Sabtu, 25 Mei 2013
In:
KAU
KAU *part 10
DI sebuah restoran seafood pinggir danau pilihan Mama di
daerah Cibubur, aku lebih banyak melayangkan pandangan ke arah danau dan
membiarkan Mama menghabiskan sebagian besar porsi kepiting saus padang.
Pikiranku masih sibuk ke proposal program acara jalan-jalan yang baru saja
separuh kuselesaikan. Tadi Mama keburu bangun dan mengajakku ngobrol sehingga
aku tak sempat lagi menyelesaikannya.
”Shil, biasanya kan kamu paling suka kepiting, kenapa nggak makan?”
”Masih kenyang, Mam,” jawabku.
”Kamu harus makan, kalau nggak Mama pesenin udang ya? Atau cumi?”
”Ng.. nggak, nggak usah. Shilla makan kepiting aja.” Bisa repot kalau Mama pesan udang atau cumi, bisa-bisa aku yang harus menghabiskan.
Tiba-tiba seorang pria berdiri dekat meja kami dan membuat aku dan Mama serentak mengangkat wajah untuk melihat siapa yang datang. Aku tak mengenalnya sementara Mama langsung berdiri dan memluk pria tersebut. Siapa dia?
”Shilla, kenalkan, ini Alvin anak temen Mama.” Alvin menyodorkan tangannya yang aku sambut dengan senyum kaku. Tangannya terlalu lembut untuk ukuran seorang pria, beda dengan tangan Cakka yang kasar. Kenapa aku jadi membandingkannya dengan Cakka? Kutepis kelebatan pikiran tentang Cakka & mencoba fokus. Alvin memamerkan senyumnya yang menimbulkan sebuah lesung di pipi kanannya muncul. Cute, lumayan juga. Rupanya ini yang membuat Mama membelikanku baju baru dan mengajak makan di restoran ini.
”Alvin, akhirnya kamu datang. Kirain nggak jadi,” kata Mama.
”Jadi dong, Tante, kan saya sudah janji.”
”Sendiri?”
”Sendiri, Tante.”
”Sengaja Mama undang Alvin untuk datang ke sini, biar kamu kenal. Alvin ini anak sahabat Mama dulu di SMP.” kata Mama. Aku hanya mengangguk saja. Teman Mama tampaknya tersebar di mana-mana. Kalau aku sih jangankan teman SMP, teman SMA saja sudah banyak yang aku tak ingat namanya.
”Shil,” panggil Mama berusaha mengalihkan perhatianku dari permukaan danau yang dihiasi lampu-lampu. ”Alvin ini kerja di broadcasting juga lho.”
”Oh ya?” tanyaku sopan.
”Betul. Saya salah satu pimpinan redaksi di Cakrawala Television,” ucapnya sambil tersenyum.
”Oh? TV mana itu ya?”
”TV lokal di Cibubur sini. Memang tidak besar sih, maklum stasiun TV lokal.”
”Oh...” Aku mengangguk sopan. Sumpah, belum pernah dengar sebelumnya. Mama yang sepertinya mengetahui gelagatku yang akan kembali memandang ke danau, langsung mengambil alih percakapan.
”Mama kamu bagaimana kabarnya? Sehat?”
”Sehat, Tante.” Alvin kembali melempar senyum. Kalau aku perhatikan, senyum Alvin tak pernah lepas dari wajahnya. Mungkin dia tau kelebihannya terletak pada lesung pipinya itu. Rambutnya agak cepak lurus dengan gel yang membentuknya supaya terlihat acak-acakan, tidak seperti Cakka yang rambutnya gondrong ikal itu memang acak-acakan. Postur tubuhnya juga tinggi, tapi tak setinggi Cakka. Lagi-lagi Cakka yang mampir di benakku. Dalam hati aku menghela napas. Aku kangen kamu, Kka.
”Shilla produser program talkshow yang sama Komar itu lho,” kata Mama membuyarkan angan-anganku.
”Ow! Hebat. Rating-nya sedang tinggi sekali, saya juga selalu nonton. Ternyata produsernya gadis cantik yang di depan saya. Mungkin suatu hari TV kita bisa berkolaborasi dalam satu acara?” tanya Alvin. Aku mengangguk.
”Boleh juga,” jawabku dengan kurang antusias. Mama sepertinya menangkap jawabanku yang penuh basa-basi. Kakinya menendangku di bawah meja. Aku menjerit perlahan. Sakit juga tendangan Mama.
”Kenapa, Shil?” tanya Alvin.
”Oh, ng..nggak, kepentok kaki meja.” Alvin kembali senyum. Lama-lama pusing juga aku melihat lesung pipinya itu.
Aku berusaha memusatkan perhatian pada Alvin yang aku tahu sengaja dicarikan Mama dengan susah payah melalui berbagai penyaringan dan pertimbangan untuk menjadi jodohku. Sudah berkali-kali gagal menyuruhku membuka hati pada pria lain, akhirnya Mama memutuskan untuk mengambil langkah drastis ini. Namun, sepanjang makan malam itu, aku jadi selalu membandingkan Alvin dengan Cakka. Di mataku, Alvin tak sebanding dengan Cakka, tetapi aku tak mau mengecewakan Mama. Mungkin aku harus mulai membuka hari dan menerima kenyataan bahwa Cakka tak akan kembali.
Setelah Mama pulang kembali ke Surabaya, Alvin terus menelepon, mengirim SMS, dan mengajakku ke luar untuk jalan-jalan, nonton, atau sekadar minum kopi. Aku sebenarnya malas, karena program baru yang akan aku ajukan akan segera diagendakan dalam rapat dan butuh banyak persiapan. Kalau saja bukan karena Mama yang menelepon dan menanyakan kabar Alvin padaku, pasti cowok itu tak akan aku gubris sama sekali.
”Mam, kenapa tanya kabar Alvin ke Shilla? Tanya langsung aja deh, ke orangnya.”
”Lho, kan kamu yang sering ketemu dia.”
”Nggak juga.”
”Kenapa nggak? Memang dia nggak mengajak kamu ke luar?”
”Karena Shilla nggak mau.”
”Kamu harus mau kalo diajak Alvin.”
”Kenapa?” Aku balik tanya.
”Karena Alvin itu anak baik, dan nggak ada gunanya kamu terus-terusan berkabung demi seseorang yang sudah meninggal.” Aku terdiam. Sesuatu seperti menusuk dadaku. Bagiku Cakka masih ada. Dia belum meninggal.
”Shill, kamu dengar Mama?”
”Iya, Mam.”
”Besok mau jalan ke mana sama Alvin?”
Sebenarnya aku sudah menolak ajakan Alvin.
”Nggak ke mana-mana.”
”Mama ke Jakarta besok kalo begitu.”
Oh NO!
”Mama kenapa jadi terobsesi sama Alvin begini sih?” Aku berkata kesal dan mungkin Mama mendengar nada kesalku. Sebagai hadiah, Mama berceramah panjang lebar mengenai bahayanya hidup sendiri, bahayanya terobsesi pada seseorang, bahayanya mengharap dari seseorang yang sudah mati, pokoknya semua yang pernah aku dengar diucapkan lagi oleh Mama membuatku menyesal menolak ajakan Alvin untuk ke bioskop besok.
”Mam, Shilla cuma bercanda kok, besok Shilla sama Alvin mau pergi nonton.” Aku terpaksa harus menelan harga diriku, dan menelepon Alvin nanti, demi menghentikan ceramah Mama.
”Bilang dong dari tadi, kan Mama nggak ngabisin pulsa. Trus kamu udah siapin baju?”
”Baju Shilla banyak, kok.”
”Gak boleh pake jeans dan kaus ya!”
”Kenapa? Kan cuma ke bioskop.”
”Pakai gaun yang cantik dong.”
”Nggak Mam, jeans cukup, percaya deh.”
”Terserah kamu kalo gitu.” Mama rupanya nggak mau memaksa. Mungkin takut aku berubah pikiran.
Setelah pembicaraan dengan Mama selesai, sebuah tantangan baru menanti; aku harus menelepon Alvin dan mengajaknya kencan. Oh, betapa memalukan setelah tadi aku menolaknya. Kulihat keluar jendela, langit di atas cerah dengan gumpalan awan kumulonimbus yang besar berwarna putih bersih dan hitam berarak-arak.
”Sepertinya mau hujan,” gumamku sendiri melihat beberapa kilat di antara awan tersebut. Kali ini aku harus akui, bentukan awan kumulonimbus yang berkelompok besar-besar tersebut seperti tumpukan cucian kotor di pojokan kamar. Mungkin hubunganku dengan Alvin akan berakhir seperti tumpukan cucian kotor.
”Halo... umm.. Alvin?”
”Eh, halo Shilla, ada apa?”
”Aku berubah pikiran. Besok aku mau nonton sama kamu.”
”Great! Aku jemput jam 7 malam ya.”
”Oke, thanks.” Fiuh. Ternyata nggak sulit.
***
Pukul tujuh tepat, Alvin tiba di kosan dengan pakaian rapi seperti biasa dan lagi-lagi mengobral senyumnya. Beberapa teman kosku yang sedang duduk-duduk di depan sepertinya terjerat pesonanya. Aku tak peduli, kalau ada yang mau menjadikan Alvin gebetan mereka, silakan saja. Kubenamkan kepalaku lebih dalam ke topi rajut kuningku. Awan kumolonimbus yang kemarin sudah mencurahkan hujannya yang banyak itu ternyata masih memiliki banyak persediaan air. Gumpalan awan tersebut malam ini terlihat masih menggantung di langit dan kini yang banyak terlihat adalah yang berwarna hitam, perasaanku jadi kurang enak.
”Nice hat,” pujinya.
”Thanks,” jawabku singkat.
Di bioskop, Alvin mengantre tiket, sementara aku memandang satu per satu poster-poster film yang dipajang. Film yang akan kami tonton kali ini bertema komedi dengan latar belakang Perang Dunia kedua yang dibintangi Brad Pitt yang katanya sangat bagus. Alvin membeli popcorn dan minuman untuk kami dan kami pun masuk teater setelah dipersilakan.
Setelah lampu dipadamkan dan iklan-iklan film lain selesai ditayangkan, film Inglourious Basterds mulai diputar. Seharusnya film ini yang bisa kunikmati karena action dan latar belakang perang yang aku suka. Harus kuakui, Alvin hebat juga bisa mengetahui kalau aku suka film perang. Mungkin sebelumnya ia sudah berkonsultasi dengan Mama. Namun sialnya, film itu justru mengingatkanku pada Cakka. Selama di bioskop, aku sibuk mengusap air mata dan Alvin yang berniat mencuri-curi pegang tanganku jadi mengurungkan niat dan melipat tangannya selama film berlangsung.
Selesai nonton kami minum kopi di kafe dekat bioskop.
”Filmnya bagus ya tadi?” tanya Alvin.
Aku mengangguk.
”Kulihat kamu sangat menikmatinya, sampai-sampai menangis.” Aku tahu Alvin ingin menanyakan padaku perihal air mata yang tumpah di dalam tadi. Well, why not just tell him?
”Aku dulu punya teman, dia pilot.”
”Teman?”
”Pacar.”
”I see.” Alvin mengangguk paham. ”Lalu?”
”Dia hilang....” Mataku terancam basah lagi.
”Hilang? Maksudnya?”
”Sepulang tugas, pesawatnya jatuh, mungkin kamu pernah dengar kecelakaan pesawat setahun yang lalu?”
”Oh, itu? Ya, aku memang menonton beritanya. Kapten siapa namanya?”
”Cakka.”
”Ya, ya, aku ingat.”
”Maaf Alvin, aku mengerti maksud Mama mengenalkan kita berdua, tapi aku belum bisa melupakan dia. Aku.. aku..”
”Aku paham kok, Shil. No worries.” Dan kami menghabiskan malam dengan aku menceritakan perihal Cakka padanya.
Alvin sangat baik dan pengertian, tak sekali pun dia menginterupsiku. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian. Aku tahu harga dirinya pasti sedikit banyak terkoyak karena pengakuanku, tapi apa mau dikata? Lagi pula, dia yang bertanya duluan. Aku hanya perlu menjawab dengan jujur. Kalau pada akhirnya dia mundur dan memutuskan untuk tak lagi menghubungiku, itu sepenuhnya pilihan dia, bukan paksaan dariku.
Keesokan harinya, Mama meneleponku dan bertanya perihal jalan-jalanku dengan Alvin.
”Shil, Mama mendapat SMS dari Alvin, katanya dia tak bisa lagi meneruskan perkenalan dengan kamu. Kenapa, Shil? Ada apa?”
”Memang dia bilangnya apa, Ma?” Jantungku berdebar. Kira-kira apa yang dikatakan Alvin pada Mama?
”Katanya dia ternyata masih mencintai mantannya dan belakangan ini mereka sudah mulai kontak lagi.”
”Oh ya? Alvin bilang begitu?” Syukurlaaahh.. aku selamat dari amukan Mama. Alvin menyelamatkanku.
”Tapi, Mama jadi curiga nih.”
Mataku langsung melotot. Waduh!
”Cu... curiga kenapa, Mam?”
”Mama tahu betul kalau Alvin itu belum punya pacar, dari dulu sampai sekarang. Mamanya yang cerita ke Mama. Jadi, kenapa Alvin bisa bohong seperti itu?”
”Ya... mungkin sebenarnya dia punya pacar, Mam, tapi nggak dia ceritakan ke mamanya,” jawabku sedikit gugup.
”Alvin? Bohong? Memang dia keliatan punya tampang pembohong? Menurut Mama nggak. Kamu nggak cerita tentang Cakka ke dia, kan?” Suara alto nada rendah andalan Mama mulai keluar.
”Um.. dikit,” jawabku dengan suara pelan. ”Tapi itu dia yang tanya kok, Mam, bukan Shilla yang inisiatid cerita!” sambungku buru-buru.
”Shilla, ngapain sih kamu pakai cerita soal Cakka? Dia itu sudah mati, Shil. Mati!” Aku tersentak mendengar perkataan Mama. Belum pernah kudengar beliau mengatakan sesuatu yang keras seperti itu.
”Kenapa Mama kasar begitu?” tanyaku dengan sedih.
”Kamu hidup dalam bayang-bayang semu. Kamu harus segera menghentikan ini semua, Shilla! Kalau tidak, kamu akan jadi perawan tua seumur hidupmu, mengerti?” Mama mengeluarlan ultimatumnya.
***
”Tapi bagi gue dia belum meninggal, Yel.”
Sore itu, sepulang kerja, aku mengajak Gabriel untuk makan malam. Aku buruh teman curhat dan butuh sahabat yang mengerti perasaanku. Gabriel sangat mengerti apa yang aku rasakan dibandingkan orang lain. Kami mengawali karier bersama dan hingga kini kedekatan kami tetap terjaga.
”Gue merasa dia ada di suatu tempat, menunggu untuk gue temukan.” Gabriel hanya diam saja. Kurasa dia sebenarnya memiliki pendapat yang sama dengan Mama, tapi nggak tega menyatakan langsung padaku.
”Menurut lo, gue gila nggak, Yel?”
”Mungkin sekian ons aja gilanya.”
”Ah elo!” Kulempar lap tangan di atas meja ke arahnya sambil tertawa. ”Dari dulu nggak pernah serius lo. Gue heran, gimana cewek lo bisa betah jadi pacar lo ya?”
”Justru itu yang bikin pacar gue nggak bisa lepas.”
”Huu! GR!”
Sejenak kami saling melempar joke dan celaan yang hanya nyambung bagi kami berdua. Tiba-tiba Gabriel menatapku serius.
”Shil, sorry kalo pertanyaan gue menyinggung perasaan lo, tapi sampai kapan elo menganggap Cakka masih hidup? Udah setahun lebih dia hilang.”
”Iya, gue tau udah setahun lebih. Elo pikir gue nggak menghitung?”
Gabriel tak tahu kalau aku memiliki kalender khusus untuk menghitung hari kepergian Cakka yang kusimpan rapat-rapat dalam laci kantor. Seperti ritual, tiap pagi aku akan mengeluarkan kalender kecil tersebut, mencoret tanggal hari itu dan kembali bekerja. Memang akan terdengar aneh, tapi ritual itu yang justru membuatku kuat dengan keyakinan bahwa suatu hari nanti aku akan bertemu lagi dengan Cakka-ku.
”So, kenapa elo nggak dengerin kata-kata nyokap lo? Beliau benar, Shil. Elo tuh harus move on!”
”Tapi gue belum siap melepas dia, Yel.”
”Oke, gue ngerti perasaan lo. Gue tau Cakka memang spesial buat elo. Tapi gue harap elo juga ingat kalo nyokap lo pasti sedih ngeliat keadaan lo sekarang. Elo produser yang sukses, acara lo mendapat rating tertinggi, tapi hati lo kosong.”
”Hati gue nggak kosong!” kataku dengan nada sedikit tinggi.
”Iya, gue tau hati lo dipenuhi Cakka, tapi sampai kapan?”
”Sampai dia kembali.”
Gabriel hanya diam dan memandangku dengan tatapan sedih.
”Lo cinta banget sama dia ya, Shil?”
”Iya.”
”Oke.” Gabriel mengulurkan tangannya dan menepuk punggung tanganku pelan. ”Gue akan coba untuk mencari berita terakhir tentang usaha pencarian Cakka.”
”Bukannya pencarian udah dihentikan?” tanyaku.
”Iya, tapi nanti gue find out lagi, siapa tau ada kabar terbaru.”
”Find out ke mana? Gue udah coba cari ke Dayat, mantan bosnya, nggak ada kabar.”
”I have my own sources.” Gabriel mengedipkan sebelah matanya, membuatku tertawa karena cara Gabriel mengedip itu seperti orang cacingan.
”Elo masih mencari wangsit dari awan, Shil?” tanya Gabriel mengalihkan pembicaraan.
”Cari wangsit? Sembarangan aja lo!” Kucubit tangannya kuat-kuat.
”Selama ini gue bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mungkin acara talkshow yang elo produserin itu bisa melambung rating-nya. Pasti elo dapet wangsit dari mbah awan, ya?”
”Gabriel! Gue bukan manusia klenik, tau!”
”Tapi elo masih kan memandang ke luar jendela sebelum rapat atau sebelum shooting? Buat apa coba kalau bukan minta wangsit?” Gabriel habis-habisan meledekku, dia tau yang sebenarnya, tapi dia sengaja meledekku agar aku kembali tertawa. Gabriel memang seperti itu. True friend.
***
”Ayo Shilla, masa kamu takut.” Aku berpegangan tangan ke pintu helikopter yang terbuka.
”Lompat Shilla, lompat. Ambil awan-awan kamu. Ayo lompat.” Aku masih berpegangan pada pintu helikopter dengan posisi menghadap ke luar. Dari atas sini, aku bisa melihat betapa kecilnya daratan di bawah sana.
”Aku takut, Kka.”
”Kamu pasti bisa.”
”Aku nggak bakal bisa.”
”Kamu bisa!”
”Aku belum mau mati!”
”Kamu nggak bakal mati.”
”Aku takuuuuuttt!” Tiba-tiba aku sudah melayang di udara. Berputar-putar terbawa angin. Ujung jariku menyentuh lembutnya awan yang dingin. Butiran-butiran air membasahi telapak tanganku.
Makin lama daratan makin dekat. Hijaunya sawah, birunya laut, mulai terlihat. Aku segera menarik tali dan parasutku mengembang membawaku melayang sejenak di udara sebelum turun ke darat. Tiba-tiba dari atas sesosok jangkung menyusulku sambil berteriak...
”Shillaaaa.. tunggu aku...” Dan sosok itu melewatiku dengan cepat. Cakka tak memakai parasutnya! Dia akan terhempas ke tanah, dia akan mati!
”Cakka...! Cakkaaaa..!” Aku tersentak bangun dari mimpi burukku. Kuhela napas panjang berusaha menenangkan diri. Keringat membasahi sekujur tubuhku. Kulirik jam meja yang menunjukkan pukul 2.30 dini hari. Fuih... pagi masih lama. Kuseret kakiku ke dapur mengambil air minum. Beberapa hari belakangan ini, aku sering mengalami mimpi dan semuanya berhubungan dengan Cakka. Mimpi-mimpi itu biasanya diawali dengan kegiatan yang pernah aku lakukan bersama Cakka, tetapi akhirnya berubah menjadi cerita horor yang membangunkanku di tengah malam seperti ini dan membuatku tak bisa tidur lagi sampai pagi.
Untuk membunuh waktu, kukeluarkan laptop dan mulai merapikan berkas yang akan kupresentasikan di depan Pak Duta. Semua sudah siap dan aku yakin sekali Pak Duta tak akan menolaknya. Kalau mengingat Pak Duta, terbukti dia beda jauh sekali dengan Angel sehingga tak terasa sudah tiga bulan aku bekerja sebagai produser. Om Dave ternyata benar, Pak Duta bukan diktator dan sangat suportif. Aku pun jadi berkembang dengan ide-ideku. Rasanya ada kepuasan tersendiri dalam batinku. Kuhela napas dalam dan mengintip dari jendela. Sepotong awan kumulus menyapaku di luar sana. Awan kumulus itu terlihat kesepian tanpa teman-temannya karena biasanya jenis awan ini berbentuk kelompok-kelompok bulat dan cukup banyak.
”Hey kamu, mana teman-temanmu yang lain?” bisikku padanya. Hingga pagi gorden kubiarkan terbuka agar kami bisa saling menemani; aku dan awan kumulus, dua makhluk yang sama-sama kesepian.
”Shil, biasanya kan kamu paling suka kepiting, kenapa nggak makan?”
”Masih kenyang, Mam,” jawabku.
”Kamu harus makan, kalau nggak Mama pesenin udang ya? Atau cumi?”
”Ng.. nggak, nggak usah. Shilla makan kepiting aja.” Bisa repot kalau Mama pesan udang atau cumi, bisa-bisa aku yang harus menghabiskan.
Tiba-tiba seorang pria berdiri dekat meja kami dan membuat aku dan Mama serentak mengangkat wajah untuk melihat siapa yang datang. Aku tak mengenalnya sementara Mama langsung berdiri dan memluk pria tersebut. Siapa dia?
”Shilla, kenalkan, ini Alvin anak temen Mama.” Alvin menyodorkan tangannya yang aku sambut dengan senyum kaku. Tangannya terlalu lembut untuk ukuran seorang pria, beda dengan tangan Cakka yang kasar. Kenapa aku jadi membandingkannya dengan Cakka? Kutepis kelebatan pikiran tentang Cakka & mencoba fokus. Alvin memamerkan senyumnya yang menimbulkan sebuah lesung di pipi kanannya muncul. Cute, lumayan juga. Rupanya ini yang membuat Mama membelikanku baju baru dan mengajak makan di restoran ini.
”Alvin, akhirnya kamu datang. Kirain nggak jadi,” kata Mama.
”Jadi dong, Tante, kan saya sudah janji.”
”Sendiri?”
”Sendiri, Tante.”
”Sengaja Mama undang Alvin untuk datang ke sini, biar kamu kenal. Alvin ini anak sahabat Mama dulu di SMP.” kata Mama. Aku hanya mengangguk saja. Teman Mama tampaknya tersebar di mana-mana. Kalau aku sih jangankan teman SMP, teman SMA saja sudah banyak yang aku tak ingat namanya.
”Shil,” panggil Mama berusaha mengalihkan perhatianku dari permukaan danau yang dihiasi lampu-lampu. ”Alvin ini kerja di broadcasting juga lho.”
”Oh ya?” tanyaku sopan.
”Betul. Saya salah satu pimpinan redaksi di Cakrawala Television,” ucapnya sambil tersenyum.
”Oh? TV mana itu ya?”
”TV lokal di Cibubur sini. Memang tidak besar sih, maklum stasiun TV lokal.”
”Oh...” Aku mengangguk sopan. Sumpah, belum pernah dengar sebelumnya. Mama yang sepertinya mengetahui gelagatku yang akan kembali memandang ke danau, langsung mengambil alih percakapan.
”Mama kamu bagaimana kabarnya? Sehat?”
”Sehat, Tante.” Alvin kembali melempar senyum. Kalau aku perhatikan, senyum Alvin tak pernah lepas dari wajahnya. Mungkin dia tau kelebihannya terletak pada lesung pipinya itu. Rambutnya agak cepak lurus dengan gel yang membentuknya supaya terlihat acak-acakan, tidak seperti Cakka yang rambutnya gondrong ikal itu memang acak-acakan. Postur tubuhnya juga tinggi, tapi tak setinggi Cakka. Lagi-lagi Cakka yang mampir di benakku. Dalam hati aku menghela napas. Aku kangen kamu, Kka.
”Shilla produser program talkshow yang sama Komar itu lho,” kata Mama membuyarkan angan-anganku.
”Ow! Hebat. Rating-nya sedang tinggi sekali, saya juga selalu nonton. Ternyata produsernya gadis cantik yang di depan saya. Mungkin suatu hari TV kita bisa berkolaborasi dalam satu acara?” tanya Alvin. Aku mengangguk.
”Boleh juga,” jawabku dengan kurang antusias. Mama sepertinya menangkap jawabanku yang penuh basa-basi. Kakinya menendangku di bawah meja. Aku menjerit perlahan. Sakit juga tendangan Mama.
”Kenapa, Shil?” tanya Alvin.
”Oh, ng..nggak, kepentok kaki meja.” Alvin kembali senyum. Lama-lama pusing juga aku melihat lesung pipinya itu.
Aku berusaha memusatkan perhatian pada Alvin yang aku tahu sengaja dicarikan Mama dengan susah payah melalui berbagai penyaringan dan pertimbangan untuk menjadi jodohku. Sudah berkali-kali gagal menyuruhku membuka hati pada pria lain, akhirnya Mama memutuskan untuk mengambil langkah drastis ini. Namun, sepanjang makan malam itu, aku jadi selalu membandingkan Alvin dengan Cakka. Di mataku, Alvin tak sebanding dengan Cakka, tetapi aku tak mau mengecewakan Mama. Mungkin aku harus mulai membuka hari dan menerima kenyataan bahwa Cakka tak akan kembali.
Setelah Mama pulang kembali ke Surabaya, Alvin terus menelepon, mengirim SMS, dan mengajakku ke luar untuk jalan-jalan, nonton, atau sekadar minum kopi. Aku sebenarnya malas, karena program baru yang akan aku ajukan akan segera diagendakan dalam rapat dan butuh banyak persiapan. Kalau saja bukan karena Mama yang menelepon dan menanyakan kabar Alvin padaku, pasti cowok itu tak akan aku gubris sama sekali.
”Mam, kenapa tanya kabar Alvin ke Shilla? Tanya langsung aja deh, ke orangnya.”
”Lho, kan kamu yang sering ketemu dia.”
”Nggak juga.”
”Kenapa nggak? Memang dia nggak mengajak kamu ke luar?”
”Karena Shilla nggak mau.”
”Kamu harus mau kalo diajak Alvin.”
”Kenapa?” Aku balik tanya.
”Karena Alvin itu anak baik, dan nggak ada gunanya kamu terus-terusan berkabung demi seseorang yang sudah meninggal.” Aku terdiam. Sesuatu seperti menusuk dadaku. Bagiku Cakka masih ada. Dia belum meninggal.
”Shill, kamu dengar Mama?”
”Iya, Mam.”
”Besok mau jalan ke mana sama Alvin?”
Sebenarnya aku sudah menolak ajakan Alvin.
”Nggak ke mana-mana.”
”Mama ke Jakarta besok kalo begitu.”
Oh NO!
”Mama kenapa jadi terobsesi sama Alvin begini sih?” Aku berkata kesal dan mungkin Mama mendengar nada kesalku. Sebagai hadiah, Mama berceramah panjang lebar mengenai bahayanya hidup sendiri, bahayanya terobsesi pada seseorang, bahayanya mengharap dari seseorang yang sudah mati, pokoknya semua yang pernah aku dengar diucapkan lagi oleh Mama membuatku menyesal menolak ajakan Alvin untuk ke bioskop besok.
”Mam, Shilla cuma bercanda kok, besok Shilla sama Alvin mau pergi nonton.” Aku terpaksa harus menelan harga diriku, dan menelepon Alvin nanti, demi menghentikan ceramah Mama.
”Bilang dong dari tadi, kan Mama nggak ngabisin pulsa. Trus kamu udah siapin baju?”
”Baju Shilla banyak, kok.”
”Gak boleh pake jeans dan kaus ya!”
”Kenapa? Kan cuma ke bioskop.”
”Pakai gaun yang cantik dong.”
”Nggak Mam, jeans cukup, percaya deh.”
”Terserah kamu kalo gitu.” Mama rupanya nggak mau memaksa. Mungkin takut aku berubah pikiran.
Setelah pembicaraan dengan Mama selesai, sebuah tantangan baru menanti; aku harus menelepon Alvin dan mengajaknya kencan. Oh, betapa memalukan setelah tadi aku menolaknya. Kulihat keluar jendela, langit di atas cerah dengan gumpalan awan kumulonimbus yang besar berwarna putih bersih dan hitam berarak-arak.
”Sepertinya mau hujan,” gumamku sendiri melihat beberapa kilat di antara awan tersebut. Kali ini aku harus akui, bentukan awan kumulonimbus yang berkelompok besar-besar tersebut seperti tumpukan cucian kotor di pojokan kamar. Mungkin hubunganku dengan Alvin akan berakhir seperti tumpukan cucian kotor.
”Halo... umm.. Alvin?”
”Eh, halo Shilla, ada apa?”
”Aku berubah pikiran. Besok aku mau nonton sama kamu.”
”Great! Aku jemput jam 7 malam ya.”
”Oke, thanks.” Fiuh. Ternyata nggak sulit.
***
Pukul tujuh tepat, Alvin tiba di kosan dengan pakaian rapi seperti biasa dan lagi-lagi mengobral senyumnya. Beberapa teman kosku yang sedang duduk-duduk di depan sepertinya terjerat pesonanya. Aku tak peduli, kalau ada yang mau menjadikan Alvin gebetan mereka, silakan saja. Kubenamkan kepalaku lebih dalam ke topi rajut kuningku. Awan kumolonimbus yang kemarin sudah mencurahkan hujannya yang banyak itu ternyata masih memiliki banyak persediaan air. Gumpalan awan tersebut malam ini terlihat masih menggantung di langit dan kini yang banyak terlihat adalah yang berwarna hitam, perasaanku jadi kurang enak.
”Nice hat,” pujinya.
”Thanks,” jawabku singkat.
Di bioskop, Alvin mengantre tiket, sementara aku memandang satu per satu poster-poster film yang dipajang. Film yang akan kami tonton kali ini bertema komedi dengan latar belakang Perang Dunia kedua yang dibintangi Brad Pitt yang katanya sangat bagus. Alvin membeli popcorn dan minuman untuk kami dan kami pun masuk teater setelah dipersilakan.
Setelah lampu dipadamkan dan iklan-iklan film lain selesai ditayangkan, film Inglourious Basterds mulai diputar. Seharusnya film ini yang bisa kunikmati karena action dan latar belakang perang yang aku suka. Harus kuakui, Alvin hebat juga bisa mengetahui kalau aku suka film perang. Mungkin sebelumnya ia sudah berkonsultasi dengan Mama. Namun sialnya, film itu justru mengingatkanku pada Cakka. Selama di bioskop, aku sibuk mengusap air mata dan Alvin yang berniat mencuri-curi pegang tanganku jadi mengurungkan niat dan melipat tangannya selama film berlangsung.
Selesai nonton kami minum kopi di kafe dekat bioskop.
”Filmnya bagus ya tadi?” tanya Alvin.
Aku mengangguk.
”Kulihat kamu sangat menikmatinya, sampai-sampai menangis.” Aku tahu Alvin ingin menanyakan padaku perihal air mata yang tumpah di dalam tadi. Well, why not just tell him?
”Aku dulu punya teman, dia pilot.”
”Teman?”
”Pacar.”
”I see.” Alvin mengangguk paham. ”Lalu?”
”Dia hilang....” Mataku terancam basah lagi.
”Hilang? Maksudnya?”
”Sepulang tugas, pesawatnya jatuh, mungkin kamu pernah dengar kecelakaan pesawat setahun yang lalu?”
”Oh, itu? Ya, aku memang menonton beritanya. Kapten siapa namanya?”
”Cakka.”
”Ya, ya, aku ingat.”
”Maaf Alvin, aku mengerti maksud Mama mengenalkan kita berdua, tapi aku belum bisa melupakan dia. Aku.. aku..”
”Aku paham kok, Shil. No worries.” Dan kami menghabiskan malam dengan aku menceritakan perihal Cakka padanya.
Alvin sangat baik dan pengertian, tak sekali pun dia menginterupsiku. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian. Aku tahu harga dirinya pasti sedikit banyak terkoyak karena pengakuanku, tapi apa mau dikata? Lagi pula, dia yang bertanya duluan. Aku hanya perlu menjawab dengan jujur. Kalau pada akhirnya dia mundur dan memutuskan untuk tak lagi menghubungiku, itu sepenuhnya pilihan dia, bukan paksaan dariku.
Keesokan harinya, Mama meneleponku dan bertanya perihal jalan-jalanku dengan Alvin.
”Shil, Mama mendapat SMS dari Alvin, katanya dia tak bisa lagi meneruskan perkenalan dengan kamu. Kenapa, Shil? Ada apa?”
”Memang dia bilangnya apa, Ma?” Jantungku berdebar. Kira-kira apa yang dikatakan Alvin pada Mama?
”Katanya dia ternyata masih mencintai mantannya dan belakangan ini mereka sudah mulai kontak lagi.”
”Oh ya? Alvin bilang begitu?” Syukurlaaahh.. aku selamat dari amukan Mama. Alvin menyelamatkanku.
”Tapi, Mama jadi curiga nih.”
Mataku langsung melotot. Waduh!
”Cu... curiga kenapa, Mam?”
”Mama tahu betul kalau Alvin itu belum punya pacar, dari dulu sampai sekarang. Mamanya yang cerita ke Mama. Jadi, kenapa Alvin bisa bohong seperti itu?”
”Ya... mungkin sebenarnya dia punya pacar, Mam, tapi nggak dia ceritakan ke mamanya,” jawabku sedikit gugup.
”Alvin? Bohong? Memang dia keliatan punya tampang pembohong? Menurut Mama nggak. Kamu nggak cerita tentang Cakka ke dia, kan?” Suara alto nada rendah andalan Mama mulai keluar.
”Um.. dikit,” jawabku dengan suara pelan. ”Tapi itu dia yang tanya kok, Mam, bukan Shilla yang inisiatid cerita!” sambungku buru-buru.
”Shilla, ngapain sih kamu pakai cerita soal Cakka? Dia itu sudah mati, Shil. Mati!” Aku tersentak mendengar perkataan Mama. Belum pernah kudengar beliau mengatakan sesuatu yang keras seperti itu.
”Kenapa Mama kasar begitu?” tanyaku dengan sedih.
”Kamu hidup dalam bayang-bayang semu. Kamu harus segera menghentikan ini semua, Shilla! Kalau tidak, kamu akan jadi perawan tua seumur hidupmu, mengerti?” Mama mengeluarlan ultimatumnya.
***
”Tapi bagi gue dia belum meninggal, Yel.”
Sore itu, sepulang kerja, aku mengajak Gabriel untuk makan malam. Aku buruh teman curhat dan butuh sahabat yang mengerti perasaanku. Gabriel sangat mengerti apa yang aku rasakan dibandingkan orang lain. Kami mengawali karier bersama dan hingga kini kedekatan kami tetap terjaga.
”Gue merasa dia ada di suatu tempat, menunggu untuk gue temukan.” Gabriel hanya diam saja. Kurasa dia sebenarnya memiliki pendapat yang sama dengan Mama, tapi nggak tega menyatakan langsung padaku.
”Menurut lo, gue gila nggak, Yel?”
”Mungkin sekian ons aja gilanya.”
”Ah elo!” Kulempar lap tangan di atas meja ke arahnya sambil tertawa. ”Dari dulu nggak pernah serius lo. Gue heran, gimana cewek lo bisa betah jadi pacar lo ya?”
”Justru itu yang bikin pacar gue nggak bisa lepas.”
”Huu! GR!”
Sejenak kami saling melempar joke dan celaan yang hanya nyambung bagi kami berdua. Tiba-tiba Gabriel menatapku serius.
”Shil, sorry kalo pertanyaan gue menyinggung perasaan lo, tapi sampai kapan elo menganggap Cakka masih hidup? Udah setahun lebih dia hilang.”
”Iya, gue tau udah setahun lebih. Elo pikir gue nggak menghitung?”
Gabriel tak tahu kalau aku memiliki kalender khusus untuk menghitung hari kepergian Cakka yang kusimpan rapat-rapat dalam laci kantor. Seperti ritual, tiap pagi aku akan mengeluarkan kalender kecil tersebut, mencoret tanggal hari itu dan kembali bekerja. Memang akan terdengar aneh, tapi ritual itu yang justru membuatku kuat dengan keyakinan bahwa suatu hari nanti aku akan bertemu lagi dengan Cakka-ku.
”So, kenapa elo nggak dengerin kata-kata nyokap lo? Beliau benar, Shil. Elo tuh harus move on!”
”Tapi gue belum siap melepas dia, Yel.”
”Oke, gue ngerti perasaan lo. Gue tau Cakka memang spesial buat elo. Tapi gue harap elo juga ingat kalo nyokap lo pasti sedih ngeliat keadaan lo sekarang. Elo produser yang sukses, acara lo mendapat rating tertinggi, tapi hati lo kosong.”
”Hati gue nggak kosong!” kataku dengan nada sedikit tinggi.
”Iya, gue tau hati lo dipenuhi Cakka, tapi sampai kapan?”
”Sampai dia kembali.”
Gabriel hanya diam dan memandangku dengan tatapan sedih.
”Lo cinta banget sama dia ya, Shil?”
”Iya.”
”Oke.” Gabriel mengulurkan tangannya dan menepuk punggung tanganku pelan. ”Gue akan coba untuk mencari berita terakhir tentang usaha pencarian Cakka.”
”Bukannya pencarian udah dihentikan?” tanyaku.
”Iya, tapi nanti gue find out lagi, siapa tau ada kabar terbaru.”
”Find out ke mana? Gue udah coba cari ke Dayat, mantan bosnya, nggak ada kabar.”
”I have my own sources.” Gabriel mengedipkan sebelah matanya, membuatku tertawa karena cara Gabriel mengedip itu seperti orang cacingan.
”Elo masih mencari wangsit dari awan, Shil?” tanya Gabriel mengalihkan pembicaraan.
”Cari wangsit? Sembarangan aja lo!” Kucubit tangannya kuat-kuat.
”Selama ini gue bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mungkin acara talkshow yang elo produserin itu bisa melambung rating-nya. Pasti elo dapet wangsit dari mbah awan, ya?”
”Gabriel! Gue bukan manusia klenik, tau!”
”Tapi elo masih kan memandang ke luar jendela sebelum rapat atau sebelum shooting? Buat apa coba kalau bukan minta wangsit?” Gabriel habis-habisan meledekku, dia tau yang sebenarnya, tapi dia sengaja meledekku agar aku kembali tertawa. Gabriel memang seperti itu. True friend.
***
”Ayo Shilla, masa kamu takut.” Aku berpegangan tangan ke pintu helikopter yang terbuka.
”Lompat Shilla, lompat. Ambil awan-awan kamu. Ayo lompat.” Aku masih berpegangan pada pintu helikopter dengan posisi menghadap ke luar. Dari atas sini, aku bisa melihat betapa kecilnya daratan di bawah sana.
”Aku takut, Kka.”
”Kamu pasti bisa.”
”Aku nggak bakal bisa.”
”Kamu bisa!”
”Aku belum mau mati!”
”Kamu nggak bakal mati.”
”Aku takuuuuuttt!” Tiba-tiba aku sudah melayang di udara. Berputar-putar terbawa angin. Ujung jariku menyentuh lembutnya awan yang dingin. Butiran-butiran air membasahi telapak tanganku.
Makin lama daratan makin dekat. Hijaunya sawah, birunya laut, mulai terlihat. Aku segera menarik tali dan parasutku mengembang membawaku melayang sejenak di udara sebelum turun ke darat. Tiba-tiba dari atas sesosok jangkung menyusulku sambil berteriak...
”Shillaaaa.. tunggu aku...” Dan sosok itu melewatiku dengan cepat. Cakka tak memakai parasutnya! Dia akan terhempas ke tanah, dia akan mati!
”Cakka...! Cakkaaaa..!” Aku tersentak bangun dari mimpi burukku. Kuhela napas panjang berusaha menenangkan diri. Keringat membasahi sekujur tubuhku. Kulirik jam meja yang menunjukkan pukul 2.30 dini hari. Fuih... pagi masih lama. Kuseret kakiku ke dapur mengambil air minum. Beberapa hari belakangan ini, aku sering mengalami mimpi dan semuanya berhubungan dengan Cakka. Mimpi-mimpi itu biasanya diawali dengan kegiatan yang pernah aku lakukan bersama Cakka, tetapi akhirnya berubah menjadi cerita horor yang membangunkanku di tengah malam seperti ini dan membuatku tak bisa tidur lagi sampai pagi.
Untuk membunuh waktu, kukeluarkan laptop dan mulai merapikan berkas yang akan kupresentasikan di depan Pak Duta. Semua sudah siap dan aku yakin sekali Pak Duta tak akan menolaknya. Kalau mengingat Pak Duta, terbukti dia beda jauh sekali dengan Angel sehingga tak terasa sudah tiga bulan aku bekerja sebagai produser. Om Dave ternyata benar, Pak Duta bukan diktator dan sangat suportif. Aku pun jadi berkembang dengan ide-ideku. Rasanya ada kepuasan tersendiri dalam batinku. Kuhela napas dalam dan mengintip dari jendela. Sepotong awan kumulus menyapaku di luar sana. Awan kumulus itu terlihat kesepian tanpa teman-temannya karena biasanya jenis awan ini berbentuk kelompok-kelompok bulat dan cukup banyak.
”Hey kamu, mana teman-temanmu yang lain?” bisikku padanya. Hingga pagi gorden kubiarkan terbuka agar kami bisa saling menemani; aku dan awan kumulus, dua makhluk yang sama-sama kesepian.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar