dia, bukan paksaan dariku.
Keesokan harinya, Mama meneleponku dan bertanya perihal jalan-jalanku dengan Alvin.
”Shil, Mama mendapat SMS dari Alvin, katanya dia tak bisa lagi meneruskan perkenalan dengan kamu. Kenapa, Shil? Ada apa?”
”Memang dia bilangnya apa, Ma?” Jantungku berdebar. Kira-kira apa yang dikatakan Alvin pada Mama?
”Katanya dia ternyata masih mencintai mantannya dan belakangan ini mereka sudah mulai kontak lagi.”
”Oh ya? Alvin bilang begitu?” Syukurlaaahh.. aku selamat dari amukan Mama. Alvin menyelamatkanku.
”Tapi, Mama jadi curiga nih.”
Mataku langsung melotot. Waduh!
”Cu... curiga kenapa, Mam?”
”Mama tahu betul kalau Alvin itu belum punya pacar, dari dulu sampai sekarang. Mamanya yang cerita ke Mama. Jadi, kenapa Alvin bisa bohong seperti itu?”
”Ya... mungkin sebenarnya dia punya pacar, Mam, tapi nggak dia ceritakan ke mamanya,” jawabku sedikit gugup.
”Alvin? Bohong? Memang dia keliatan punya tampang pembohong? Menurut Mama nggak. Kamu nggak cerita tentang Cakka ke dia, kan?” Suara alto nada rendah andalan Mama mulai keluar.
”Um.. dikit,” jawabku dengan suara pelan. ”Tapi itu dia yang tanya kok, Mam, bukan Shilla yang inisiatid cerita!” sambungku buru-buru.
”Shilla, ngapain sih kamu pakai cerita soal Cakka? Dia itu sudah mati, Shil. Mati!” Aku tersentak mendengar perkataan Mama. Belum pernah kudengar beliau mengatakan sesuatu yang keras seperti itu.
”Kenapa Mama kasar begitu?” tanyaku dengan sedih.
”Kamu hidup dalam bayang-bayang semu. Kamu harus segera menghentikan ini semua, Shilla! Kalau tidak, kamu akan jadi perawan tua seumur hidupmu, mengerti?” Mama mengeluarlan ultimatumnya.
***
”Tapi bagi gue dia belum meninggal, Yel.”
Sore itu, sepulang kerja, aku mengajak Gabriel untuk makan malam. Aku buruh teman curhat dan butuh sahabat yang mengerti perasaanku. Gabriel sangat mengerti apa yang aku rasakan dibandingkan orang lain. Kami mengawali karier bersama dan hingga kini kedekatan kami tetap terjaga.
”Gue merasa dia ada di suatu tempat, menunggu untuk gue temukan.” Gabriel hanya diam saja. Kurasa dia sebenarnya memiliki pendapat yang sama dengan Mama, tapi nggak tega menyatakan langsung padaku.
”Menurut lo, gue gila nggak, Yel?”
”Mungkin sekian ons aja gilanya.”
”Ah elo!” Kulempar lap tangan di atas meja ke arahnya sambil tertawa. ”Dari dulu nggak pernah serius lo. Gue heran, gimana cewek lo bisa betah jadi pacar lo ya?”
”Justru itu yang bikin pacar gue nggak bisa lepas.”
”Huu! GR!”
Sejenak kami saling melempar joke dan celaan yang hanya nyambung bagi kami berdua. Tiba-tiba Gabriel menatapku serius.
”Shil, sorry kalo pertanyaan gue menyinggung perasaan lo, tapi sampai kapan elo menganggap Cakka masih hidup? Udah setahun lebih dia hilang.”
”Iya, gue tau udah setahun lebih. Elo pikir gue nggak menghitung?”
Gabriel tak tahu kalau aku memiliki kalender khusus untuk menghitung hari kepergian Cakka yang kusimpan rapat-rapat dalam laci kantor. Seperti ritual, tiap pagi aku akan mengeluarkan kalender kecil tersebut, mencoret tanggal hari itu dan kembali bekerja. Memang akan terdengar aneh, tapi ritual itu yang justru membuatku kuat dengan keyakinan bahwa suatu hari nanti aku akan bertemu lagi dengan Cakka-ku.
”So, kenapa elo nggak dengerin kata-kata nyokap lo? Beliau benar, Shil. Elo tuh harus move on!”
”Tapi gue belum siap melepas dia, Yel.”
”Oke, gue ngerti perasaan lo. Gue tau Cakka memang spesial buat elo. Tapi gue harap elo juga ingat kalo nyokap lo pasti sedih ngeliat keadaan lo sekarang. Elo produser yang sukses, acara lo mendapat rating tertinggi, tapi hati lo kosong.”
”Hati gue nggak kosong!” kataku dengan nada sedikit tinggi.
”Iya, gue tau hati lo dipenuhi Cakka, tapi sampai kapan?”
”Sampai dia kembali.”
Gabriel hanya diam dan memandangku dengan tatapan sedih.
”Lo cinta banget sama dia ya, Shil?”
”Iya.”
”Oke.” Gabriel mengulurkan tangannya dan menepuk punggung tanganku pelan. ”Gue akan coba untuk mencari berita terakhir tentang usaha pencarian Cakka.”
”Bukannya pencarian udah dihentikan?” tanyaku.
”Iya, tapi nanti gue find out lagi, siapa tau ada kabar terbaru.”
”Find out ke mana? Gue udah coba cari ke Dayat, mantan bosnya, nggak ada kabar.”
”I have my own sources.” Gabriel mengedipkan sebelah matanya, membuatku tertawa karena cara Gabriel mengedip itu seperti orang cacingan.
”Elo masih mencari wangsit dari awan, Shil?” tanya Gabriel mengalihkan pembicaraan.
”Cari wangsit? Sembarangan aja lo!” Kucubit tangannya kuat-kuat.
”Selama ini gue bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mungkin acara talkshow yang elo produserin itu bisa melambung rating-nya. Pasti elo dapet wangsit dari mbah awan, ya?”
”Gabriel! Gue bukan manusia klenik, tau!”
”Tapi elo masih kan memandang ke luar jendela sebelum rapat atau sebelum shooting? Buat apa coba kalau bukan minta wangsit?” Gabriel habis-habisan meledekku, dia tau yang sebenarnya, tapi dia sengaja meledekku agar aku kembali tertawa. Gabriel memang seperti itu. True friend.
***
”Ayo Shilla, masa kamu takut.” Aku berpegangan tangan ke pintu helikopter yang terbuka.
”Lompat Shilla, lompat. Ambil awan-awan kamu. Ayo lompat.” Aku masih berpegangan pada pintu helikopter dengan posisi menghadap ke luar. Dari atas sini, aku bisa melihat betapa kecilnya daratan di bawah sana.
”Aku takut, Kka.”
”Kamu pasti bisa.”
”Aku nggak bakal bisa.”
”Kamu bisa!”
”Aku belum mau mati!”
”Kamu nggak bakal mati.”
”Aku takuuuuuttt!” Tiba-tiba aku sudah melayang di udara. Berputar-putar terbawa angin. Ujung jariku menyentuh lembutnya awan yang dingin. Butiran-butiran air membasahi telapak tanganku.
Makin lama daratan makin dekat. Hijaunya sawah, birunya laut, mulai terlihat. Aku segera menarik tali dan parasutku mengembang membawaku melayang sejenak di udara sebelum turun ke darat. Tiba-tiba dari atas sesosok jangkung menyusulku sambil berteriak...
”Shillaaaa.. tunggu aku...” Dan sosok itu melewatiku dengan cepat. Cakka tak memakai parasutnya! Dia akan terhempas ke tanah, dia akan mati!
”Cakka...! Cakkaaaa..!” Aku tersentak bangun dari mimpi burukku. Kuhela napas panjang berusaha menenangkan diri. Keringat membasahi sekujur tubuhku. Kulirik jam meja yang menunjukkan pukul 2.30 dini hari. Fuih... pagi masih lama. Kuseret kakiku ke dapur mengambil air minum. Beberapa hari belakangan ini, aku sering mengalami mimpi dan semuanya berhubungan dengan Cakka. Mimpi-mimpi itu biasanya diawali dengan kegiatan yang pernah aku lakukan bersama Cakka, tetapi akhirnya berubah menjadi cerita horor yang membangunkanku di tengah malam seperti ini dan membuatku tak bisa tidur lagi sampai pagi.
Untuk membunuh waktu, kukeluarkan laptop dan mulai merapikan berkas yang akan kupresentasikan di depan Pak Duta. Semua sudah siap dan aku yakin sekali Pak Duta tak akan menolaknya. Kalau mengingat Pak Duta, terbukti dia beda jauh sekali dengan Angel sehingga tak terasa sudah tiga bulan aku bekerja sebagai produser. Om Dave ternyata benar, Pak Duta bukan diktator dan sangat suportif. Aku pun jadi berkembang dengan ide-ideku. Rasanya ada kepuasan tersendiri dalam batinku. Kuhela napas dalam dan mengintip dari jendela. Sepotong awan kumulus menyapaku di luar sana. Awan kumulus itu terlihat kesepian tanpa teman-temannya karena biasanya jenis awan ini berbentuk kelompok-kelompok bulat dan cukup banyak.
”Hey kamu, mana teman-temanmu yang lain?” bisikku padanya. Hingga pagi gorden kubiarkan terbuka agar kami bisa saling menemani; aku dan awan kumulus, dua makhluk yang sama-sama kesepian.
Langganan:
Postingan (Atom)