Sabtu, 25 Mei 2013
In:
KAU
KAU *part 9
Satu tahun kemudian.
”Selamat pagi, Bu Shilla,” sapa Rio, satpam kantor, yang kujawab tak kalah ramahnya. Kali ini panggilan Rio berubah dari mbak ke ibu. Entah karena dia sudah lelah menunggu responsku sehingga kemudian menikah dengan gadis tetangga rumahnya tiga bulan yang lalu, atau karena memang jabatanku yang sekarang naik menjadi produser.
Ya, setahun sudah aku menjadi produser sebuah acara talkshow yang rating-nya cukup tinggi. Meskipun aku sebenarnya agak kecewa ketika Om Dave memberiku jabatan produser, bukannya pimpinan redaksi seperti yang kuimpikan selama ini. Tapi kalau melihat silver line-nya, paling tidak Angel bukan lagi atasanku. Atasanku sekarang adalah seorang pria lulusan luar negeri yang sangat pandai memimpin anak buah. Sangat berbeda seratus delapan puluh derajat dibandingkan Angel dulu dan itulah yang membuatku akhirnya bisa berdamai dengan diri sendiri dan memaafkan Om Dave.
Angel keluar setelah di-impeach oleh karyawan NTS. Rupanya, reporter yang dikirim menggantikanku ke Palestina dulu depresi berat dan sampai sekarang masih menjalani terapi kesehatan mental akibat setiap hari disuguhi pemandangan menakutkan di kamp pengungsian mulai dari meninggalnya anak-anak yang kurang gizi, datangnya kiriman prajurit perang dengan luka-luka yang mengerikan, dan lain sebagainya. Reporter itu akhirnya tak kuat dan belum seminggu di sana sudah dipulangkan kembali ke Jakarta karena menurut kru NTS bicaranya sudah mulai ngawur dan sering berhalusinasi.
Keluarganya yang tidak terima anaknya dikirim ke medan perang tanpa diberi pembekalan dan persiapan mental sehingga jadi depresi seperti itu, menuntut agar Angel, sebagai pimpinan redaksi yang saat itu mengirimnya, untuk bertanggung jawab. Angel, being Angel, tentu saja menolak karena menurut dia itu adalah bagian dari risiko kerja. Mendengar Angel menjawab dengan hati dingin, karyawan NTS sepakat untuk meng-impeach Angel dan akhirnya Om Dave beserta pemegang saham lainnya tak punya pilihan kecuali memecat Angel dan memberikan pesangon untuk keluarga si reporter malang itu.
Selama hal tersebut terjadi, aku masih di Surabaya dan mendapatkan bocoran berita dari Gabriel yang–sejak Cakka hilang di laut–menjadi informan tetapku dan melaporkan semua perkembangan yang terjadi di kantor. Berkali-kali aku pun menelepon Dayat berharap dia memiliki informasi yang lebih dari Gabriel mengenai Cakka, tapi aku hanya mendapatkan kecewa dan terhempas lebih dalam ke jurang kesedihanku. Kerjaku di rumah hanya melamun dan melamun saja membuat Mama dan Papa khawatir. Tiga bulan aku tenggelam dalam kesedihan dan penyesalanku karena tak berjodoh dengan Cakka. Aku tak menyangka cinta pertamaku kandas sebelum dimulai. Aku masih belum bisa menerima kepergian Cakka. Gabriel yang terus memantau proses pencarian jenazah mengabarkan padaku kalau tim pencari akhirnya menyerah dan menghentikan pencarian setelah kotak hitam ditemukan. Aku murka.
”Memangnya mereka pikir pilot dan co-pilot-nya nggak penting untuk dicari? Kenapa hanya kotak hitam saja yang mereka pikirkan? Bagaimana dengan manusianya?” Gabriel diam tak berani menjawab.
Mama mencoba mengalihkan pikiranku dengan mengajakku terjun ke bisnis rumah makannya. Namun aku bagaikan zombie yang mengikuti Mama ke mana pun dia pergi, tetapi pikiranku tak ada di sana. Yang membuatku hidup adalah ketika aku dan Ny. Winda bertemu dan saling bercerita tentang Cakka. Ny. Winda bercerita tentang masa kecil Cakka, dan aku bercerita tentang kenangan kami bersama di langit, dekat dengan awan kesukaanku dan saling menebak bentukan awan. Selebihnya, kalau aku tak sedang bertemu Ny. Winda, aku duduk melamun atau ikut Mama ke rumah makannya dan di sana kembali duduk termenung. Mama yang semakin mengkhawatirkanku memanggil Om Dave untuk datang dan membawaku pergi ke Jakarta untuk bekerja kembali. Awalnya aku menolak.
”Mama kan selama ini ingin Shilla di sini, kenapa sekarang Mama malah nyuruh Shilla pergi?”
”Kalau kami di sini bantu bisnis Mama, dengan senang hati Mama akan menyuruhmu tinggal. Tapi kamu hanya menyesali nasib, mengasihani diri sendiri, Mama nggak suka!”
”Papa juga sedih melihatmu begini, Shil. Mana semangat hidupmu?”
Sudah hilang, jawabku dalam hati. Sudah hilang sejak Cakka dinyatakan tewas.
Om Dave berhasil membujukku dengan mengatakan bahwa aku akan diberikan posisi sebagai produser acara talkshow andalan NTS. Aku awalnya ragu untuk menempati posisi ini. Selama ini aku lebih banyak bekerja di luar. Namun, akhirnya aku menerima juga.
***
So, di sinilah aku, duduk di ruanganku sendiri dengan pintu bertuliskan namaku dan jabatan baruku di bawahnya: produser. Gabriel menyambut kedatanganku kembali dengan gembira, begitu pula kameramen dan kru NTS yang pernah bekerja sama denganku. Sepertinya mereka semua tahu kisahku yang tragis dengan Cakka. Mereka bahkan membuat pesta kejutan untuk menyambutku datang di kantor. Kupikir hari itu ada pemadaman lampu, ketika aku masuk ke gedung dan menemukan semua lampu padam. Namun herannya, di bawah tadi lampu terang benderang. Aku melangkah perlahan takut menabrak pintu kaca ketika tiba-tiba lampu menyala terang benderang dan semua orang di divisiku bertepuk tangan menyambut kedatanganku.
”Surprise!” Sudah seperti pesta kejutan saat ulang tahun saja, tapi ini lebih baik lagi, karena semua terlihat tulus saat menyalamiku memberi selamat atas jabatan baruku sebagai produser.
***
Hari ini keadaan kantor tidak terlalu hectic. Proses perekaman acara sudah dapat ditangani oleh tim tanpa aku. Aku sedang duduk di kantor sendiri memeriksa berkas-berkas ketika pandanganku tertumpu pada gambar pesawat yang ada di salah satu print out berkas. Tiba-tiba aku teringat dia. Aku berharap ada kabar tentang perkembangan pencarian Cakka dari Gabriel atau Dayat–atau, paling tidak dari acara berita. Tapi seminggu setelah peristiwa memilukan itu, surat kabar dan televisi ramai memberitakan soal peristiwa teror bom berturut-turut di tempat-tempat umum. Berita tentang kecelakaan pesawat entah kenapa pelan-pelan tersingkir dari berita utama. Padahal jutaan pertanyaan masih menghantui. Bagaimana hasil perncariannya? Apakah Cakka berhasil ditemukan? Ataukah jenazahnya ditemukan? Kalau memang sudah meninggal, di manakah Cakka dikuburkan? Semua tanya yang tak ada jawabannya menari-nari dalam pikiranku.
Kubuka vertical blind kantor yang selama ini kubiarkan tertutup dan membiarkan sinar matahari masuk ke ruanganku. Kupandang langit dan beberapa gumpalan awan sirostratus yang putih dan tipis berarak di atas. Angin yang bertiup kencang pagi ini membantu pergerakan awan dan sebentuk lolipop terbentuk dari awan sirokumulus di langit. Kembali ingatanku melayang pada Cakka saat dia mengajakku terbang dengan helikopternya.
