Rabu, 08 Mei 2013
In:
KAU
KAU *part 3
HARI yang ditunggu-tunggu pun tiba. Aku menyeret koper penuh
berisi pakaian yang tentu saja berisi topi rajut tiga warnaku yang terkenal, ke
ruang tamu. Taksi yang kupesan juga belum datang. Kalau terlambat pasti kena
omelan, nih! Gimana rasanya diomelin tentara ya? Yang jelas aku tidak mau
mengalaminga karena baru membayangkannya saja sudah ngeri.
Mama terlihat sedang sibuk di dapur menyiapkan sarapan untukku. Roti yang sudah dipanggang sejak subuh, jus buah, dan camilan yang dibeli Mama dalam perjalanannya dari Surabaya. Mama dan Papa datang kemarin pagi dan begitu tiba di kosan, Mama langsung menelepon dan menyuruhku pulang di tengah tugas liputan. Selesai meliput, aku pun langsung meminta izin untuk pulang dengan alasan persiapan keberangkatan ke Kendari.
Begitu turun dari mobil kantor, Mama langsung berlari memelukku, sementara Papa yang memang jarang memelukku sejak kecil hanya berdiri di kejauhan, memandang adegan bak film India itu. Beberapa tetangga kosku menatap heran dan aku hanya memberikan senyum kecut pada mereka. Terpelas dari perilaku Mama yang mengundang pertanyaan para tetangga itu, aku senang kedua orang tuaku datang dan memberikan support bagiku. Sejak kemarin pagi hingga tadi malam, Mama tak henti-hentinya mengajakku bernostalgia ke masa lalu ketika aku masih kecil. Bahkan Mama membawa dua album foto yang berisi foto-foto kecilku dulu. Mulai dari aku berpopok, aku dengan seragam taman kanak-kanak–lengkap dengan termos minym dan tempan makan, aku dengan seragam sekolah dasar, aku bersama teman-teman sedang bermain hujanhujanan, piknik di taman wisata bersama Mama-Papa, dan masih banyak lagi koleksi foto kenangan masa kecilku yang terhampar di kasur menemani kami bercengkerama.
"Kamu inget nggak foto ini?" Mama menunjuk satu foto. Foto dengan baju peri yang cantik berwarna pink, berdiri di atas panggung sambil menangis. Tak mungkin aku melupakan peristiwa itu sebab kejadian itu selalu diulang-ulang diceritakan Mama kepada teman-temannya. Tanpa menunggu jawabanku, Mama sudah menjawab sendiri pertanyaannya.
"Itu foto saat kamu ikut kontes kecantikan anak-anak. Usia kamu waktu itu masih lima tahun. Kamu cantik sekali, Shilla, tapi kamu nggak menang karena pas kamu membungkuk memberi salam tiba-tiba kamu kentut. Lalu, teman-temanmu yang berdiri di belakang berteriak mengatai kamu. Kamu akhirnya menangis karena malu. Gara-gara menangis, kamu jadi nggak menang kontes."
Aku terawa. Aku selalu senang mendengar kisah masa kecilku yang sebagian terlupakan, diceritakan kembali oleh Mama. Terkadang, jika aku pulang ke Surabaya, semalaman kami akan membolak-balik album foto lama dan mengenang masa lalu seperti ini.
Ketika aku melihat perempuan berdarah Sumatra lainnya yang menikah dengan orang Jawa akan berubah perilakunya menjadi lebih Jawa dari orang aslinya sendiri, tetapi tidak demikian dengan Mama. Beliau tetap dengan darah Sumatra yang mengalir di darahnya, perilakunya pun tetap sama dengan perilaku orang Sumatra.
Mereka tinggal di Surabaya sejak menikah hingga sekarang dan membuka bisnis restoran makanan khas Surabaya yang menjual rujak cingur, rawon, tahu tek, serta jenis makanan khas lainnya. Bisnis rumah makan mereka lumayan besar dan sudah memiliki beberapa cabang di Surabaya. Mereka tidak mau mengembangkan sayap di Jakarta karena–bagi mereka–lima toko di Surabaya saja sudah cukup membuat mereka sibuk.
Sedang asyik kami membahas foto-foto yang ada di album, tiba-tiba Mama bersikap serius.
"Shil, kamu pernah patah hati, ya?" Aku terhenyak mendengar pertanyaan Mama.
"Nggak, Mam, pacaran aja belum pernah."
"Dulu kamu seneng banget pakai rok, berdandan rapi dan pakai sepatu cantik. Tapi sejak kuliah, kamu berubah 180 derajat. Sekarang nggak pernah lagi Mama lihat kamu pakai rok. Selalu pakai jeans."
"Mam, Shilla kan reporter. Masa reporter pakai rok mini? Ya nggak pantas lah! Kecuali kerjanya di studio, baca berita. Tuh baru deh bisa pakai rok mini."
"Makanya kenapa kamu nggak minta jadi pembaca berita aja?"
"Mam, Shilla udah kuliah tinggi-tinggi, pengin dong mempraktikkan ilmu yang Shilla dapet? Ya salah satu caranya dengan memulai karier dari bawah kayak gini."
"Kamu udah 25 tahun, Shil. Masa sih belum ada pacar?" Mama kembali ke pembahasan awal. "Acha aja temen SD kamu itu, masih inget nggak? Dia udah punya anak lho, bulan kemarin baru lahir."
"O iya? Acha? Wow, hebat dia."
"Kamu kapan? Kasih dong, Mama cucu."
"Nanti ya Mam, kalo cita-cita Shilla udah tercapai."
"Kapan itu?"
"Yah kira-kira lima tahun lagi, deh."
Mama cemberut. Baginya, lima tahun adalah waktu yang terllau lama. Tapi aku pun bukan jenis orang yang bisa dipaksa. Dulu, waktu dipaksa masuk Tata Boga, aku malah kabur ke rumah temanku dan baru pulang setelah diizinkan kuliah di jurusan Komunikasi.
Terus terang, aku pun juga sering memikirkan masalah pacar ini. Aku pun juga ingin memiliki pacar, someone special, seperti teman-temanku yang lain. Aku juga ingin memiliki seseorang yang bisa memberiku nasihat dan membangkitkan semangatku jika aku sedang down. Tapi aku belum menemukan cowok yang cocok dengan bayanganku akan seorang pacar.
Padahal kriteriaku cukup sederhana, kok. Aku menginginkan cowok yang tidak terlalu manis atau tampan seperti para cover boy di majalah-majalah cewek ABG itu, juga tidak menginginkan cowok wangi seperti para metroseksual yang rapi jali. Aku hanya ingin punya pacar yang macho dalam arti cakepnya cukup, agak berantakan sedikit gayanya, tapi masih enak untuk dipandang. Dan satu hal lagi, cowok yang jadi pacarku nanti tuh harus cool abis! Jangan terlalu lebay protektif ke aku atau terlalu cuek.
Sebenarnya tidak terlalu sulit, kan ya? Tetapi aku nggak bisa bilang kepada Mama tentang masalah kriteria ini. Bisa-bisa aku malah diceramahi panjang lebar! Mulai dari 'terlalu pemilih'lah, 'banyak maunya'lah, 'manusia tidak ada yang sempurna'lah serta banyak kata mutiara lainnya. Menurutku, permintaanku cukup simpel, tidak minta yang macamkmacam juga kan? Tapi, apa mudah mendapatkan cowok dengan kriteria sederhana itu? Noooo...
Aku masih berdiri di halaman kosan memandangi langit sambil mencoba membayangkan wajah cowok yang sesuai dengan kriteria pacarku ketika Papa berseru ke arahku.
"Shil, dipanggil Mama tuh, kamu nggak dengar?"
"Oh, Mama manggil?" Aku menoleh.
"Kamu ngapain, sih?"
"Liat awan, Pa."
"Dari kecil nggak berubah kelakuan kamu." Papa kembali meneruskan membaca koran. Aku berlari masuk ke rumah. Mama menyuruhku menghabiskan jus dan rotiku.
"Mam, liat topi rajut Shilla nggak? Tadi Shilla taruh sini yang warna kuning."
"Mama masukkin ke lemari, kamu taruh topi sembarangan aja."
"Topinya kan, mau Shilla pakai." Aku bergegas ke kamar dan mengenakan topi rajut warna kuningku.
"Tumben nggak matching baju sama topi."
Aku lupa kalau mamaku ini sangat fashinable! Aku rasa, saat ini, Mama sudah gemas ingin menyuruhku mengganti outfit karena bagi Mama koordinasi warna dan corak pakaian itu sangat penting. "Itu kenapa yang kuning? Kan merah lebih masuk warnanya."
"Kuning lebih terang dan bersemangat." Aku tak ingin membuat orangtuaku khawatir dengan mengatakan bahwa sebenarnya aku perlu berhati-hati hari ini. Barusan, aku melihat bentuk awan yang menyerupai tank dengan laras panjang dan mengeluarkan asap. Cantik dipandang, tapi membuatku sedikit was-was karena hari ini aku akan masuk ke markas tentara. Entah apa yang akan kuhadapi di sana, yang jelas bukan cowok gagah berseragam oranye dengan senyum menawan yang akan menyambutku di gerbang seperti bayanganku sebelumnya. Jadi, topi kuning baik untuk berjaga-jaga.
Jam menunjukkan pukul tujuh dan taksi belum juga sampai. Aku mulai resah dan menelepon bolak-balik ke pool taksi. Namun, jawaban yang kuterima tak memuaskan. Sempat terpikir, menjadikan alasan taksi terlambat untuk mengundurkan kepergianku, tapi apa kata dunia jika aku mundur sebelum berperang?
Mama dan Papa duduk di teras menikmati teh dan pisang goreng buatan Mama. Pukul sebelas nanti mereka akan kembali ke Surabaya. Awalnya, Mama memaksa menginap di kosanku selama lima hari aku pergi ke Kendari, tetapi aku melarangnya karena menurutku tak ada gunanya juga mama menjaga kosanku, toh tidak ada barang berharga di sini. Awalnya, Mama tak mau mendengar apa pun, tetapi setelah Papa mengingatkannya bahwa rumah makan di Surabaya perlu dipantau, barulah Mama setuju dan menurut untuk kembali ke Surabaya. Itu pun setelah berhasil memaksaku untuk berjanji akan segera ke Surabaya sepulang dari Kendari.
"Tapi kan, belum tentu Shilla bisa langsung cuti, Mam." protesku semalam.
"Mama nggak peduli! Kalau perlu Mama telepon Ommu sekarang."
"Ehh... jangan, jangan. Iya deh, nanti Shilla cari waktu ya, Mam. Tapi nggak janji."
"Harus janji!"
"Tapi kan, itu bukan kantor Shilla, Mam, Shilla punya bos."
"Bosmu lebih rendah kedudukannya dengan Ommu, kan?" Aku terdiam. "Pokoknya Mama tunggu kamu di Surabaya setelah selesai training. Titik." Aku hanya bisa mengangkat bahu, menyerah.
"Semoga bisa. Tapi Shilla usahakan, Mam." Hanya itu yang bisa aku janjikan ke Mama.
Din! Din! Klakson taksi mengagetkanku yang sedang membuka-buka artikel mengenai pelatihan militer.
"Mam, Pap, Shilla berangkat ya." Setelah koper masuk bagasi, aku segera berpamitan dan taksi pun meluncur ke Cilangkap. Benar saja feeling-ku tentang tank berasap. Jalanan macet parah dan aku terlambar sampai di markas tentara. Dua puluh lima wartawan lainnya termasuk Gabriel sudah siap dengan seragam mereka. Sedangkan aku dihukum dengan berlari sepuluh putaran sebelum diperbolehkan bergabung dengan peserta yang lain. Selama berlari, pikiranku fokus pada Angel. Awas kau, Angel! Awas kau, Angel!
"Oke, perhatian semua!" Seorang tentara berpangkat letnan maju dan menatap kami satu per satu. "Kalian di sini untuk belajar. Belajar menjadi wartawan perang yang tangguh! Wartawan perang yang bisa bertahan hidup dalam kesulitan, dan wartawan perang yang TIDAK MENYUSAHKAN orang lain!" katanya dengan semangat penuh yang menghasilkan beberapa cipratan kurang sedap ke wajah peserta yang berdiri di barisan terdepan. Phew! Untung aku berbaris di belakang.
"Saya Letnan Satu Zian. Saya akan mendampingi kalian, selama kalian di Kendari. Jika ada kesulitan, kalian bisa datang kepada saya. PAHAM SEMUA?"
"Paham!" Otomatis peserta berteriak untuk mengimbangi teriakan sang letnan. Aku tidak membayangkan, peserta akan datang dan curhat kepada letnan bertampang galak itu.
Barisan diistirahatkan dan kami pun diperbolehkan duduk-duduk sambil menunggu pesawat yang akan mengantarkan kami ke Kendari. Aku duduk di samping Gabriel. Setelah tahu rencana aku akan diberangkatkan untuk mengikuti pelatihan ini, Gabriel nekat menemui Om Dave dan meminta dirinya untuk dikirim bersamaku. Rupanya Gabriel sudah lama ingin menjadi kameramen perang, benar-benar berbanding terbalik denganku. Keahliannya menangkap momen penting, ditambah bidikan kamera yang terlatik berkat hobi fotografinya, ternyata hanya akan sia-sia saja kalau digunakan untuk meliput sekumpulan ibu-ibu merajut saja. Awalnya Om Dave menolak, karena selain dana yang disiapkan hanya untuk satu wartawan, setiap media pun hanya diperbolehkan mengirimkan satu wartawan. Tapi setelah Gabriel mengatakan bahwa dirinya berjanji akan menjagaku selama di pelatihan, Om Dave pun langsung berubah pikiran dan menggunakan pengaruhnya agar bisa mengirimkan dua wartawan sekaligus. Begitulah "behind the scene" alasan Gabriel bisa berangkat bersamaku.
Selain aku, ada tiga jurnalis perempuan lain yang mengikuti training ini. Kuperhatikan mereka satu per satu dengan saksama seraya memakan roti bekalku. Pertama, yang sedang memperbaiki bedaknya, bernama Oik. Tampaknya reporter stasiun televisi swasta yang ini adalah seorang pesolek. Apa bisa dia mengikuti pelatihan tentara seperti ini? Tapi penampilan tak menjamin seseorang tangguh atau tidak. Aku sadar banyak orang yang menyangka aku orang yang kuat padahal sesungguhnya aku amatlah rapuh terutama jika menyangkut awan dan pertandanya.
Yang kedua bernama Agni. Jurnalis dari media cetak ini kelihatannya macho dan aku yakin dia akan berhasil menyelesaikan pelatihan ini dengan cemerlang. Dan yang terakhir bernama Zahra. Rambutnya hitam legam panjang sepertiku. Aku menatap diriku sendiri. Rambut hitam lurus panjang, kulit putih. Siapa yang menyangka kalau aku ternyata percaya pada pertanda dan takhayul yang selama ini selalu kusangkal jika Gabriel mulai meledekku. Orang-orang yang melihatku sekilas pasti langsung yakin bahwa aku adalah perempuan tangguh dan super kuat. Mungkin itu juga yang membuat Angel seenaknya mengirimku ke pelatihan perang ini. Well, aku hanya harus memakai topi-topiku, dan dugaan orang-orang bahwa aku adalah perempuan tangguh akan menjadi benar adanya.
Tiba-tiba terdengar suara bising pesawat mendarat yang membuyarkan pengamatanku akan para jurnalis pria yang mengikuti pelatihan ini–yang notabene tidak ada yang menarik untuk dilihat. Rata-rata mereka berpenampilan asal dan tidak menarik. Apalagi tidak tampak pula pilot pesawat tempur berseragam oranye yang selalu kubayangkan sebelumnya, jadi praktis saat menunggu seperti ini jadi terasa membosankan bagiku. Setelah suara bising itu berhenti, pesawat Hercules milik TNI AU yang akan mengantar peserta ke Kendari itu pun berhenti di hadapan kami. Seumur hidup belum pernah aku menaiki Hercules dan menurut beberapa orang yang pernah menaikinya, pesawat ini memang dipakai untuk mengangkut barang dan hewan ternak ke pelosok-pelosok daerah yang tidak terjangkau oleh pesawat komersil. Dan, jangan pernah berharap mendapat pelayanan minuman, makanan, dan selimut di dalamnya.
Jantungku berdebar kencang melihat benda tersebut. Body pesawat Hercules ini tidak mulus seperti layaknya pesawat yang sering kulihat di Bandara Soekarno Hatta. Tampaknya usianya pun sudah renta. Apa bisa benda ini membawa kami ke Kendari? Aku mulai disergap keraguan sehingga sejenak aku berhenti di tengah lapangan dalam langkahku menuju pesawat.
"Kenapa lo? Takut?" Gabriel ikut berhenti di sampingku.
"Nggak, cuma kok, jelek banget ya pesawatnya? Yakin nih, Yel?"
"Ya iyalah! Letnan Satu Zian juga bilang kita naik pesawat ini." Aku memandang ke langit, tapi Gabriel menyeretku menyuruh bergegas.
"Nggak ada waktu buat konsultasi! Elo nggak punya pilihan mau pergi apa nggak. Buruan, biar dapet tempat VIP!" Tempat VIP? You wish! Di dalam pesawat yang bisa memuat ratusan orang ini tempat duduknya sudah seperti angkor, memandang ke samping dan sama sekali tidak membuat penumpangnya merasa nyaman mendudukinya. Aku mengambil tempat duduk di sisi kiri Gabriel dan menarik napas panjang. Oik yang uduk di sisi kanan Gabriel menoleh ke arahnya dan melemparkan senyum.
"Nice hat." katanya padaku.
Aku meraba topi rajut kuningku yang masih bertengger di kepala. "Thanks."
"Pertama kali naik Hercules?" tanyanya.
Aku mengangguk.
"Aku udah keempat kalinya," katanya tanpa kutanya.
Huh, pamer!
"Enak kok, kamu pasti suka," komentarnya lagi.
Aku hanya nyengir. Melihat reaksiku yang adem ayem, Oik pun beralih ke Gabriel yang langsung senang karena tiba-tiba mendapatkan perhatian seorang gadis manis seperti Oik.
Perjalanan tidak nyaman itu pun terasa sangat lama bagiku. Tapi tentu saja tidak demikian dengan Gabriel yang terlihat semakin akrab dengan Oik. Sekilas aku merasa cemburu. Bukan cemburu dalam arti aku naksir Gabriel atau semacam itu, tapi bukankah seharusnya Gabriel melindungiku, menghiburku dan mengobrol denganku? Kenapa ia malah nyuekin aku dan memilih ngobrol dengan Oik? Bukannya aku yang mengajak Gabriel untuk ikutan daftar? Well, sebenarnya dia daftar sendiri, dan aku hanya berniat curhat sekalian agar bisa memaki-maki Angel karena berniat mengirimku ke medan perang setelah pelatihan ini. Tapi, seandainya aku tidak bercerita padanya, bukankah Gabriel tidak akan tahu tentang training di Kendari ini? Jadi seharusnya, Gabriel menemani aku dong, bukan Oik yang baru dikenalnya selama beberapa menit yang lalu! Lagi pula, belum tentu Oik benar-benar seorang reporter seperti yang ia bilang, bisa saja ia mata-mata yang ingin mencuri berita dari NTS? Oke, imajinasiku mulai tak terkendali dan aku memutuskan untuk mengajak mengobrol cowok di sampingku. Kelihatannya cukup macho.
Aku memberanikan diri melempar senyum, mempraktikkan taktik Oik barusan. Tapi, rupanya cowok itu tidak sadar kalau gigiku sudah mulai kering menanti responsnya. Aku mencolek bahu cowok itu dan berhasil, cowok itu menoleh padaku. Kembali aku memamerkan senyum pasta gigiku yang berhasil membuat Rio jatuh-bangun setiap pagi di pintu kantor.
"Halo, aku Shilla." Aku mengulurkan tangan padanya.
"Sion."
"Dari media mana? Aku dari NTS."
"Aku dari koran Lampu Kuning."
"Koran Lampu Kuning? Bukannya Lampu Kuning cuma nerbitin berita... ngg... berita dalam kota?" Aku menahan diri untuk tidak menyebut kata 'syurr'.
"Iya, tapi sekarang manajemennya kan ganti, mereka mau merubah image koran Lampu Kuning yang sekarang ini."
"Oh gitu.. Terus makanya kamu dikirim ke pelatihan ini buat meliput perang?"
Sion tampak shock mendengar pertanyaanku.
"Emangnya ini pelatihan buat liputan perang ya?"
Walah?
"Iya, memangnya kamu nggak dikasih tau sama bosmu?"
"Nggak! Mereka bilang aku harus ikut pelatihan ini biar nanti kalau ada kejadian kerusuhan atau tawuran, atau apa gitu, aku bisa tetap ngeliput."
"Oh, ya sama aja kali ya? Emang selama ini kamu ngeliput apa?"
"Pembibitan pertanian gitu-gitu deh. Boring!"
Tiba-tiba aku merasa bersimpati pada Sion. Kami pun terus berbincang hingga tiba-tiba suara pesawat semakin keras dan roda pesawat mengenai landasan di Bandara Wolter Monginsidi. Akhirnya kami tiba di Kendari. Gabriel dengan sok macho membantu Oik mengangkat kopernya, sementara aku dibiarkan menyeret koperku sendiri. Sejak kapan Gabriel menjadi gentleman seperti ini? Aku bersungut seraya–sengaja–menyeret koperku di sebelah Gabriel agar dia sadar dan membantuku membawa koper. Tapi, ternyata Gabriel terlalu sibuk dengan Oik sehingga akhirnya aku pun harus menerima kenyataan pahit ini dan menenteng koperku sendiri. Dasar playboy cap karbit!
Kami disambut panitia dari Asosiasi Jurnalis Indonesia, dan setelah perkenalan singkat itu, kami pun digiring ke lapangan parkir di mana sebuah truk tronton milik TNI telah menunggu. Dalam hati aku mengeluh. Bukannya setiap peserta sudah membayar biaya yang cukup besar untuk bisa ikut pelatihan ini? Tapi, mari kita ber-positive thinking, mungkin mereka memang sengaja berhemat di transportasi agar bisa memberikan servis yang memuaskan di bagian akomodasi. Namun, rupanya sulit bagiku untuk tetap ber-positive thinking, begitu mendapati hotel bintang lima yang kubayangkan sebelumnya, menjelma menjadi mess tentara dengan fasilitas seadanya. Bangunan sederhana yang catnya sudah mulai rontok itu dikelilingi hutan dan rumput ilalang. Memang sesuai untuk tempat latihan perang. Tapi aku tak menyangka kalau aku benar-benar akan hidup di tengah hutan seperti ini. Turun dari truk tronton–tentu saja dengan bantuan Gabriel, terima kasih!–aku menatap langit. Namun, sebelum sempat mencari pertanda awan, Letnan Satu Zian sudah meniup peluitnya untuk mengumpulkan kami semua si halaman mess. Di sebelahnya, telah berbaris dua orang instruktur impor dari Australia yang akan menjadi pelatih kami selama pelatihan ini berlangsung.
"Saudara-saudari rekan jurnalis. Selamat datang di Mess Tentara Kendari. Dengan bangga saya beri tahukan bahwa mess ini adalah mess yang memiliki fasilitas terbaik dibandingkan mess tentara lainnya di Kendari ini."
Kata-kata sambutan Letnan Satu Zian itu pun membuat kami–semua peserta pelatihan–kontan saling bertatapan. Yang paling bagus? Yang begini ini, yang paling bagus?
"Telah berdiri di sebelah saya instruktus dari Australian Army, Kapten James Cook dan Letnan Nevin Rose. Mereka akan melatih Anda semua menjadi wartawan yang tangguh!" Kedua instruktur impor itu menganggukkan kepala mereka. Aku mencuri menatap sekilas ke langit. Di sana aku lihat bentukan awan menyerupai kelinci dengan telinga panjang dan kaki melompat. Pertanda bagus. Tapi di belakangnya ada awan gelap seolah sedang mengejar sang kelinci. Berarti aku harus waspada. Jangan terlena oleh kesan pertama yang begitu menggoda ini.
Kalau diperhatikan memang Kapten Cook terlihat lebih gagah dibandingkan Letnan Rose. Tapi karena dua-duanya bule, aku sama sekali tak bernafsu untuk mencari perhatian keduanya. Bule is not my tipe of guy, begitu prinsipku. Berbeda dengan Oik yang langsung melupakan Gabriel demi mencari perhatian kedua bule impor tersebut. Aku sampai geleng-geleng kepala melihatnya senyum-senyum tidak jelas,berusaha menarik perhatian kedua bule itu ke arahnya dan tak ayal membuat Gabriel patah hati dalam sekejap. Setelah Kapten Cook memberikan sedikit sambutan dalam bahasa cas-cis-cus-nya, kami pun dipersilakan ke kamar untuk beres-beres. Khusus hari ini, kami diperbolehkan santai-santai dan menikmati pemandangan hutan yang mulai gelap, menjelang sore ini.
Ternyata aku sekamar dengan Agni dan itu bagus, karena hal terakhir yang aku inginkan saat ini adalah tidak sekamar dengan si ganjen Oik. Sepertinya gadis itu benar-benar tidak sadar bahwa tujuannya ke sini adalah untuk mencari wawasan dan ilmu pertahanan, bukan untuk mencari cowok atau calon suami seperti yang diperlihatkannya saat ini.
Rupanya Agni hanya membawa sedikit pakaian, tidak seperti aku yang membawa begitu banyak pakaian ganti. Aku paling malas kalau harus mencuci pakaian selama pelatihan, karena itulah aku memilih membawa sebanyak-banyaknya pakaian ganti agar tidak harus mencuci pakaian luar–dan dalam–di tempat ini, apalagi dengan risiko kehilangan.
"Kalau yang hilang baju sih, nggak pa-pa, tapi kalau yang hilang CD gimana?" Agni hanya tertawa mendengar pendapatku. Huh! Bukannya berterima kasih diberi tips gratis, dia malah tertawa. Setelah melihat kondisi sekitar dan pertanda dari langit, aku pun memutuskan untuk selalu mengenakan topi rajut berwarna kuning selama berada di sini–untuk berjaga-jaga.
Dari jadwal kegiatan yang baru saja dibagikan Letnan Satu Zian, tampaknya aku tidak akan punya waktu untuk selalu berkonsultasi ke awan. Mungkinkah kebiasaan itu justru akan hilang setelah lima hari ke depan yang akan kulalui di sini, tanpa melihat langit? Mungkin saja... Kadang aku pun berharap satu hari nanti, aku bisa menjalani hidupku tanpa harus selalu waswas terhadap pertanda awan, seperti yang terjadi padaku selama ini.
Mama terlihat sedang sibuk di dapur menyiapkan sarapan untukku. Roti yang sudah dipanggang sejak subuh, jus buah, dan camilan yang dibeli Mama dalam perjalanannya dari Surabaya. Mama dan Papa datang kemarin pagi dan begitu tiba di kosan, Mama langsung menelepon dan menyuruhku pulang di tengah tugas liputan. Selesai meliput, aku pun langsung meminta izin untuk pulang dengan alasan persiapan keberangkatan ke Kendari.
Begitu turun dari mobil kantor, Mama langsung berlari memelukku, sementara Papa yang memang jarang memelukku sejak kecil hanya berdiri di kejauhan, memandang adegan bak film India itu. Beberapa tetangga kosku menatap heran dan aku hanya memberikan senyum kecut pada mereka. Terpelas dari perilaku Mama yang mengundang pertanyaan para tetangga itu, aku senang kedua orang tuaku datang dan memberikan support bagiku. Sejak kemarin pagi hingga tadi malam, Mama tak henti-hentinya mengajakku bernostalgia ke masa lalu ketika aku masih kecil. Bahkan Mama membawa dua album foto yang berisi foto-foto kecilku dulu. Mulai dari aku berpopok, aku dengan seragam taman kanak-kanak–lengkap dengan termos minym dan tempan makan, aku dengan seragam sekolah dasar, aku bersama teman-teman sedang bermain hujanhujanan, piknik di taman wisata bersama Mama-Papa, dan masih banyak lagi koleksi foto kenangan masa kecilku yang terhampar di kasur menemani kami bercengkerama.
"Kamu inget nggak foto ini?" Mama menunjuk satu foto. Foto dengan baju peri yang cantik berwarna pink, berdiri di atas panggung sambil menangis. Tak mungkin aku melupakan peristiwa itu sebab kejadian itu selalu diulang-ulang diceritakan Mama kepada teman-temannya. Tanpa menunggu jawabanku, Mama sudah menjawab sendiri pertanyaannya.
"Itu foto saat kamu ikut kontes kecantikan anak-anak. Usia kamu waktu itu masih lima tahun. Kamu cantik sekali, Shilla, tapi kamu nggak menang karena pas kamu membungkuk memberi salam tiba-tiba kamu kentut. Lalu, teman-temanmu yang berdiri di belakang berteriak mengatai kamu. Kamu akhirnya menangis karena malu. Gara-gara menangis, kamu jadi nggak menang kontes."
Aku terawa. Aku selalu senang mendengar kisah masa kecilku yang sebagian terlupakan, diceritakan kembali oleh Mama. Terkadang, jika aku pulang ke Surabaya, semalaman kami akan membolak-balik album foto lama dan mengenang masa lalu seperti ini.
Ketika aku melihat perempuan berdarah Sumatra lainnya yang menikah dengan orang Jawa akan berubah perilakunya menjadi lebih Jawa dari orang aslinya sendiri, tetapi tidak demikian dengan Mama. Beliau tetap dengan darah Sumatra yang mengalir di darahnya, perilakunya pun tetap sama dengan perilaku orang Sumatra.
Mereka tinggal di Surabaya sejak menikah hingga sekarang dan membuka bisnis restoran makanan khas Surabaya yang menjual rujak cingur, rawon, tahu tek, serta jenis makanan khas lainnya. Bisnis rumah makan mereka lumayan besar dan sudah memiliki beberapa cabang di Surabaya. Mereka tidak mau mengembangkan sayap di Jakarta karena–bagi mereka–lima toko di Surabaya saja sudah cukup membuat mereka sibuk.
Sedang asyik kami membahas foto-foto yang ada di album, tiba-tiba Mama bersikap serius.
"Shil, kamu pernah patah hati, ya?" Aku terhenyak mendengar pertanyaan Mama.
"Nggak, Mam, pacaran aja belum pernah."
"Dulu kamu seneng banget pakai rok, berdandan rapi dan pakai sepatu cantik. Tapi sejak kuliah, kamu berubah 180 derajat. Sekarang nggak pernah lagi Mama lihat kamu pakai rok. Selalu pakai jeans."
"Mam, Shilla kan reporter. Masa reporter pakai rok mini? Ya nggak pantas lah! Kecuali kerjanya di studio, baca berita. Tuh baru deh bisa pakai rok mini."
"Makanya kenapa kamu nggak minta jadi pembaca berita aja?"
"Mam, Shilla udah kuliah tinggi-tinggi, pengin dong mempraktikkan ilmu yang Shilla dapet? Ya salah satu caranya dengan memulai karier dari bawah kayak gini."
"Kamu udah 25 tahun, Shil. Masa sih belum ada pacar?" Mama kembali ke pembahasan awal. "Acha aja temen SD kamu itu, masih inget nggak? Dia udah punya anak lho, bulan kemarin baru lahir."
"O iya? Acha? Wow, hebat dia."
"Kamu kapan? Kasih dong, Mama cucu."
"Nanti ya Mam, kalo cita-cita Shilla udah tercapai."
"Kapan itu?"
"Yah kira-kira lima tahun lagi, deh."
Mama cemberut. Baginya, lima tahun adalah waktu yang terllau lama. Tapi aku pun bukan jenis orang yang bisa dipaksa. Dulu, waktu dipaksa masuk Tata Boga, aku malah kabur ke rumah temanku dan baru pulang setelah diizinkan kuliah di jurusan Komunikasi.
Terus terang, aku pun juga sering memikirkan masalah pacar ini. Aku pun juga ingin memiliki pacar, someone special, seperti teman-temanku yang lain. Aku juga ingin memiliki seseorang yang bisa memberiku nasihat dan membangkitkan semangatku jika aku sedang down. Tapi aku belum menemukan cowok yang cocok dengan bayanganku akan seorang pacar.
Padahal kriteriaku cukup sederhana, kok. Aku menginginkan cowok yang tidak terlalu manis atau tampan seperti para cover boy di majalah-majalah cewek ABG itu, juga tidak menginginkan cowok wangi seperti para metroseksual yang rapi jali. Aku hanya ingin punya pacar yang macho dalam arti cakepnya cukup, agak berantakan sedikit gayanya, tapi masih enak untuk dipandang. Dan satu hal lagi, cowok yang jadi pacarku nanti tuh harus cool abis! Jangan terlalu lebay protektif ke aku atau terlalu cuek.
Sebenarnya tidak terlalu sulit, kan ya? Tetapi aku nggak bisa bilang kepada Mama tentang masalah kriteria ini. Bisa-bisa aku malah diceramahi panjang lebar! Mulai dari 'terlalu pemilih'lah, 'banyak maunya'lah, 'manusia tidak ada yang sempurna'lah serta banyak kata mutiara lainnya. Menurutku, permintaanku cukup simpel, tidak minta yang macamkmacam juga kan? Tapi, apa mudah mendapatkan cowok dengan kriteria sederhana itu? Noooo...
Aku masih berdiri di halaman kosan memandangi langit sambil mencoba membayangkan wajah cowok yang sesuai dengan kriteria pacarku ketika Papa berseru ke arahku.
"Shil, dipanggil Mama tuh, kamu nggak dengar?"
"Oh, Mama manggil?" Aku menoleh.
"Kamu ngapain, sih?"
"Liat awan, Pa."
"Dari kecil nggak berubah kelakuan kamu." Papa kembali meneruskan membaca koran. Aku berlari masuk ke rumah. Mama menyuruhku menghabiskan jus dan rotiku.
"Mam, liat topi rajut Shilla nggak? Tadi Shilla taruh sini yang warna kuning."
"Mama masukkin ke lemari, kamu taruh topi sembarangan aja."
"Topinya kan, mau Shilla pakai." Aku bergegas ke kamar dan mengenakan topi rajut warna kuningku.
"Tumben nggak matching baju sama topi."
Aku lupa kalau mamaku ini sangat fashinable! Aku rasa, saat ini, Mama sudah gemas ingin menyuruhku mengganti outfit karena bagi Mama koordinasi warna dan corak pakaian itu sangat penting. "Itu kenapa yang kuning? Kan merah lebih masuk warnanya."
"Kuning lebih terang dan bersemangat." Aku tak ingin membuat orangtuaku khawatir dengan mengatakan bahwa sebenarnya aku perlu berhati-hati hari ini. Barusan, aku melihat bentuk awan yang menyerupai tank dengan laras panjang dan mengeluarkan asap. Cantik dipandang, tapi membuatku sedikit was-was karena hari ini aku akan masuk ke markas tentara. Entah apa yang akan kuhadapi di sana, yang jelas bukan cowok gagah berseragam oranye dengan senyum menawan yang akan menyambutku di gerbang seperti bayanganku sebelumnya. Jadi, topi kuning baik untuk berjaga-jaga.
Jam menunjukkan pukul tujuh dan taksi belum juga sampai. Aku mulai resah dan menelepon bolak-balik ke pool taksi. Namun, jawaban yang kuterima tak memuaskan. Sempat terpikir, menjadikan alasan taksi terlambat untuk mengundurkan kepergianku, tapi apa kata dunia jika aku mundur sebelum berperang?
Mama dan Papa duduk di teras menikmati teh dan pisang goreng buatan Mama. Pukul sebelas nanti mereka akan kembali ke Surabaya. Awalnya, Mama memaksa menginap di kosanku selama lima hari aku pergi ke Kendari, tetapi aku melarangnya karena menurutku tak ada gunanya juga mama menjaga kosanku, toh tidak ada barang berharga di sini. Awalnya, Mama tak mau mendengar apa pun, tetapi setelah Papa mengingatkannya bahwa rumah makan di Surabaya perlu dipantau, barulah Mama setuju dan menurut untuk kembali ke Surabaya. Itu pun setelah berhasil memaksaku untuk berjanji akan segera ke Surabaya sepulang dari Kendari.
"Tapi kan, belum tentu Shilla bisa langsung cuti, Mam." protesku semalam.
"Mama nggak peduli! Kalau perlu Mama telepon Ommu sekarang."
"Ehh... jangan, jangan. Iya deh, nanti Shilla cari waktu ya, Mam. Tapi nggak janji."
"Harus janji!"
"Tapi kan, itu bukan kantor Shilla, Mam, Shilla punya bos."
"Bosmu lebih rendah kedudukannya dengan Ommu, kan?" Aku terdiam. "Pokoknya Mama tunggu kamu di Surabaya setelah selesai training. Titik." Aku hanya bisa mengangkat bahu, menyerah.
"Semoga bisa. Tapi Shilla usahakan, Mam." Hanya itu yang bisa aku janjikan ke Mama.
Din! Din! Klakson taksi mengagetkanku yang sedang membuka-buka artikel mengenai pelatihan militer.
"Mam, Pap, Shilla berangkat ya." Setelah koper masuk bagasi, aku segera berpamitan dan taksi pun meluncur ke Cilangkap. Benar saja feeling-ku tentang tank berasap. Jalanan macet parah dan aku terlambar sampai di markas tentara. Dua puluh lima wartawan lainnya termasuk Gabriel sudah siap dengan seragam mereka. Sedangkan aku dihukum dengan berlari sepuluh putaran sebelum diperbolehkan bergabung dengan peserta yang lain. Selama berlari, pikiranku fokus pada Angel. Awas kau, Angel! Awas kau, Angel!
"Oke, perhatian semua!" Seorang tentara berpangkat letnan maju dan menatap kami satu per satu. "Kalian di sini untuk belajar. Belajar menjadi wartawan perang yang tangguh! Wartawan perang yang bisa bertahan hidup dalam kesulitan, dan wartawan perang yang TIDAK MENYUSAHKAN orang lain!" katanya dengan semangat penuh yang menghasilkan beberapa cipratan kurang sedap ke wajah peserta yang berdiri di barisan terdepan. Phew! Untung aku berbaris di belakang.
"Saya Letnan Satu Zian. Saya akan mendampingi kalian, selama kalian di Kendari. Jika ada kesulitan, kalian bisa datang kepada saya. PAHAM SEMUA?"
"Paham!" Otomatis peserta berteriak untuk mengimbangi teriakan sang letnan. Aku tidak membayangkan, peserta akan datang dan curhat kepada letnan bertampang galak itu.
Barisan diistirahatkan dan kami pun diperbolehkan duduk-duduk sambil menunggu pesawat yang akan mengantarkan kami ke Kendari. Aku duduk di samping Gabriel. Setelah tahu rencana aku akan diberangkatkan untuk mengikuti pelatihan ini, Gabriel nekat menemui Om Dave dan meminta dirinya untuk dikirim bersamaku. Rupanya Gabriel sudah lama ingin menjadi kameramen perang, benar-benar berbanding terbalik denganku. Keahliannya menangkap momen penting, ditambah bidikan kamera yang terlatik berkat hobi fotografinya, ternyata hanya akan sia-sia saja kalau digunakan untuk meliput sekumpulan ibu-ibu merajut saja. Awalnya Om Dave menolak, karena selain dana yang disiapkan hanya untuk satu wartawan, setiap media pun hanya diperbolehkan mengirimkan satu wartawan. Tapi setelah Gabriel mengatakan bahwa dirinya berjanji akan menjagaku selama di pelatihan, Om Dave pun langsung berubah pikiran dan menggunakan pengaruhnya agar bisa mengirimkan dua wartawan sekaligus. Begitulah "behind the scene" alasan Gabriel bisa berangkat bersamaku.
Selain aku, ada tiga jurnalis perempuan lain yang mengikuti training ini. Kuperhatikan mereka satu per satu dengan saksama seraya memakan roti bekalku. Pertama, yang sedang memperbaiki bedaknya, bernama Oik. Tampaknya reporter stasiun televisi swasta yang ini adalah seorang pesolek. Apa bisa dia mengikuti pelatihan tentara seperti ini? Tapi penampilan tak menjamin seseorang tangguh atau tidak. Aku sadar banyak orang yang menyangka aku orang yang kuat padahal sesungguhnya aku amatlah rapuh terutama jika menyangkut awan dan pertandanya.
Yang kedua bernama Agni. Jurnalis dari media cetak ini kelihatannya macho dan aku yakin dia akan berhasil menyelesaikan pelatihan ini dengan cemerlang. Dan yang terakhir bernama Zahra. Rambutnya hitam legam panjang sepertiku. Aku menatap diriku sendiri. Rambut hitam lurus panjang, kulit putih. Siapa yang menyangka kalau aku ternyata percaya pada pertanda dan takhayul yang selama ini selalu kusangkal jika Gabriel mulai meledekku. Orang-orang yang melihatku sekilas pasti langsung yakin bahwa aku adalah perempuan tangguh dan super kuat. Mungkin itu juga yang membuat Angel seenaknya mengirimku ke pelatihan perang ini. Well, aku hanya harus memakai topi-topiku, dan dugaan orang-orang bahwa aku adalah perempuan tangguh akan menjadi benar adanya.
Tiba-tiba terdengar suara bising pesawat mendarat yang membuyarkan pengamatanku akan para jurnalis pria yang mengikuti pelatihan ini–yang notabene tidak ada yang menarik untuk dilihat. Rata-rata mereka berpenampilan asal dan tidak menarik. Apalagi tidak tampak pula pilot pesawat tempur berseragam oranye yang selalu kubayangkan sebelumnya, jadi praktis saat menunggu seperti ini jadi terasa membosankan bagiku. Setelah suara bising itu berhenti, pesawat Hercules milik TNI AU yang akan mengantar peserta ke Kendari itu pun berhenti di hadapan kami. Seumur hidup belum pernah aku menaiki Hercules dan menurut beberapa orang yang pernah menaikinya, pesawat ini memang dipakai untuk mengangkut barang dan hewan ternak ke pelosok-pelosok daerah yang tidak terjangkau oleh pesawat komersil. Dan, jangan pernah berharap mendapat pelayanan minuman, makanan, dan selimut di dalamnya.
Jantungku berdebar kencang melihat benda tersebut. Body pesawat Hercules ini tidak mulus seperti layaknya pesawat yang sering kulihat di Bandara Soekarno Hatta. Tampaknya usianya pun sudah renta. Apa bisa benda ini membawa kami ke Kendari? Aku mulai disergap keraguan sehingga sejenak aku berhenti di tengah lapangan dalam langkahku menuju pesawat.
"Kenapa lo? Takut?" Gabriel ikut berhenti di sampingku.
"Nggak, cuma kok, jelek banget ya pesawatnya? Yakin nih, Yel?"
"Ya iyalah! Letnan Satu Zian juga bilang kita naik pesawat ini." Aku memandang ke langit, tapi Gabriel menyeretku menyuruh bergegas.
"Nggak ada waktu buat konsultasi! Elo nggak punya pilihan mau pergi apa nggak. Buruan, biar dapet tempat VIP!" Tempat VIP? You wish! Di dalam pesawat yang bisa memuat ratusan orang ini tempat duduknya sudah seperti angkor, memandang ke samping dan sama sekali tidak membuat penumpangnya merasa nyaman mendudukinya. Aku mengambil tempat duduk di sisi kiri Gabriel dan menarik napas panjang. Oik yang uduk di sisi kanan Gabriel menoleh ke arahnya dan melemparkan senyum.
"Nice hat." katanya padaku.
Aku meraba topi rajut kuningku yang masih bertengger di kepala. "Thanks."
"Pertama kali naik Hercules?" tanyanya.
Aku mengangguk.
"Aku udah keempat kalinya," katanya tanpa kutanya.
Huh, pamer!
"Enak kok, kamu pasti suka," komentarnya lagi.
Aku hanya nyengir. Melihat reaksiku yang adem ayem, Oik pun beralih ke Gabriel yang langsung senang karena tiba-tiba mendapatkan perhatian seorang gadis manis seperti Oik.
Perjalanan tidak nyaman itu pun terasa sangat lama bagiku. Tapi tentu saja tidak demikian dengan Gabriel yang terlihat semakin akrab dengan Oik. Sekilas aku merasa cemburu. Bukan cemburu dalam arti aku naksir Gabriel atau semacam itu, tapi bukankah seharusnya Gabriel melindungiku, menghiburku dan mengobrol denganku? Kenapa ia malah nyuekin aku dan memilih ngobrol dengan Oik? Bukannya aku yang mengajak Gabriel untuk ikutan daftar? Well, sebenarnya dia daftar sendiri, dan aku hanya berniat curhat sekalian agar bisa memaki-maki Angel karena berniat mengirimku ke medan perang setelah pelatihan ini. Tapi, seandainya aku tidak bercerita padanya, bukankah Gabriel tidak akan tahu tentang training di Kendari ini? Jadi seharusnya, Gabriel menemani aku dong, bukan Oik yang baru dikenalnya selama beberapa menit yang lalu! Lagi pula, belum tentu Oik benar-benar seorang reporter seperti yang ia bilang, bisa saja ia mata-mata yang ingin mencuri berita dari NTS? Oke, imajinasiku mulai tak terkendali dan aku memutuskan untuk mengajak mengobrol cowok di sampingku. Kelihatannya cukup macho.
Aku memberanikan diri melempar senyum, mempraktikkan taktik Oik barusan. Tapi, rupanya cowok itu tidak sadar kalau gigiku sudah mulai kering menanti responsnya. Aku mencolek bahu cowok itu dan berhasil, cowok itu menoleh padaku. Kembali aku memamerkan senyum pasta gigiku yang berhasil membuat Rio jatuh-bangun setiap pagi di pintu kantor.
"Halo, aku Shilla." Aku mengulurkan tangan padanya.
"Sion."
"Dari media mana? Aku dari NTS."
"Aku dari koran Lampu Kuning."
"Koran Lampu Kuning? Bukannya Lampu Kuning cuma nerbitin berita... ngg... berita dalam kota?" Aku menahan diri untuk tidak menyebut kata 'syurr'.
"Iya, tapi sekarang manajemennya kan ganti, mereka mau merubah image koran Lampu Kuning yang sekarang ini."
"Oh gitu.. Terus makanya kamu dikirim ke pelatihan ini buat meliput perang?"
Sion tampak shock mendengar pertanyaanku.
"Emangnya ini pelatihan buat liputan perang ya?"
Walah?
"Iya, memangnya kamu nggak dikasih tau sama bosmu?"
"Nggak! Mereka bilang aku harus ikut pelatihan ini biar nanti kalau ada kejadian kerusuhan atau tawuran, atau apa gitu, aku bisa tetap ngeliput."
"Oh, ya sama aja kali ya? Emang selama ini kamu ngeliput apa?"
"Pembibitan pertanian gitu-gitu deh. Boring!"
Tiba-tiba aku merasa bersimpati pada Sion. Kami pun terus berbincang hingga tiba-tiba suara pesawat semakin keras dan roda pesawat mengenai landasan di Bandara Wolter Monginsidi. Akhirnya kami tiba di Kendari. Gabriel dengan sok macho membantu Oik mengangkat kopernya, sementara aku dibiarkan menyeret koperku sendiri. Sejak kapan Gabriel menjadi gentleman seperti ini? Aku bersungut seraya–sengaja–menyeret koperku di sebelah Gabriel agar dia sadar dan membantuku membawa koper. Tapi, ternyata Gabriel terlalu sibuk dengan Oik sehingga akhirnya aku pun harus menerima kenyataan pahit ini dan menenteng koperku sendiri. Dasar playboy cap karbit!
Kami disambut panitia dari Asosiasi Jurnalis Indonesia, dan setelah perkenalan singkat itu, kami pun digiring ke lapangan parkir di mana sebuah truk tronton milik TNI telah menunggu. Dalam hati aku mengeluh. Bukannya setiap peserta sudah membayar biaya yang cukup besar untuk bisa ikut pelatihan ini? Tapi, mari kita ber-positive thinking, mungkin mereka memang sengaja berhemat di transportasi agar bisa memberikan servis yang memuaskan di bagian akomodasi. Namun, rupanya sulit bagiku untuk tetap ber-positive thinking, begitu mendapati hotel bintang lima yang kubayangkan sebelumnya, menjelma menjadi mess tentara dengan fasilitas seadanya. Bangunan sederhana yang catnya sudah mulai rontok itu dikelilingi hutan dan rumput ilalang. Memang sesuai untuk tempat latihan perang. Tapi aku tak menyangka kalau aku benar-benar akan hidup di tengah hutan seperti ini. Turun dari truk tronton–tentu saja dengan bantuan Gabriel, terima kasih!–aku menatap langit. Namun, sebelum sempat mencari pertanda awan, Letnan Satu Zian sudah meniup peluitnya untuk mengumpulkan kami semua si halaman mess. Di sebelahnya, telah berbaris dua orang instruktur impor dari Australia yang akan menjadi pelatih kami selama pelatihan ini berlangsung.
"Saudara-saudari rekan jurnalis. Selamat datang di Mess Tentara Kendari. Dengan bangga saya beri tahukan bahwa mess ini adalah mess yang memiliki fasilitas terbaik dibandingkan mess tentara lainnya di Kendari ini."
Kata-kata sambutan Letnan Satu Zian itu pun membuat kami–semua peserta pelatihan–kontan saling bertatapan. Yang paling bagus? Yang begini ini, yang paling bagus?
"Telah berdiri di sebelah saya instruktus dari Australian Army, Kapten James Cook dan Letnan Nevin Rose. Mereka akan melatih Anda semua menjadi wartawan yang tangguh!" Kedua instruktur impor itu menganggukkan kepala mereka. Aku mencuri menatap sekilas ke langit. Di sana aku lihat bentukan awan menyerupai kelinci dengan telinga panjang dan kaki melompat. Pertanda bagus. Tapi di belakangnya ada awan gelap seolah sedang mengejar sang kelinci. Berarti aku harus waspada. Jangan terlena oleh kesan pertama yang begitu menggoda ini.
Kalau diperhatikan memang Kapten Cook terlihat lebih gagah dibandingkan Letnan Rose. Tapi karena dua-duanya bule, aku sama sekali tak bernafsu untuk mencari perhatian keduanya. Bule is not my tipe of guy, begitu prinsipku. Berbeda dengan Oik yang langsung melupakan Gabriel demi mencari perhatian kedua bule impor tersebut. Aku sampai geleng-geleng kepala melihatnya senyum-senyum tidak jelas,berusaha menarik perhatian kedua bule itu ke arahnya dan tak ayal membuat Gabriel patah hati dalam sekejap. Setelah Kapten Cook memberikan sedikit sambutan dalam bahasa cas-cis-cus-nya, kami pun dipersilakan ke kamar untuk beres-beres. Khusus hari ini, kami diperbolehkan santai-santai dan menikmati pemandangan hutan yang mulai gelap, menjelang sore ini.
Ternyata aku sekamar dengan Agni dan itu bagus, karena hal terakhir yang aku inginkan saat ini adalah tidak sekamar dengan si ganjen Oik. Sepertinya gadis itu benar-benar tidak sadar bahwa tujuannya ke sini adalah untuk mencari wawasan dan ilmu pertahanan, bukan untuk mencari cowok atau calon suami seperti yang diperlihatkannya saat ini.
Rupanya Agni hanya membawa sedikit pakaian, tidak seperti aku yang membawa begitu banyak pakaian ganti. Aku paling malas kalau harus mencuci pakaian selama pelatihan, karena itulah aku memilih membawa sebanyak-banyaknya pakaian ganti agar tidak harus mencuci pakaian luar–dan dalam–di tempat ini, apalagi dengan risiko kehilangan.
"Kalau yang hilang baju sih, nggak pa-pa, tapi kalau yang hilang CD gimana?" Agni hanya tertawa mendengar pendapatku. Huh! Bukannya berterima kasih diberi tips gratis, dia malah tertawa. Setelah melihat kondisi sekitar dan pertanda dari langit, aku pun memutuskan untuk selalu mengenakan topi rajut berwarna kuning selama berada di sini–untuk berjaga-jaga.
Dari jadwal kegiatan yang baru saja dibagikan Letnan Satu Zian, tampaknya aku tidak akan punya waktu untuk selalu berkonsultasi ke awan. Mungkinkah kebiasaan itu justru akan hilang setelah lima hari ke depan yang akan kulalui di sini, tanpa melihat langit? Mungkin saja... Kadang aku pun berharap satu hari nanti, aku bisa menjalani hidupku tanpa harus selalu waswas terhadap pertanda awan, seperti yang terjadi padaku selama ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar