Rabu, 08 Mei 2013
In:
KAU
KAU *part 1
Hayy hayy hayyy :D
Ada cerbug baru nihh , berhubung yg JCSLNW udah mau tamat , aku repost cerbug lagi , dengan couple masih sama Cakshill :D
Ini cerbug aku copas dari kak Ria Primadiharti :)
Dan kak Ria copas dari sebuah novel yang pengarangnya itu Sylvia L'Namira :)
Mungkin udah ada yang baca cerbug ini di notenya kak Ria/di novel aslinya, tapi kalo yang belum baca ,baca yukk :p
Semoga suka yaa :D
*part 1
"Pemirsa, saya Ashilla Zahrantiara melaporkan untuk News TV Station, langsung dari Lampung."
Kamera cut, microphone off, lalu aku berlari memasuki mobil kru televisi sambil menghapus keringat yang mengucur di dahiku. Udara dingin AC mobil mendinginkan tubuhku yang seperti mau meleleh, terbakar panasnya udara Lampung yang hari itu kurang bersahabat. Bukannya aku tidak tahu keadaan akan menjadi seperti ini. Bentukan awan sirrus di langit yang menyerupai seekor ayam merupakan pertanda yang cukup jelas bagiku bahwa perjalanan ke Lampung ini tidak akan banyak mengubah jalan karierku di stasiun televisi ini. Hal itu jugalah yang kemarin membuatku sempat menolak diberangkatkan ke Lampung.
"Gila ya, Yel, gue nggak nyangka, di Indonesia kita tercinta ini ternyata masih banyak banget anak yang kurang gizi kayak tadi," kataku pada Gabriel, kameramen yang selalu mendampingiku meliput berita, yang kini duduk di sampingku.
"Nggak cuma di Lampung, Shil, banyak juga anak yang kekurangan gizi kayak gitu. Di Jakarta aja, yang notabene ibukota pemerintahan, banyak juga kok anak yang menderita gizi buruk," sahut Gabriel.
"Tapi herannya," sambungku, "rata-rata jumlah anak dalam satu keluarga itu bisa sampe empat atau lima orang. Bahkan yang baru kita wawancarai tadi, anaknya sampai tujuh! Gimana mereka nggak menderita gizi buruk? Bapaknya aja kerjanya cuma buruh serabutan."
"Ya, gitu deh. Bisanya bikin anak aja, tapi nggak mikirin kualitas hidup, juga pendidikan anak-anaknya," jawab Gabriel asal-asalan.
"Tapi mungkin juga karena mereka kurang pengetahuan soal KB, Yel?" Tiba-tiba ide itu muncul di kepalaku. Lihat saja tempat tinggal mereka di desa terpencil seperti ini. Mana ada petugas pemerintah daerah yang mau sering-sering berkunjung untuk memberi penyuluhan? Aku akan menambahkan di laporanku tentang imbauan untuk seluruh aparat pemerintah daerah di Indonesia agar lebih memperhatikan warganya, terutama yang tinggal di pelosok.
"Hei, ngelamun! Makan yuk!" ajak Gabriel penuh semangat, membuatku mendelik padanya, heran. Bisa-bisanya Gabriel masih bernapsu makan setelah tadi meliput seorang ibu yang menggendong anaknya yang berperut buncit karena kurang gizi? Mana bisa aku makan dengan gambaran tersebut melekat dalam pikiranku?
"Gue nggak selera makan, Yel."
"Kenapa? Gara-gara berita tadi?"
Aku hanya mengangguk.
"Gue kan udah bilang sama elo. Jangan dimasukin hati. Kita kan tadi udah ngasih bantuan ke mereka, ya udah, paling nggak kan, hari ini mereka bisa makan dengan gizi yang baik."
Tapi tetap saja aku masih kepikiran. Lagi pula, berapa banyak sih bantuan yang diberikan NTS tempatku bekerja kepada mereka? Paling hanya cukup untuk makan enak selama seminggu. Seolah mengetahui apa yang ada dalam pikiranku, Gabriel pun berkata, "Biar cuma ngasih sedikit, tapi kita masih mending, Shil, daripada pemerintah yang nggak peduli sama sekali."
"Gue sebenernya stres kalo disuruh ngeliput berita kayak gini, Yel."
"Nah, kalo tau bakal gitu, terus kenapa lo mau?" timpal Gabriel yang langsung membuatku diam. Benar juga. Kenapa aku mau? Karena si Singa yang orang-orang sebut bos itu? Atau karena aku ingin menunjukkan kepada semua orang kalau aku mampu?
"Eh, Shilla, gue heran deh ama elo. Elo ngapain sih susah-susah jadi reporter? Secara yang punya stasiun TV om lo sendiri. Elo minta aja jabatan jadi pemimpin redaksi, atau apa, kek."
"Ah, gue nggak suka kalo pake cara jadul. Pake surat 'sakti'lah, atau 'titipan'lah." aku memberi tanda kutip dengan jari. "Gue mau jabatan yang nanti gue peroleh adalah hasil jerih payah gue sendiri, bukan karena bantuan om gue."
"Cieeh... idealis nih ceritanya?" Gabriel tersenyum meledek. Aku balas tersenyum tipis.
"Bukan idealis, tapi liat aja kenyataannya. Gue jadi bawahan aja, si Singa udah mengaum kayak gitu–apalagi kalo gue masuk langsung jadi atasan? Tuh singa pasti bakal menerkam gue." Aku malah jadi curcol soal pimpinan redaksiku deh.
Di mataku, Angel adalah perempuan tegas dan sangat keras pada bawahannya–terutama padaku. Entah apa masalahnya, tapi sepertinya Angel kurang suka padaku sejak hari pertama aku bekerja di NTS.
Aku ingat pertama kali bertemu Angel. Saat itu aku baru beberapa bulan wisuda dari kampus Universitas Indonesia, tempatku menimba ilmu. Sejak dulu, sebelum kuliah, aku memang sudah menyukai pekerjaan yang menantang dan dinamis seperti ini. Itulah yang membuatku memilih Jurusan Komunikasi Massa dan bercita-cita bekerja di stasiun TV. Apalagi Om Dave yang kaya raya loh jinawi menawariku untuk bergabung di stasiun TV miliknya, stasiun televisi NTS yang memfokuskan pada liputan berita teraktual dari berbagai daerah di Indonesia. Om Dave adalah adik kandung Mama dan mereka hanya dua bersaudara. Beliau sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak yang masih balita. Tak heran jika Om Dave sangat senang melihat keponakan satu-satunya ini memiliki minat yang sama dengannya.
Begitu aku lulus kuliah, Om Dave langsung menawariku jabatan menjadi pemimpin redaksi. Namun, sebagai lulusan yang belum berpengalaman, aku sadar bahwa aku belum pantas dan belum mampu untuk menjabat posisi tinggi itu. Idealnya, untuk menduduki posisi setinggi itu, seseorang harus mengenal pekerjaan-pekerjaan yang ada di bawahnya. Karena itulah, untuk saat ini aku meminta untuk diterima menjadi reporter. Jika nanti memang hasil kerjaku memuaskan dan petinggi itu menilai bahwa aku pantas menduduki jabatan yang lebih tinggi, barulah aku akan menerimanya.
Tapi yang tak kusangka adalah, pemimpin redaksi yang menjadi atasanku ternyata perempuan supergalak yang sampai sekarang kusebut Singa Betina. Angel tidak menyukaiku sejak kami bertemu di kantor Om Dave dan aku diperkenalkan sebagai keponakannya. Untung saja Om Dave tidak menyebut keponakan-emas-kesayangan seperti yang sering beliau banggakan di pertemuan-pertemuan keluarga. Tapi tetap saja, hingga kini Angel sepertinya selalu menemukan cara untuk membuat hidupku menderita. Mulai dari meliput berita di daerah terpencil bersama Gabriel, meliput berita tidak penting yang hanya akan dibacakan sambil lalu dalam program tik-tok-news; berita dua menit yang berisi liputan ringan–tetapi, tentu saja meliputnya tidak ringan. Bahkan, ia sampai mengirimku ke daerah antah berantah hanya untuk meliput berita tentang air yang keluar dari sebuah pohon di sebuah desa bernama Sukajaya. Heran, dari mana Angel tahu ada air yang keluar dari batang pohon kecil desa terpencil yang bahkan di peta pun sulit ditemui koordinatnya itu? Pasti dia punya informan! Karena perempuan sejenis Angel bisa melakukan apa saja untuk menyengsarakan orang yang tidak disukainya, yang dalam kasus ini adalah aku.
Sudah setahun aku menjadi reporter, tetapi karierku belum juga menunjukkan tanda-tanda menggembirakan. Aku tahu Angel sengaja mengulur-ulur waktu, menungguku keluar dari stasiun televisi ini karena tidak kerasan. Namun, bukan Ashilla Zahrantiara namaku kalau sampai kalah dalam perang seperti ini.
"Kalo elo minta dijadiin pemimpin redaksi, Om lo pasti bakal setuju, kan? Dan elo jadi bisa ngelawan si Singa dengan kekuatan berimbang." Gabriel masih berusaha memanas-manasiku. Tampaknya dia pun sakit hati pada Angel karena meski sudah hampir dua tahun menjadi kameramen liputan, namun Gabriel tak kunjung juga diangkat menjadi kameramen studio. Padahal sudah beberapa kali Gabriel mengajukan diri tetapi selalu ditolak dengan berbagai alasan.
"Biar deh, gue liat dulu sampai mana dia bisa bertahan di kursi empuknya itu." Menurutku, aku sudah harus memikirkan sesuatu. Aku tidak boleh membiarkan Singa Betina itu berbuat semaunya dan terus menyiksaku dan Gabriel seperti ini.
Malam semakin larut dan aku masih bergelut dengan laptop membuat laporan hasil liputanku di Lampung siang tadi. Tak lupa imbauan bagi seluruh aparat desa kucantumkan di sana. Semoga tidak mengalami pengeditan yang terlalu drastis. Tubuhku terasa penat setelah seharian bepergian menyeberangi laut ke Lampung dengan kapal feri plus perjalanan darat yang sulit karena kondisi jalan di sana yang jelek. Tapi aku harus segera menyelesaikan dan menyerahkan laporan ini pada si Singa besok atau dalam rapat nanti si Singa akan mengaum dengan sindiran-sindirannya yang kelihatannya stoknya semakin bervariasi.
Kubuka jendela kos dan kupandangi langit di luar sana. Malam ini langit dihiasi altokumulus–awan berbentuk deretan ombak yang terlihat jelas di langit bertabur bintang. Malam yang indah.
***
"Eh, kenapa lo? Bete banget kayaknya?" Gabriel menghampiri saat aku keluar dari ruangan Angel.
"Gimana nggak bete? Barusan gue nyerahin laporan liputan kita di Lampung kemarin, eh... jangankan diliat, dilirik aja nggak! Padahal gue udah bikin semaleman, begadang pula!" Aku tak menambahkan bahwa selain itu, mimpiku semalam pun benar-benar menyebalkan. Mimpi yang awal-awalnya indah berubah menjadi mimpi buruk dengan hadirnya Angel. Dalam mimpiku, si Singa Betina itu memberiku tugas meliput dan begitu aku berusaha menolaknya, tiba-tiba cewek itu berubah menjadi monster besar berkepala tiga yang sangat menakutkan dan bahkan salah satu kepalanya berusaha menerkamku hingga membuatku terbangun di tengah malam dan tidak bisa tidur lagi hingga pagi.
"Terus, tugas kita hari ini apa?" Suara Gabriel mengusik ingatanku akan mimpi burukku semalam.
"Ngeliput ibu-ibu PKK di Desa Jatiasih yang lagi ngerajut," jawabku tanpa semangat.
"Ibu-ibu ngerajut? Di Bekasi?" Gabriel menggaruk kepalanya yang jelas tidak gatal. Aku hanya mengangkat bahu dan berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Terus terang, aku pun sebal dengan penugasan ini. Kubuka pintu emergency dan kunaiki tangga menuju lantai paling atas.
"Shil, lo serius?" Gabriel mengejarku.
"Kalo nggak percaya, elo tanya aja tuh si Singa," kataku sambil menatap langit yang berawan. Meski berawan, hari terlihat cukup cerah. Kutatap dengan seksama gumpalan awan rendah yang menghiasi langit, tanpa menghiraukan ocehan Gabriel yang mengikutiku hingga ke atap gedung ini.
"Gila, ya? Padahal berita yang lagi hangat kan, beritanya anggota DPRD yang ditangkap karena dugaan korupsi! Kita seharusnya ke penjara untuk cari tau berita itu, Shil! Bukannya malah disuruh ngeliput ibu-ibu yang lagi ngerajut." Suara Gabriel terdengar sarat emosi.
Aku tak berkomentar, masih berkonsentrasi.
"Elo ngapain, sih? Ngecek awan lagi?" Gabriel ikut menatap langit mencari objek yang menjadi pusat perhatianku.
"Tuh, elo liat nggak, awan yang berbentuk kepala monyet itu?" Aku menunjuk segumpal awan di kejauhan. Sekilas aku melihat Gabriel seperti hendak tertawa.
"Nggak, gue ngeliatnya kayak tumpukan cucian di pojokan kamar kos gue. Ouch!"
Kutinju bahunya sekuat tenaga. Sembarangan banget si Gabriel, gumpalan awan kesukaanku dibilang seperti tumpukan cucian kotor! "Elo yang bener dong, liatnya!"
Gabriel memasang tampang serius menatap langit.
"Oh iya bener, kalo diperhatiin emang ada bentuknya, ya?"
Aku menahan bibirku supaya tidak keceplosan menyebutnya manusia tanpa imajinasi karena jika dilihat dari raut seriusnya, sepertinya Gabriel pun mulai bisa melihat bentukan-bentukan awan, seperti aku.
"Gimana? Kepala monyet, kan? Yang sebelah kanan itu, dua kuping kecilnya, nah yang di bawahnya itu tuh..." tunjukku, "moncongnya."
"Iyaaa... Gue liat sekarang. Bentuknya nggak kayak cucian, ding."
"Emang nggak!"
"Tapi mirip tumpukan kotoran kuda!" Gabriel langsung kabur sebelum aku sempat menghujaninya dengan tinju saktiku.
Biar gini-gini, pas zaman kuliah dulu, aku pernah ikut ilmu bela diri. Yah... meskipun baru dua bulan, aku langsung memutuskan untuk berhenti. Nggak kuat, ah.
Setahun menjadi partnerku, tampaknya Gabriel mulai mengerti bahwa aku penyuka gumpalan-gumpalan awan di langit. Aku keberatan disebut terobsesi karena memang sejak kecil, entah mengapa dan bagaimana awalnya, semua yang aku lakukan selalu aku 'konsultasi'kan terlebih dulu ke langit dengan melihat bentukan-bentukan awannya. Orang sering menganggap kebiasaan unikku itu sebagai hal yang aneh. Apalagi dulu–sekarang sudah mendingan–jika aku merasa bahwa awan memberi pertanda buruk bagiku, aku tidak akan mau keluar dari rumah meskipun hari itu aku ada ujian di kampus. Mama dan papa dibuat pusing dengan tingkahku yang seperti itu, sampai-sampai mereka sempat mengkonsultasikan hal ini ke psikiater. Tak tanggung-tanggung, Mama sendiri yang langsung menyeretku ke luar kamar dan langsung ke psikiater.
Aku ingat saat pertama kali berada di ruangan sang psikiater. Saat itu aku masih kuliah di tingkat dua.
"Ashilla, sejak kapan kamu menyukai awan?" tanya dokter itu.
"Sejak kecil."
"Mama kamu bilang, awan-awan itu berbicara padamu. Apa itu benar?"
"Ya." Terus terang aku malas menjawab, tapi Mama sudah membayar mahal untuk bertemu dokter yang terkenal dengan diagnosis-diagnosisnya yang tepat ini.
"Bicara bagaimana? Apakah terdengar seperti bisikan?"
Aku ingat saat itu rasanya aku ingin tertawa. Dasar dokter gila! Mana ada awan berbisik ke telinga manusia? Sepertinya bukan aku yang harus diperiksa, tapi dokternya.
"Nggak," jawabku pendek. Sejenak sang dokter terlihat bingung.
"Tapi... Mama kamu bilang..."
"Loh, kan yang merasakan saya, Dok. Bukan Mama."
"Oke, lalu bagaimana cara awan-awan itu berbicara padamu?"
"Saya tidak pernah bilang awan-awan itu berbicara secara langsung," aku bicara perlahan-lahan dan menekankan setiap suku kata yang kuucapkan seolah sedang bicara pada seorang anak TK. "Tapi mereka memberi pertanda-pertanda kepada saya melalui bentukan mereka di langit. Mengertikan, Dokterrr...?"
Tampaknya dokter itu sedikit tersinggung, tapi aku tak begitu peduli. Kenapa juga dia ambil jurusan dokter jiwa kalau tak siap menghadapi pasien-pasien seperti aku?
Untungnya bagiku, sejak mengikuti beberapa sesi bersama dokter itu, aku menjadi tidak lagi seekstrem dulu dan itu membuat Mama senang. Tapi ada satu hal yang tak Mama ketahui, sekarang aku punya penangkal untuk setiap cuaca, yaitu topi rajut tiga warna! Topi rajut ini kupakai sebagai penangkal marabahaya yang diberitakan lewat benda langit tersebut. Jika keadaan baik-baik saja, aku akan memakai topi rajut hijau. Dan jika bentukan awan berbentuk benda yang kuyakini akan membawa masalah, maka aku akan mengenakan topiku yang berwarna kuning. Sementara, topi rajut berwarna merah hanya aku gunakan saat emergency, saat keadaan memang benar-benar genting. Bukankah itu ide yang sangat brilian?
"Elo percaya banget ya sama takhayul? Heran gue!" kata Gabriel ketika kami dalam perjalanan menuju Bekasi.
"Gue bukan percaya takhayul, Yel, sembarangan lo!"
"Terus, apa dong namanya kalo bukan percaya takhayul? Elo selalu liat ke langit, terus elo pake topi rajut warna-warni kayak lampu lalu lintas yang elo bilang buat penangkal. Kenapa nggak sekalian aja elo kalungin buntut kelinci?"
"Eh, kalo ngalungin buntut kelinci, itu namanya jimat! Gue kan cuma konsultasi ke awan." Kalau sudah menyangkut awan, aku tidak akan terina Gabriel–atau siapa pun–meremehkan kekuatan awan sedemikian rupa.
"Apa bedanya?" Gabriel masih ngeyel.
"Gabriel, denger ya. Awan-awan itu berusaha ngasih advice ke gue."
"Advice?" Gabriel menyunggingkan senyum meledeknya.
"Contohnya dulu, waktu gue liat ada kepala naga. Sesuai banget kan, sama prediksi gue? Inget nggak lo?"
Gabriel tentu saja tidak akan melupakan kejadian kepala naga yang membuat heboh seisi kantor itu. Waktu itu aku baru tiga bulan bekerja dan Angel menyuruhku meliput pemilihan bupati di Tangerang. Aku diminta untuk meliput mulai dari pencoblosan kartu suara hingga perhitungan suara pada sore harinya. Saat itu, aku tidak langsung mengiyakan tugas tersebut, tetapi minta izin keluar dari ruangan Angel dan langsung menuju atap gedung. Saat itu kulihat di langit ada kepala naga!
Gawat! Pertanda kurang baik.
Aku pun segera kembali ke ruang Angel dan memintanya untuk menunda penugasanku. Tapi, Angel tak mau mendengar permintaanku. Ia malah mengusirku gila hari itu karena berteriak-teriak di depan ruangan Angel.
"Di langit ada kepala naga, Angel! Kepala naga!"
"I don't care! You pergi meliput dan saya ingin laporan langsung dari tempat pemilihan bupati!" Bam! Pintu dibanting dan aku memaki-maki Angel dengan kata-kata yang sebaiknya tidak disiarkan ulang di stasiun televisi mana pun.
Dengan gemetar ketakutan, aku memaksa Mang Jajang, sopir kantor, untuk mengantarku kembali ke kosan. Mang Jajang berusaha menolak, tapi aku tampaknya sudah di amabng kewarasanku dan menjerit-jerit minta diantarkan ke kosan.
"Aku harus ambil topi rajutku! Please, Pak, please, pleaseee...!" jeritku dari jarak sepuluh senti dari kuping Mang Jajang dan membuat Gabriel semakin yakin bahwa aku hampir menggila. Akhirnya, Mang Jajang tak punya pilihan lain. Mungkin baginya, lebih baik mengantarku ke kosan daripada harus mendengarku menjerit-jerit di kupingnya, seharian. Sebelumnya, pemilihan bupati Tangerang itu memang dikabarkan akan ricuh, dan penampakan kepala naga membuatku semakin yakin bahwa sesuatu yang kurang baik akan terjadi.
"Nanti pasti ada kejadian mengerikan," kataku pelan. Hatiku sudah sedikit tenang setelah memakai topi rajutku yang berwarna merah menyala. Aku masih agak tegang tetapi jauh lebih tenang daripada ketika kami berangkat dari kantor tadi. Gabriel dan Mang Jajang sekilas saling pandang dan aku tahu apa yang ada dalam pikiran mereka. Namun aku yakin, kelak mereka akan melihat sendiri bahwa kekhawatiranku memang beralasan, dan bukan sekedar omong kosong seperti dugaan mereka saat ini. Aku tak bisa membayangkan, betapa menyesalnya Angel jika aku tetap menuruti perintahnya dan sesuatu terjadi padaku. Karena Om Dave akan mengusut asal perintah liputan itu, dan bukan hal yang tidak mungkin ia akan memecat Angel! Pikiran itu sedikit banyak membuatku merasa tenang.
Di lokasi pemilihan, proses pencoblosan berjalan aman dan aku dengan profesionalisme tinggi melaporkan untuk NTS dari jarak yang menurutku aman. Lagi pula, meski dari jarak yang tidak terlalu dekat seperti ini pun aku masih bisa melihat proses pencoblosan itu, dan toh lensa kamera yang dibawa Gabriel pun bisa di-zoom! Angel berkali-kali menelepon Gabriel dan menyuruhnya untuk memberitahuku agar melepaskan topi merahku selama siaran langsung tersebut berlangsung dan lebih mendekat ke lokasi pemilihan. Tentu saja kutolak mentah-mentah permintaannya itu karena–meskipun harus kuakui penampilanku kelihatan seperti korban mode–dengan penampilan seperti ini, entah kenapa rasanya aku jadi jauh lebih percaya diri daripada sebelumnya. Akhirnya Singa itu pun menyerah dan membiarkanku dengan topi rajut merahku ini. Mungkin sebenarnya ia pun terpaksa menuruti keinginanku karena aku mengancam tidak mau meliput berita ini jika dia terus melarangku seperti itu.
Saat penghitungan suara, mulailah terjadi kericuhan di tempat perhitungan. Pendukung calon bupati yang kalah merasa tidak puas dan meminta diadakan penghitungan suara ulang, dan ketika tak mendapat tanggapan positif dari panitia, mereka pun mulai melakukan aksi anarkis dan merusak tempat pencoblosan serta membakar kotak suara yang ada di sana. Polisi baru datang setelah adu jotos terjadi di antara dua kubu massa pendukung. Panitia pun tak luput dari pemukulan massa yang mengamuk itu.
Saat kericuhan terjadi, Gabriel langsung menarikku masuk ke mobil dan Mang Jajang dengan sigap bak pembalap Sentul membawa seluruh kru NTS menjauh dari tempat kejadian. Meskipun Gabriel sebenarnya lebih mengkhawatirka kameranya rusak daripada keselamatan partnernya ini, dan Mang Jajang tampaknya lebih mengkhawatirkan keselamatan mobil kantor dari lemparan-lemparan batu daripada keselamatan penumpangnya ini, aku tetap bersyukur karena akhirnya mereka mau mendengarkan saranku–yang kuteriakkan dengan nada setinggi enam oktaf–supaya mau meliput dari jauh.
"Gue juga bilang apa! Kepala naga di langit bukan pertanda bagus," tuturku dalam perjalanan pulang saat itu. Gabriel hanya diam, kurasa ia mulai sedikit memercayai pertanda yang aku lihat di langit. Mungkin saat itu hatinya tengah membenarkan bahwa kejadian yang baru saja dialaminya memang sesuai dengan prediksiku. Mungkin ia sedang berpikir bahwa seharusnya aku berpindah karier menjadi seorang peramal! Dan sekarang, aku melihat kepala monyet di langit.
"Kalo gitu, kepala monyet artinya apa?" Gabriel yang sejak kejadian kepala naga tersebut mulai sedikit-sedikit mendengarkan ocehanku, jadi merasa penasaran.
"Kalo kepala monyet, artinya kita bakal dapat berita yang menggembirakan. Monyet itu kan identik dengan keceriaan dan kenakalan, bisa jadi di balik berita ngerajutnya ibu-ibu PKK, ada berita besar lainnya. Nih liat, gue pake topi warna hijau, kan?" Aku nyengir lebar menunjuk topi rajutku. Gabriel hanya geleng-geleng kepala
Ada cerbug baru nihh , berhubung yg JCSLNW udah mau tamat , aku repost cerbug lagi , dengan couple masih sama Cakshill :D
Ini cerbug aku copas dari kak Ria Primadiharti :)
Dan kak Ria copas dari sebuah novel yang pengarangnya itu Sylvia L'Namira :)
Mungkin udah ada yang baca cerbug ini di notenya kak Ria/di novel aslinya, tapi kalo yang belum baca ,baca yukk :p
Semoga suka yaa :D
*part 1
"Pemirsa, saya Ashilla Zahrantiara melaporkan untuk News TV Station, langsung dari Lampung."
Kamera cut, microphone off, lalu aku berlari memasuki mobil kru televisi sambil menghapus keringat yang mengucur di dahiku. Udara dingin AC mobil mendinginkan tubuhku yang seperti mau meleleh, terbakar panasnya udara Lampung yang hari itu kurang bersahabat. Bukannya aku tidak tahu keadaan akan menjadi seperti ini. Bentukan awan sirrus di langit yang menyerupai seekor ayam merupakan pertanda yang cukup jelas bagiku bahwa perjalanan ke Lampung ini tidak akan banyak mengubah jalan karierku di stasiun televisi ini. Hal itu jugalah yang kemarin membuatku sempat menolak diberangkatkan ke Lampung.
"Gila ya, Yel, gue nggak nyangka, di Indonesia kita tercinta ini ternyata masih banyak banget anak yang kurang gizi kayak tadi," kataku pada Gabriel, kameramen yang selalu mendampingiku meliput berita, yang kini duduk di sampingku.
"Nggak cuma di Lampung, Shil, banyak juga anak yang kekurangan gizi kayak gitu. Di Jakarta aja, yang notabene ibukota pemerintahan, banyak juga kok anak yang menderita gizi buruk," sahut Gabriel.
"Tapi herannya," sambungku, "rata-rata jumlah anak dalam satu keluarga itu bisa sampe empat atau lima orang. Bahkan yang baru kita wawancarai tadi, anaknya sampai tujuh! Gimana mereka nggak menderita gizi buruk? Bapaknya aja kerjanya cuma buruh serabutan."
"Ya, gitu deh. Bisanya bikin anak aja, tapi nggak mikirin kualitas hidup, juga pendidikan anak-anaknya," jawab Gabriel asal-asalan.
"Tapi mungkin juga karena mereka kurang pengetahuan soal KB, Yel?" Tiba-tiba ide itu muncul di kepalaku. Lihat saja tempat tinggal mereka di desa terpencil seperti ini. Mana ada petugas pemerintah daerah yang mau sering-sering berkunjung untuk memberi penyuluhan? Aku akan menambahkan di laporanku tentang imbauan untuk seluruh aparat pemerintah daerah di Indonesia agar lebih memperhatikan warganya, terutama yang tinggal di pelosok.
"Hei, ngelamun! Makan yuk!" ajak Gabriel penuh semangat, membuatku mendelik padanya, heran. Bisa-bisanya Gabriel masih bernapsu makan setelah tadi meliput seorang ibu yang menggendong anaknya yang berperut buncit karena kurang gizi? Mana bisa aku makan dengan gambaran tersebut melekat dalam pikiranku?
"Gue nggak selera makan, Yel."
"Kenapa? Gara-gara berita tadi?"
Aku hanya mengangguk.
"Gue kan udah bilang sama elo. Jangan dimasukin hati. Kita kan tadi udah ngasih bantuan ke mereka, ya udah, paling nggak kan, hari ini mereka bisa makan dengan gizi yang baik."
Tapi tetap saja aku masih kepikiran. Lagi pula, berapa banyak sih bantuan yang diberikan NTS tempatku bekerja kepada mereka? Paling hanya cukup untuk makan enak selama seminggu. Seolah mengetahui apa yang ada dalam pikiranku, Gabriel pun berkata, "Biar cuma ngasih sedikit, tapi kita masih mending, Shil, daripada pemerintah yang nggak peduli sama sekali."
"Gue sebenernya stres kalo disuruh ngeliput berita kayak gini, Yel."
"Nah, kalo tau bakal gitu, terus kenapa lo mau?" timpal Gabriel yang langsung membuatku diam. Benar juga. Kenapa aku mau? Karena si Singa yang orang-orang sebut bos itu? Atau karena aku ingin menunjukkan kepada semua orang kalau aku mampu?
"Eh, Shilla, gue heran deh ama elo. Elo ngapain sih susah-susah jadi reporter? Secara yang punya stasiun TV om lo sendiri. Elo minta aja jabatan jadi pemimpin redaksi, atau apa, kek."
"Ah, gue nggak suka kalo pake cara jadul. Pake surat 'sakti'lah, atau 'titipan'lah." aku memberi tanda kutip dengan jari. "Gue mau jabatan yang nanti gue peroleh adalah hasil jerih payah gue sendiri, bukan karena bantuan om gue."
"Cieeh... idealis nih ceritanya?" Gabriel tersenyum meledek. Aku balas tersenyum tipis.
"Bukan idealis, tapi liat aja kenyataannya. Gue jadi bawahan aja, si Singa udah mengaum kayak gitu–apalagi kalo gue masuk langsung jadi atasan? Tuh singa pasti bakal menerkam gue." Aku malah jadi curcol soal pimpinan redaksiku deh.
Di mataku, Angel adalah perempuan tegas dan sangat keras pada bawahannya–terutama padaku. Entah apa masalahnya, tapi sepertinya Angel kurang suka padaku sejak hari pertama aku bekerja di NTS.
Aku ingat pertama kali bertemu Angel. Saat itu aku baru beberapa bulan wisuda dari kampus Universitas Indonesia, tempatku menimba ilmu. Sejak dulu, sebelum kuliah, aku memang sudah menyukai pekerjaan yang menantang dan dinamis seperti ini. Itulah yang membuatku memilih Jurusan Komunikasi Massa dan bercita-cita bekerja di stasiun TV. Apalagi Om Dave yang kaya raya loh jinawi menawariku untuk bergabung di stasiun TV miliknya, stasiun televisi NTS yang memfokuskan pada liputan berita teraktual dari berbagai daerah di Indonesia. Om Dave adalah adik kandung Mama dan mereka hanya dua bersaudara. Beliau sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak yang masih balita. Tak heran jika Om Dave sangat senang melihat keponakan satu-satunya ini memiliki minat yang sama dengannya.
Begitu aku lulus kuliah, Om Dave langsung menawariku jabatan menjadi pemimpin redaksi. Namun, sebagai lulusan yang belum berpengalaman, aku sadar bahwa aku belum pantas dan belum mampu untuk menjabat posisi tinggi itu. Idealnya, untuk menduduki posisi setinggi itu, seseorang harus mengenal pekerjaan-pekerjaan yang ada di bawahnya. Karena itulah, untuk saat ini aku meminta untuk diterima menjadi reporter. Jika nanti memang hasil kerjaku memuaskan dan petinggi itu menilai bahwa aku pantas menduduki jabatan yang lebih tinggi, barulah aku akan menerimanya.
Tapi yang tak kusangka adalah, pemimpin redaksi yang menjadi atasanku ternyata perempuan supergalak yang sampai sekarang kusebut Singa Betina. Angel tidak menyukaiku sejak kami bertemu di kantor Om Dave dan aku diperkenalkan sebagai keponakannya. Untung saja Om Dave tidak menyebut keponakan-emas-kesayangan seperti yang sering beliau banggakan di pertemuan-pertemuan keluarga. Tapi tetap saja, hingga kini Angel sepertinya selalu menemukan cara untuk membuat hidupku menderita. Mulai dari meliput berita di daerah terpencil bersama Gabriel, meliput berita tidak penting yang hanya akan dibacakan sambil lalu dalam program tik-tok-news; berita dua menit yang berisi liputan ringan–tetapi, tentu saja meliputnya tidak ringan. Bahkan, ia sampai mengirimku ke daerah antah berantah hanya untuk meliput berita tentang air yang keluar dari sebuah pohon di sebuah desa bernama Sukajaya. Heran, dari mana Angel tahu ada air yang keluar dari batang pohon kecil desa terpencil yang bahkan di peta pun sulit ditemui koordinatnya itu? Pasti dia punya informan! Karena perempuan sejenis Angel bisa melakukan apa saja untuk menyengsarakan orang yang tidak disukainya, yang dalam kasus ini adalah aku.
Sudah setahun aku menjadi reporter, tetapi karierku belum juga menunjukkan tanda-tanda menggembirakan. Aku tahu Angel sengaja mengulur-ulur waktu, menungguku keluar dari stasiun televisi ini karena tidak kerasan. Namun, bukan Ashilla Zahrantiara namaku kalau sampai kalah dalam perang seperti ini.
"Kalo elo minta dijadiin pemimpin redaksi, Om lo pasti bakal setuju, kan? Dan elo jadi bisa ngelawan si Singa dengan kekuatan berimbang." Gabriel masih berusaha memanas-manasiku. Tampaknya dia pun sakit hati pada Angel karena meski sudah hampir dua tahun menjadi kameramen liputan, namun Gabriel tak kunjung juga diangkat menjadi kameramen studio. Padahal sudah beberapa kali Gabriel mengajukan diri tetapi selalu ditolak dengan berbagai alasan.
"Biar deh, gue liat dulu sampai mana dia bisa bertahan di kursi empuknya itu." Menurutku, aku sudah harus memikirkan sesuatu. Aku tidak boleh membiarkan Singa Betina itu berbuat semaunya dan terus menyiksaku dan Gabriel seperti ini.
Malam semakin larut dan aku masih bergelut dengan laptop membuat laporan hasil liputanku di Lampung siang tadi. Tak lupa imbauan bagi seluruh aparat desa kucantumkan di sana. Semoga tidak mengalami pengeditan yang terlalu drastis. Tubuhku terasa penat setelah seharian bepergian menyeberangi laut ke Lampung dengan kapal feri plus perjalanan darat yang sulit karena kondisi jalan di sana yang jelek. Tapi aku harus segera menyelesaikan dan menyerahkan laporan ini pada si Singa besok atau dalam rapat nanti si Singa akan mengaum dengan sindiran-sindirannya yang kelihatannya stoknya semakin bervariasi.
Kubuka jendela kos dan kupandangi langit di luar sana. Malam ini langit dihiasi altokumulus–awan berbentuk deretan ombak yang terlihat jelas di langit bertabur bintang. Malam yang indah.
***
"Eh, kenapa lo? Bete banget kayaknya?" Gabriel menghampiri saat aku keluar dari ruangan Angel.
"Gimana nggak bete? Barusan gue nyerahin laporan liputan kita di Lampung kemarin, eh... jangankan diliat, dilirik aja nggak! Padahal gue udah bikin semaleman, begadang pula!" Aku tak menambahkan bahwa selain itu, mimpiku semalam pun benar-benar menyebalkan. Mimpi yang awal-awalnya indah berubah menjadi mimpi buruk dengan hadirnya Angel. Dalam mimpiku, si Singa Betina itu memberiku tugas meliput dan begitu aku berusaha menolaknya, tiba-tiba cewek itu berubah menjadi monster besar berkepala tiga yang sangat menakutkan dan bahkan salah satu kepalanya berusaha menerkamku hingga membuatku terbangun di tengah malam dan tidak bisa tidur lagi hingga pagi.
"Terus, tugas kita hari ini apa?" Suara Gabriel mengusik ingatanku akan mimpi burukku semalam.
"Ngeliput ibu-ibu PKK di Desa Jatiasih yang lagi ngerajut," jawabku tanpa semangat.
"Ibu-ibu ngerajut? Di Bekasi?" Gabriel menggaruk kepalanya yang jelas tidak gatal. Aku hanya mengangkat bahu dan berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Terus terang, aku pun sebal dengan penugasan ini. Kubuka pintu emergency dan kunaiki tangga menuju lantai paling atas.
"Shil, lo serius?" Gabriel mengejarku.
"Kalo nggak percaya, elo tanya aja tuh si Singa," kataku sambil menatap langit yang berawan. Meski berawan, hari terlihat cukup cerah. Kutatap dengan seksama gumpalan awan rendah yang menghiasi langit, tanpa menghiraukan ocehan Gabriel yang mengikutiku hingga ke atap gedung ini.
"Gila, ya? Padahal berita yang lagi hangat kan, beritanya anggota DPRD yang ditangkap karena dugaan korupsi! Kita seharusnya ke penjara untuk cari tau berita itu, Shil! Bukannya malah disuruh ngeliput ibu-ibu yang lagi ngerajut." Suara Gabriel terdengar sarat emosi.
Aku tak berkomentar, masih berkonsentrasi.
"Elo ngapain, sih? Ngecek awan lagi?" Gabriel ikut menatap langit mencari objek yang menjadi pusat perhatianku.
"Tuh, elo liat nggak, awan yang berbentuk kepala monyet itu?" Aku menunjuk segumpal awan di kejauhan. Sekilas aku melihat Gabriel seperti hendak tertawa.
"Nggak, gue ngeliatnya kayak tumpukan cucian di pojokan kamar kos gue. Ouch!"
Kutinju bahunya sekuat tenaga. Sembarangan banget si Gabriel, gumpalan awan kesukaanku dibilang seperti tumpukan cucian kotor! "Elo yang bener dong, liatnya!"
Gabriel memasang tampang serius menatap langit.
"Oh iya bener, kalo diperhatiin emang ada bentuknya, ya?"
Aku menahan bibirku supaya tidak keceplosan menyebutnya manusia tanpa imajinasi karena jika dilihat dari raut seriusnya, sepertinya Gabriel pun mulai bisa melihat bentukan-bentukan awan, seperti aku.
"Gimana? Kepala monyet, kan? Yang sebelah kanan itu, dua kuping kecilnya, nah yang di bawahnya itu tuh..." tunjukku, "moncongnya."
"Iyaaa... Gue liat sekarang. Bentuknya nggak kayak cucian, ding."
"Emang nggak!"
"Tapi mirip tumpukan kotoran kuda!" Gabriel langsung kabur sebelum aku sempat menghujaninya dengan tinju saktiku.
Biar gini-gini, pas zaman kuliah dulu, aku pernah ikut ilmu bela diri. Yah... meskipun baru dua bulan, aku langsung memutuskan untuk berhenti. Nggak kuat, ah.
Setahun menjadi partnerku, tampaknya Gabriel mulai mengerti bahwa aku penyuka gumpalan-gumpalan awan di langit. Aku keberatan disebut terobsesi karena memang sejak kecil, entah mengapa dan bagaimana awalnya, semua yang aku lakukan selalu aku 'konsultasi'kan terlebih dulu ke langit dengan melihat bentukan-bentukan awannya. Orang sering menganggap kebiasaan unikku itu sebagai hal yang aneh. Apalagi dulu–sekarang sudah mendingan–jika aku merasa bahwa awan memberi pertanda buruk bagiku, aku tidak akan mau keluar dari rumah meskipun hari itu aku ada ujian di kampus. Mama dan papa dibuat pusing dengan tingkahku yang seperti itu, sampai-sampai mereka sempat mengkonsultasikan hal ini ke psikiater. Tak tanggung-tanggung, Mama sendiri yang langsung menyeretku ke luar kamar dan langsung ke psikiater.
Aku ingat saat pertama kali berada di ruangan sang psikiater. Saat itu aku masih kuliah di tingkat dua.
"Ashilla, sejak kapan kamu menyukai awan?" tanya dokter itu.
"Sejak kecil."
"Mama kamu bilang, awan-awan itu berbicara padamu. Apa itu benar?"
"Ya." Terus terang aku malas menjawab, tapi Mama sudah membayar mahal untuk bertemu dokter yang terkenal dengan diagnosis-diagnosisnya yang tepat ini.
"Bicara bagaimana? Apakah terdengar seperti bisikan?"
Aku ingat saat itu rasanya aku ingin tertawa. Dasar dokter gila! Mana ada awan berbisik ke telinga manusia? Sepertinya bukan aku yang harus diperiksa, tapi dokternya.
"Nggak," jawabku pendek. Sejenak sang dokter terlihat bingung.
"Tapi... Mama kamu bilang..."
"Loh, kan yang merasakan saya, Dok. Bukan Mama."
"Oke, lalu bagaimana cara awan-awan itu berbicara padamu?"
"Saya tidak pernah bilang awan-awan itu berbicara secara langsung," aku bicara perlahan-lahan dan menekankan setiap suku kata yang kuucapkan seolah sedang bicara pada seorang anak TK. "Tapi mereka memberi pertanda-pertanda kepada saya melalui bentukan mereka di langit. Mengertikan, Dokterrr...?"
Tampaknya dokter itu sedikit tersinggung, tapi aku tak begitu peduli. Kenapa juga dia ambil jurusan dokter jiwa kalau tak siap menghadapi pasien-pasien seperti aku?
Untungnya bagiku, sejak mengikuti beberapa sesi bersama dokter itu, aku menjadi tidak lagi seekstrem dulu dan itu membuat Mama senang. Tapi ada satu hal yang tak Mama ketahui, sekarang aku punya penangkal untuk setiap cuaca, yaitu topi rajut tiga warna! Topi rajut ini kupakai sebagai penangkal marabahaya yang diberitakan lewat benda langit tersebut. Jika keadaan baik-baik saja, aku akan memakai topi rajut hijau. Dan jika bentukan awan berbentuk benda yang kuyakini akan membawa masalah, maka aku akan mengenakan topiku yang berwarna kuning. Sementara, topi rajut berwarna merah hanya aku gunakan saat emergency, saat keadaan memang benar-benar genting. Bukankah itu ide yang sangat brilian?
"Elo percaya banget ya sama takhayul? Heran gue!" kata Gabriel ketika kami dalam perjalanan menuju Bekasi.
"Gue bukan percaya takhayul, Yel, sembarangan lo!"
"Terus, apa dong namanya kalo bukan percaya takhayul? Elo selalu liat ke langit, terus elo pake topi rajut warna-warni kayak lampu lalu lintas yang elo bilang buat penangkal. Kenapa nggak sekalian aja elo kalungin buntut kelinci?"
"Eh, kalo ngalungin buntut kelinci, itu namanya jimat! Gue kan cuma konsultasi ke awan." Kalau sudah menyangkut awan, aku tidak akan terina Gabriel–atau siapa pun–meremehkan kekuatan awan sedemikian rupa.
"Apa bedanya?" Gabriel masih ngeyel.
"Gabriel, denger ya. Awan-awan itu berusaha ngasih advice ke gue."
"Advice?" Gabriel menyunggingkan senyum meledeknya.
"Contohnya dulu, waktu gue liat ada kepala naga. Sesuai banget kan, sama prediksi gue? Inget nggak lo?"
Gabriel tentu saja tidak akan melupakan kejadian kepala naga yang membuat heboh seisi kantor itu. Waktu itu aku baru tiga bulan bekerja dan Angel menyuruhku meliput pemilihan bupati di Tangerang. Aku diminta untuk meliput mulai dari pencoblosan kartu suara hingga perhitungan suara pada sore harinya. Saat itu, aku tidak langsung mengiyakan tugas tersebut, tetapi minta izin keluar dari ruangan Angel dan langsung menuju atap gedung. Saat itu kulihat di langit ada kepala naga!
Gawat! Pertanda kurang baik.
Aku pun segera kembali ke ruang Angel dan memintanya untuk menunda penugasanku. Tapi, Angel tak mau mendengar permintaanku. Ia malah mengusirku gila hari itu karena berteriak-teriak di depan ruangan Angel.
"Di langit ada kepala naga, Angel! Kepala naga!"
"I don't care! You pergi meliput dan saya ingin laporan langsung dari tempat pemilihan bupati!" Bam! Pintu dibanting dan aku memaki-maki Angel dengan kata-kata yang sebaiknya tidak disiarkan ulang di stasiun televisi mana pun.
Dengan gemetar ketakutan, aku memaksa Mang Jajang, sopir kantor, untuk mengantarku kembali ke kosan. Mang Jajang berusaha menolak, tapi aku tampaknya sudah di amabng kewarasanku dan menjerit-jerit minta diantarkan ke kosan.
"Aku harus ambil topi rajutku! Please, Pak, please, pleaseee...!" jeritku dari jarak sepuluh senti dari kuping Mang Jajang dan membuat Gabriel semakin yakin bahwa aku hampir menggila. Akhirnya, Mang Jajang tak punya pilihan lain. Mungkin baginya, lebih baik mengantarku ke kosan daripada harus mendengarku menjerit-jerit di kupingnya, seharian. Sebelumnya, pemilihan bupati Tangerang itu memang dikabarkan akan ricuh, dan penampakan kepala naga membuatku semakin yakin bahwa sesuatu yang kurang baik akan terjadi.
"Nanti pasti ada kejadian mengerikan," kataku pelan. Hatiku sudah sedikit tenang setelah memakai topi rajutku yang berwarna merah menyala. Aku masih agak tegang tetapi jauh lebih tenang daripada ketika kami berangkat dari kantor tadi. Gabriel dan Mang Jajang sekilas saling pandang dan aku tahu apa yang ada dalam pikiran mereka. Namun aku yakin, kelak mereka akan melihat sendiri bahwa kekhawatiranku memang beralasan, dan bukan sekedar omong kosong seperti dugaan mereka saat ini. Aku tak bisa membayangkan, betapa menyesalnya Angel jika aku tetap menuruti perintahnya dan sesuatu terjadi padaku. Karena Om Dave akan mengusut asal perintah liputan itu, dan bukan hal yang tidak mungkin ia akan memecat Angel! Pikiran itu sedikit banyak membuatku merasa tenang.
Di lokasi pemilihan, proses pencoblosan berjalan aman dan aku dengan profesionalisme tinggi melaporkan untuk NTS dari jarak yang menurutku aman. Lagi pula, meski dari jarak yang tidak terlalu dekat seperti ini pun aku masih bisa melihat proses pencoblosan itu, dan toh lensa kamera yang dibawa Gabriel pun bisa di-zoom! Angel berkali-kali menelepon Gabriel dan menyuruhnya untuk memberitahuku agar melepaskan topi merahku selama siaran langsung tersebut berlangsung dan lebih mendekat ke lokasi pemilihan. Tentu saja kutolak mentah-mentah permintaannya itu karena–meskipun harus kuakui penampilanku kelihatan seperti korban mode–dengan penampilan seperti ini, entah kenapa rasanya aku jadi jauh lebih percaya diri daripada sebelumnya. Akhirnya Singa itu pun menyerah dan membiarkanku dengan topi rajut merahku ini. Mungkin sebenarnya ia pun terpaksa menuruti keinginanku karena aku mengancam tidak mau meliput berita ini jika dia terus melarangku seperti itu.
Saat penghitungan suara, mulailah terjadi kericuhan di tempat perhitungan. Pendukung calon bupati yang kalah merasa tidak puas dan meminta diadakan penghitungan suara ulang, dan ketika tak mendapat tanggapan positif dari panitia, mereka pun mulai melakukan aksi anarkis dan merusak tempat pencoblosan serta membakar kotak suara yang ada di sana. Polisi baru datang setelah adu jotos terjadi di antara dua kubu massa pendukung. Panitia pun tak luput dari pemukulan massa yang mengamuk itu.
Saat kericuhan terjadi, Gabriel langsung menarikku masuk ke mobil dan Mang Jajang dengan sigap bak pembalap Sentul membawa seluruh kru NTS menjauh dari tempat kejadian. Meskipun Gabriel sebenarnya lebih mengkhawatirka kameranya rusak daripada keselamatan partnernya ini, dan Mang Jajang tampaknya lebih mengkhawatirkan keselamatan mobil kantor dari lemparan-lemparan batu daripada keselamatan penumpangnya ini, aku tetap bersyukur karena akhirnya mereka mau mendengarkan saranku–yang kuteriakkan dengan nada setinggi enam oktaf–supaya mau meliput dari jauh.
"Gue juga bilang apa! Kepala naga di langit bukan pertanda bagus," tuturku dalam perjalanan pulang saat itu. Gabriel hanya diam, kurasa ia mulai sedikit memercayai pertanda yang aku lihat di langit. Mungkin saat itu hatinya tengah membenarkan bahwa kejadian yang baru saja dialaminya memang sesuai dengan prediksiku. Mungkin ia sedang berpikir bahwa seharusnya aku berpindah karier menjadi seorang peramal! Dan sekarang, aku melihat kepala monyet di langit.
"Kalo gitu, kepala monyet artinya apa?" Gabriel yang sejak kejadian kepala naga tersebut mulai sedikit-sedikit mendengarkan ocehanku, jadi merasa penasaran.
"Kalo kepala monyet, artinya kita bakal dapat berita yang menggembirakan. Monyet itu kan identik dengan keceriaan dan kenakalan, bisa jadi di balik berita ngerajutnya ibu-ibu PKK, ada berita besar lainnya. Nih liat, gue pake topi warna hijau, kan?" Aku nyengir lebar menunjuk topi rajutku. Gabriel hanya geleng-geleng kepala
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Posting Komentar