Setelah dua kali kami terbang bersama, Cakka memberiku alamat sebuah hanggar di daerah Pondok Cabe. Kami belum begitu akrab saat itu, tetapi aku sudah dengan terbuka menceritakan kesukaanku pada awan. Aku memang selalu bersemangat menceritakan benda langit itu pada siapa pun yang mau mendengar. Cakka yang hanya diam mendengarkan tiba-tiba menyodorkan secarik kertas padaku sesaat setelah kami lepas landas.
”Kalau kamu ingin lebih dekat dengan awan-awanmu, datang ke sini hari Minggu pagi. Pukul 8, jangan telat.” Kemudian dia pergi meninggalkanku yang terbengong-bengong menatap alamat yang tertulis di kertas tisu yang diberikannya.
Hari Minggu aku datang pukul 8 tepat dan menemukan Cakka sudah duduk di bawah sebuah helikopter. Pagi itu cuaca cerah dan langit tampak begitu biru. Aku raba topi rajut hijauku yang bertengger dengan manis di kepala. Sekilas Cakka melirik ke topi rajutku, tetapi tak memberi komentar apa pun. Dia naik ke helikopter dan memberiku isyarat agar aku juga naik mengikutinya. Kupasang sabuk pengaman dan memakai penutup telinga yang diberikan Cakka. Helikopter naik perlahan dan tak lama kami melayang di udara. Aku merasakan sensasi yang begitu dahsyat. Aku mendekati awan-awanku! Belum pernah aku sedekat ini dengan awan-awanku. Aku menjerit-jerit kesenangan dan sibuk menebak bentukan awan yang kami lewati.
”Liat, Kka, itu bentuknya kayak roda...”
”Oohh... liat yang itu! Kayak koper ya?”
Cakka hanya tertawa. Belum pernah aku mendengarnya tertawa seperti itu dan entah mengapa aku suka mendengarnya. Selama kurang lebih setengah jam kami berputar-putar hingga akhirnya Cakka berkata, ”Kalau yang itu seperti paha ayam goreng ya?” Aku melihat awan yang ditunjuk Cakka.
”Ah, nggak mirip kok!”
”Mirip...” katanya dengan cool.
Aku memicing-micingkan mara dan memiring-miringkan kepala mencari angle yang pas supaya bisa melihat bentukan awan tersebut. Namun, dari sisi mana pun kulihat, semiring apa pun kepalaku, tetap saja awan itu jauh dari bentuk paha ayam goreng.
”Nggak mirip.” Aku menggelengkan kepala.
Cakka lagi-lagi terawa. ”Ya sudah, gimana kalau kita lihat paha ayam goreng betulan?”
Aku menoleh bingung ke arahnya.
”Aku lapar. Kamu?” tanyanya.
Tiba-tiba perutku bermain konser karena sebelum berangkat, aku tak sempat sarapan saking bersemangatnya ingin cepat-cepat sampai di hanggar. Untunglah suara helikopter yang keras menutupi bunyi konser di dalam perutku. Rasanya waktu itu yang mengangguk bukan hanya aku, tapi cacing-cacing dalam perutku, dan tak lama kami terdampar di sebuah restoran siap saji yang buka 24 jam dan menikmati ayam goreng kami.
Aku tak akan pernah melupakan hari itu. Hari terbaik yang pernah kualami dan karena sejak itu pun hubunganku dan Cakka jadi mencair. Tepatnya sikap Cakka yang lebih mencair padaku. Jika sekarang kuingat-ingat, mungkin karena dia sudah tahu siapa aku, dan karena, mama kami yang berniat menjodohkan anak-anaknya dengan alasan klise–memperkuat tali persaudaraan–membuatnya lebih membuka diri untuk bisa menerimaku. Aku menghela napas panjang. Sesuatu menggelitik pipiku. Ternyata tanpa kusadari air mata sudah meleleh. Mengingat Cakka membuatku sesak. Aku belum bisa melupakannya.
***
Mama sepertinya tak akan membiarkan aku menutup diri dan menolak semua kemungkinan yang mengetuk pintu hatiku. Kemungkinan di sini maksudnya laki-laki yang ingin mengenalku lebih dekat dan menjadi pacarku.
”Apalagi sekarang kamu sudah sukses, program acaramu rating-nya paling tinggi, kan? Tidak baik kalau masih sendirian.”
”Tapi, Mam...” Aku tak bisa mengatakan pada Mama kalau aku merasa mengkhianati Cakka jika aku menerima lelaki lain, karena pasti Mama tidak mau menerima alasan itu.
”Udah, nggak usah pakai tapi-tapian. Pokoknya, kamu harus cari pacar.”
”Iya. Kalau udah dapat Shilla kasih tau Mama.” jawabku asal-asalan. Memangnya cari pacar itu seperti beli cabe atau bawang di pasar?
Namun, sepertinya Mama nggak mau percaya begitu saja kalau aku akan mencari pacar. Terbukti pada suatu Sabtu pagi yang cerah, tiba-tiba Mama sudah muncul di kamar kos dan mengajakku makan seafood.
”Lho, Mama kok di sini? Sama siapa?” tanyaku celingukan karena melihat Mama sendiri saja.
”Mama sendiri. Papa di Surabaya.”
”Kok?”
”Mama mau makan seafood.”
”Tapi, Shilla mau ke kantor, Mam, ada yang perlu Shilla kerjakan.”
Tiap Sabtu Minggu memang aku tak pernah ada di kos, selalu sibuk di kantor sehingga tak memiliki waktu untuk bersosialisasi.
”Ini hari Sabtu, Shilla. Ngapain kerja?”
”Soalnya Shilla mau bikin program acara yang baru lagi. Talkshow kemarin kan sudah bagus rating-nya, jadi Shilla mau riset.”
Berkoar Bersama Komar, nama acara itu, memang terbilang rating-nya cukup tinggi. Belum lagi dukungan dari media cetak yang memuji-muji acara itu sebagai 'kombinasi selera humor cerdas dan ulasan intelektual' yang semakin menambah popularitas acara tersebut. Tak sedikit tokoh masyarakat dan selebritas yang bertanya ke stasiun, kapan diundang ke talkshow itu. That's amazing, mengingat aku sempat khawatir acara itu baru tayang beberapa bulan saja.
”Alaa, riset apa. Hari ini libur!” Mama menarik tanganku masuk kembali ke dalam kos dan mengunci pintunya.
”Mam, please, Shilla harus kerja.”
”Ini, coba baju baru yang Mama beli untuk kamu.” Mama seperti tak mendengar rengekanku dan mengeluarkan bungkusan dari tasnya. Sebuah gaun panjang yang sederhana tetapi anggun diperlihatkannya. ”Cantik nggak pilihan Mama?”
Aku hanya menganggu. Terus terang aku belum pernah memakai gaun, jadi aku pun tak tahu kapan gaun ini akan bisa kupakai.
”Nanti malam pakai ya.”
”Ha? Nanti malam? Memang kita mau ke mana?”
”Kan Mama sudah bilang tadi, Mama mau makan seafood.”
”Mam, di Surabaya kan juga ada seafood?”
”Memang nggak boleh kalo Mama pengen makan seafood sama kamu, di sini?”
”Ya boleh sih. Ya sudah kalau gitu Shilla ke kantor dulu, nanti malam kita ke seafood.”
”Nggak boleh. Kamu di rumah saja. Kelihatannya juga kamu nggak pernah istirahat tuh.” Mama menyimpan kunci kos di dalam kantongnya dan masuk ke kamar. ”Mama mau tidur sebentar, nanti bangunin Mama ya.”
Sebenarnya aku punya kunci cadangan sih, tetapi kupikir Mama benar juga. Biarlah hari ini aku kerja dari rumah saja. Kubuka laptop-ku dan mulai berseluncur di internet. Kira-kira acara apa ya yang sedang tren saat ini? Kuliner is so last year. Yang saat ini banyak tayang adalah perjalanan liburan yang di-host oleh artis; ada yang menggunakan sepasang artos, ada pula yang host-nya sekeluarga sekaligus, ada pula yang mengguankan reporter saja. Aku harus buat yang beda. Jalan-kalan ke luar negeri sudah biasa, kenapa tidak jalan-jalan di dalam negeri saja? Kan bisa sambil mengeksplorasi kekayaan alam Indonesia sampai ke pelosok-pelosok daerah. Sekalian mempromosikan daerah-daerah yang jarang tersentuh pariwisata, kan?
”This is it!” seruku sendiri. Pasti seru!
”Selamat pagi, Bu Shilla,” sapa Rio, satpam kantor, yang kujawab tak kalah ramahnya. Kali ini panggilan Rio berubah dari mbak ke ibu. Entah karena dia sudah lelah menunggu responsku sehingga kemudian menikah dengan gadis tetangga rumahnya tiga bulan yang lalu, atau karena memang jabatanku yang sekarang naik menjadi produser.
Ya, setahun sudah aku menjadi produser sebuah acara talkshow yang rating-nya cukup tinggi. Meskipun aku sebenarnya agak kecewa ketika Om Dave memberiku jabatan produser, bukannya pimpinan redaksi seperti yang kuimpikan selama ini. Tapi kalau melihat silver line-nya, paling tidak Angel bukan lagi atasanku. Atasanku sekarang adalah seorang pria lulusan luar negeri yang sangat pandai memimpin anak buah. Sangat berbeda seratus delapan puluh derajat dibandingkan Angel dulu dan itulah yang membuatku akhirnya bisa berdamai dengan diri sendiri dan memaafkan Om Dave.
Angel keluar setelah di-impeach oleh karyawan NTS. Rupanya, reporter yang dikirim menggantikanku ke Palestina dulu depresi berat dan sampai sekarang masih menjalani terapi kesehatan mental akibat setiap hari disuguhi pemandangan menakutkan di kamp pengungsian mulai dari meninggalnya anak-anak yang kurang gizi, datangnya kiriman prajurit perang dengan luka-luka yang mengerikan, dan lain sebagainya. Reporter itu akhirnya tak kuat dan belum seminggu di sana sudah dipulangkan kembali ke Jakarta karena menurut kru NTS bicaranya sudah mulai ngawur dan sering berhalusinasi.
Keluarganya yang tidak terima anaknya dikirim ke medan perang tanpa diberi pembekalan dan persiapan mental sehingga jadi depresi seperti itu, menuntut agar Angel, sebagai pimpinan redaksi yang saat itu mengirimnya, untuk bertanggung jawab. Angel, being Angel, tentu saja menolak karena menurut dia itu adalah bagian dari risiko kerja. Mendengar Angel menjawab dengan hati dingin, karyawan NTS sepakat untuk meng-impeach Angel dan akhirnya Om Dave beserta pemegang saham lainnya tak punya pilihan kecuali memecat Angel dan memberikan pesangon untuk keluarga si reporter malang itu.
Selama hal tersebut terjadi, aku masih di Surabaya dan mendapatkan bocoran berita dari Gabriel yang–sejak Cakka hilang di laut–menjadi informan tetapku dan melaporkan semua perkembangan yang terjadi di kantor. Berkali-kali aku pun menelepon Dayat berharap dia memiliki informasi yang lebih dari Gabriel mengenai Cakka, tapi aku hanya mendapatkan kecewa dan terhempas lebih dalam ke jurang kesedihanku. Kerjaku di rumah hanya melamun dan melamun saja membuat Mama dan Papa khawatir. Tiga bulan aku tenggelam dalam kesedihan dan penyesalanku karena tak berjodoh dengan Cakka. Aku tak menyangka cinta pertamaku kandas sebelum dimulai. Aku masih belum bisa menerima kepergian Cakka. Gabriel yang terus memantau proses pencarian jenazah mengabarkan padaku kalau tim pencari akhirnya menyerah dan menghentikan pencarian setelah kotak hitam ditemukan. Aku murka.
”Memangnya mereka pikir pilot dan co-pilot-nya nggak penting untuk dicari? Kenapa hanya kotak hitam saja yang mereka pikirkan? Bagaimana dengan manusianya?” Gabriel diam tak berani menjawab.
Mama mencoba mengalihkan pikiranku dengan mengajakku terjun ke bisnis rumah makannya. Namun aku bagaikan zombie yang mengikuti Mama ke mana pun dia pergi, tetapi pikiranku tak ada di sana. Yang membuatku hidup adalah ketika aku dan Ny. Winda bertemu dan saling bercerita tentang Cakka. Ny. Winda bercerita tentang masa kecil Cakka, dan aku bercerita tentang kenangan kami bersama di langit, dekat dengan awan kesukaanku dan saling menebak bentukan awan. Selebihnya, kalau aku tak sedang bertemu Ny. Winda, aku duduk melamun atau ikut Mama ke rumah makannya dan di sana kembali duduk termenung. Mama yang semakin mengkhawatirkanku memanggil Om Dave untuk datang dan membawaku pergi ke Jakarta untuk bekerja kembali. Awalnya aku menolak.
”Mama kan selama ini ingin Shilla di sini, kenapa sekarang Mama malah nyuruh Shilla pergi?”
”Kalau kami di sini bantu bisnis Mama, dengan senang hati Mama akan menyuruhmu tinggal. Tapi kamu hanya menyesali nasib, mengasihani diri sendiri, Mama nggak suka!”
”Papa juga sedih melihatmu begini, Shil. Mana semangat hidupmu?”
Sudah hilang, jawabku dalam hati. Sudah hilang sejak Cakka dinyatakan tewas.
Om Dave berhasil membujukku dengan mengatakan bahwa aku akan diberikan posisi sebagai produser acara talkshow andalan NTS. Aku awalnya ragu untuk menempati posisi ini. Selama ini aku lebih banyak bekerja di luar. Namun, akhirnya aku menerima juga.
***
So, di sinilah aku, duduk di ruanganku sendiri dengan pintu bertuliskan namaku dan jabatan baruku di bawahnya: produser. Gabriel menyambut kedatanganku kembali dengan gembira, begitu pula kameramen dan kru NTS yang pernah bekerja sama denganku. Sepertinya mereka semua tahu kisahku yang tragis dengan Cakka. Mereka bahkan membuat pesta kejutan untuk menyambutku datang di kantor. Kupikir hari itu ada pemadaman lampu, ketika aku masuk ke gedung dan menemukan semua lampu padam. Namun herannya, di bawah tadi lampu terang benderang. Aku melangkah perlahan takut menabrak pintu kaca ketika tiba-tiba lampu menyala terang benderang dan semua orang di divisiku bertepuk tangan menyambut kedatanganku.
”Surprise!” Sudah seperti pesta kejutan saat ulang tahun saja, tapi ini lebih baik lagi, karena semua terlihat tulus saat menyalamiku memberi selamat atas jabatan baruku sebagai produser.
***
Hari ini keadaan kantor tidak terlalu hectic. Proses perekaman acara sudah dapat ditangani oleh tim tanpa aku. Aku sedang duduk di kantor sendiri memeriksa berkas-berkas ketika pandanganku tertumpu pada gambar pesawat yang ada di salah satu print out berkas. Tiba-tiba aku teringat dia. Aku berharap ada kabar tentang perkembangan pencarian Cakka dari Gabriel atau Dayat–atau, paling tidak dari acara berita. Tapi seminggu setelah peristiwa memilukan itu, surat kabar dan televisi ramai memberitakan soal peristiwa teror bom berturut-turut di tempat-tempat umum. Berita tentang kecelakaan pesawat entah kenapa pelan-pelan tersingkir dari berita utama. Padahal jutaan pertanyaan masih menghantui. Bagaimana hasil perncariannya? Apakah Cakka berhasil ditemukan? Ataukah jenazahnya ditemukan? Kalau memang sudah meninggal, di manakah Cakka dikuburkan? Semua tanya yang tak ada jawabannya menari-nari dalam pikiranku.
Kubuka vertical blind kantor yang selama ini kubiarkan tertutup dan membiarkan sinar matahari masuk ke ruanganku. Kupandang langit dan beberapa gumpalan awan sirostratus yang putih dan tipis berarak di atas. Angin yang bertiup kencang pagi ini membantu pergerakan awan dan sebentuk lolipop terbentuk dari awan sirokumulus di langit. Kembali ingatanku melayang pada Cakka saat dia mengajakku terbang dengan helikopternya.
Setelah dua kali kami terbang bersama, Cakka memberiku alamat sebuah hanggar di daerah Pondok Cabe. Kami belum begitu akrab saat itu, tetapi aku sudah dengan terbuka menceritakan kesukaanku pada awan. Aku memang selalu bersemangat menceritakan benda langit itu pada siapa pun yang mau mendengar. Cakka yang hanya diam mendengarkan tiba-tiba menyodorkan secarik kertas padaku sesaat setelah kami lepas landas.
”Kalau kamu ingin lebih dekat dengan awan-awanmu, datang ke sini hari Minggu pagi. Pukul 8, jangan telat.” Kemudian dia pergi meninggalkanku yang terbengong-bengong menatap alamat yang tertulis di kertas tisu yang diberikannya.
Hari Minggu aku datang pukul 8 tepat dan menemukan Cakka sudah duduk di bawah sebuah helikopter. Pagi itu cuaca cerah dan langit tampak begitu biru. Aku raba topi rajut hijauku yang bertengger dengan manis di kepala. Sekilas Cakka melirik ke topi rajutku, tetapi tak memberi komentar apa pun. Dia naik ke helikopter dan memberiku isyarat agar aku juga naik mengikutinya. Kupasang sabuk pengaman dan memakai penutup telinga yang diberikan Cakka. Helikopter naik perlahan dan tak lama kami melayang di udara. Aku merasakan sensasi yang begitu dahsyat. Aku mendekati awan-awanku! Belum pernah aku sedekat ini dengan awan-awanku. Aku menjerit-jerit kesenangan dan sibuk menebak bentukan awan yang kami lewati.
”Liat, Kka, itu bentuknya kayak roda...”
”Oohh... liat yang itu! Kayak koper ya?”
Cakka hanya tertawa. Belum pernah aku mendengarnya tertawa seperti itu dan entah mengapa aku suka mendengarnya. Selama kurang lebih setengah jam kami berputar-putar hingga akhirnya Cakka berkata, ”Kalau yang itu seperti paha ayam goreng ya?” Aku melihat awan yang ditunjuk Cakka.
”Ah, nggak mirip kok!”
”Mirip...” katanya dengan cool.
Aku memicing-micingkan mara dan memiring-miringkan kepala mencari angle yang pas supaya bisa melihat bentukan awan tersebut. Namun, dari sisi mana pun kulihat, semiring apa pun kepalaku, tetap saja awan itu jauh dari bentuk paha ayam goreng.
”Nggak mirip.” Aku menggelengkan kepala.
Cakka lagi-lagi terawa. ”Ya sudah, gimana kalau kita lihat paha ayam goreng betulan?”
Aku menoleh bingung ke arahnya.
”Aku lapar. Kamu?” tanyanya.
Tiba-tiba perutku bermain konser karena sebelum berangkat, aku tak sempat sarapan saking bersemangatnya ingin cepat-cepat sampai di hanggar. Untunglah suara helikopter yang keras menutupi bunyi konser di dalam perutku. Rasanya waktu itu yang mengangguk bukan hanya aku, tapi cacing-cacing dalam perutku, dan tak lama kami terdampar di sebuah restoran siap saji yang buka 24 jam dan menikmati ayam goreng kami.
Aku tak akan pernah melupakan hari itu. Hari terbaik yang pernah kualami dan karena sejak itu pun hubunganku dan Cakka jadi mencair. Tepatnya sikap Cakka yang lebih mencair padaku. Jika sekarang kuingat-ingat, mungkin karena dia sudah tahu siapa aku, dan karena, mama kami yang berniat menjodohkan anak-anaknya dengan alasan klise–memperkuat tali persaudaraan–membuatnya lebih membuka diri untuk bisa menerimaku. Aku menghela napas panjang. Sesuatu menggelitik pipiku. Ternyata tanpa kusadari air mata sudah meleleh. Mengingat Cakka membuatku sesak. Aku belum bisa melupakannya.
***
Mama sepertinya tak akan membiarkan aku menutup diri dan menolak semua kemungkinan yang mengetuk pintu hatiku. Kemungkinan di sini maksudnya laki-laki yang ingin mengenalku lebih dekat dan menjadi pacarku.
”Apalagi sekarang kamu sudah sukses, program acaramu rating-nya paling tinggi, kan? Tidak baik kalau masih sendirian.”
”Tapi, Mam...” Aku tak bisa mengatakan pada Mama kalau aku merasa mengkhianati Cakka jika aku menerima lelaki lain, karena pasti Mama tidak mau menerima alasan itu.
”Udah, nggak usah pakai tapi-tapian. Pokoknya, kamu harus cari pacar.”
”Iya. Kalau udah dapat Shilla kasih tau Mama.” jawabku asal-asalan. Memangnya cari pacar itu seperti beli cabe atau bawang di pasar?
Namun, sepertinya Mama nggak mau percaya begitu saja kalau aku akan mencari pacar. Terbukti pada suatu Sabtu pagi yang cerah, tiba-tiba Mama sudah muncul di kamar kos dan mengajakku makan seafood.
”Lho, Mama kok di sini? Sama siapa?” tanyaku celingukan karena melihat Mama sendiri saja.
”Mama sendiri. Papa di Surabaya.”
”Kok?”
”Mama mau makan seafood.”
”Tapi, Shilla mau ke kantor, Mam, ada yang perlu Shilla kerjakan.”
Tiap Sabtu Minggu memang aku tak pernah ada di kos, selalu sibuk di kantor sehingga tak memiliki waktu untuk bersosialisasi.
”Ini hari Sabtu, Shilla. Ngapain kerja?”
”Soalnya Shilla mau bikin program acara yang baru lagi. Talkshow kemarin kan sudah bagus rating-nya, jadi Shilla mau riset.”
Berkoar Bersama Komar, nama acara itu, memang terbilang rating-nya cukup tinggi. Belum lagi dukungan dari media cetak yang memuji-muji acara itu sebagai 'kombinasi selera humor cerdas dan ulasan intelektual' yang semakin menambah popularitas acara tersebut. Tak sedikit tokoh masyarakat dan selebritas yang bertanya ke stasiun, kapan diundang ke talkshow itu. That's amazing, mengingat aku sempat khawatir acara itu baru tayang beberapa bulan saja.
”Alaa, riset apa. Hari ini libur!” Mama menarik tanganku masuk kembali ke dalam kos dan mengunci pintunya.
”Mam, please, Shilla harus kerja.”
”Ini, coba baju baru yang Mama beli untuk kamu.” Mama seperti tak mendengar rengekanku dan mengeluarkan bungkusan dari tasnya. Sebuah gaun panjang yang sederhana tetapi anggun diperlihatkannya. ”Cantik nggak pilihan Mama?”
Aku hanya menganggu. Terus terang aku belum pernah memakai gaun, jadi aku pun tak tahu kapan gaun ini akan bisa kupakai.
”Nanti malam pakai ya.”
”Ha? Nanti malam? Memang kita mau ke mana?”
”Kan Mama sudah bilang tadi, Mama mau makan seafood.”
”Mam, di Surabaya kan juga ada seafood?”
”Memang nggak boleh kalo Mama pengen makan seafood sama kamu, di sini?”
”Ya boleh sih. Ya sudah kalau gitu Shilla ke kantor dulu, nanti malam kita ke seafood.”
”Nggak boleh. Kamu di rumah saja. Kelihatannya juga kamu nggak pernah istirahat tuh.” Mama menyimpan kunci kos di dalam kantongnya dan masuk ke kamar. ”Mama mau tidur sebentar, nanti bangunin Mama ya.”
Sebenarnya aku punya kunci cadangan sih, tetapi kupikir Mama benar juga. Biarlah hari ini aku kerja dari rumah saja. Kubuka laptop-ku dan mulai berseluncur di internet. Kira-kira acara apa ya yang sedang tren saat ini? Kuliner is so last year. Yang saat ini banyak tayang adalah perjalanan liburan yang di-host oleh artis; ada yang menggunakan sepasang artos, ada pula yang host-nya sekeluarga sekaligus, ada pula yang mengguankan reporter saja. Aku harus buat yang beda. Jalan-kalan ke luar negeri sudah biasa, kenapa tidak jalan-jalan di dalam negeri saja? Kan bisa sambil mengeksplorasi kekayaan alam Indonesia sampai ke pelosok-pelosok daerah. Sekalian mempromosikan daerah-daerah yang jarang tersentuh pariwisata, kan?
”This is it!” seruku sendiri. Pasti seru!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar