Sabtu, 25 Mei 2013
In:
KAU
KAU *part 5
(Author POV)
DI tengah Laut Bangka.
Angin laut yang kencang membuat ombak bergolak tinggi. Namun, tak mengurungkan niat sosok jangkung itu untuk melaut. Ombak yang tinggi justru memancing adrenalinnya berpacu lebih cepat. Saat ikan tersangkut di umpannya, kemudian jorannya menari-nari mengikuti liukan ikan yang menolak untuk ditangkap, tarik-ulur pun terjadi untuk menunjukkan siapa yang lebih kuat; dirinya atau ikan. Akhirnya, seekor ikan yang tersangkut di ujung kailnya pun lelah dan menyerah kalah, tercapai sudah kepuasannya mencapai titik maksimal.
Laut Bangka adalah surganya pemancing kawakan macam dirinya. Dua orang kru nelayan yang sudah sering mengiringinya, akan ikut bersorak jika dia berhasil mendapatkan ikan besar. Sebenarnya dia mampu menyewa kapal yang lebih layak dengan motor berkecepatan tinggi sehingga tak menghabiskan waktu menuju ke tengah laut. Namun, sosok jangkung itu lebih menyukai kapal nelayan seperti yang sekarang disewanya ini. Kapal dengan motor berkekuatan rendah, atap terpal seadanya dan bergoyang-goyang diterpa ombak yang seolah berusaha menjatuhkan awak dari kapal tersebut. Di tengah laut, sosok jangkung itu akan duduk diam sambil menikmati batang-batang rokoknya menunggu umpannya termakan ikan.
Ketika sosok jangkung itu sedang duduk asyik memandang gelombang ombak di kejauhan, terdengar deru mesin kapal mendekat dari arah belakangnya yang kemudian berhenti di dekat kapalnya
”Kka! Cakka!”
Sosok jangkung itu hanya mengangkat tangannya menjawab panggilan orang yang baru datang itu tanpa menoleh.
”Hey, bantu aku!”
Kru kapal nelayan segera membantu Dayat menaiki kapal nelayan mereka.
”Hei Cakka! Susah kali kau dihubungi! SMS tak dijawab, telepon tak diangkat. Aku tau dari teman sekamarmu, kau sedang memancing.”
Dayat duduk di sebelahnya menikmati panorama laut Bangka yang terlihat sangat indah itu.
”Pantas saja kau sering ke sini. Rupanya Laut Bangka sudah memikat hatimu, heh?”
”Apa kabar, Day?” Lelaki itu akhirnya bersuara.
”Aku baik. Kau sendiri bagaimana?” Cakka hanya mengangguk.
”Aku ada pekerjaan untuk kau, nih. Bawa pesawat ke Ambon.”
”Siapa yang kubawa?”
”Reporter TV dan kameramennya.”
”Berapa hari?”
”Dua hari.”
”Tiga ribu.”
”Ah, gila kau, Kka! Sejak kapan tarifmu naik begini? Pakai rupiah sajalah.”
”Tiga.” Cakka seolah tak mendengarnya.
”Dua ribu, ya?”
”Tiga.”
”Ah, kenapa kau tak turun? Dua ribu delapan ratus?” Cakka mengacungkan tiga jarinya. Dayat pun menyerah dan menggerutu dalam hati. Jika saja Cakka bukan pilot terbaik andalannya, dia tidak akan datang jauh-jauh menghabiskan waktu ke Bangka untuk kemudian diperas dengan harga sedemikian tinggi, seperti ini. Hanya sayang, tak ada pilot yang mau membawa pesawatnya ke Ambon di masa konflik seperti ini. Dayat sudah melobi beberapa pilotnya yang lain, tetapi tak satu pun yang mau.
”Besok kau datang ke hanggar. Aku akan menghubungi reporter itu lagi.” Cakka hanya menggumam dan tak menoleh ketika Dayat pergi dengan kapal sewaannya. Ombak semakin tinggi dan dua kru kapal nelayan dihinggapi rasa waswas melihat gejala alam yang kurang bersahabat hari ini. Tak satu pun ikan mampir lagi di kailnya. Cakka pun mengajak mereka kembali ke darat. Ada pekerjaan yang tengah menunggunya di Jakarta.
***
(Shilla POV)
”Mam, maaf ya Shilla nggak bisa pulang dalam waktu dekat ini.”
”Kenapa? Shilla, kamu kan udah janji mau pulang sesudah dari Kendari?” Suara Mama di seberang terdengar nyaring, seolah Mama ada di sampingku saat ini.
”I..iya, Mam. Tapi ternyata ada tugas ngeliput, nih.”
”Ke mana?”
Gawat!
”Ke... Ambon.”
”Ambon? Kan lagi ada kerusuhan di sana!”
”Tenang aja, Mam, Shilla juga kan, ngeliputnya dari jauh.”
”Kalo bisa dari jauh, ya dari Jakarta aja, wawancara tuh orang Ambon di Kampung Ambon sana di Jakarta Timur.”
Idiiih, Mama tau aja kalo di Jakarta Timur ada Kampung Ambon. Aku nggak boleh ngeremehin kelas pergaulan Mama nih.
”Mama, Shilla janji deh, kalo udah dari Ambon, Shilla langsung minta diturunin di Surabaya sama pilotnya.”
”Emang boleh? Kamu naik pesawat apa?”
”Carterlah, Mam. Kan Om Dave duitnya banyak.”
”Ommu itu emang boros! Dari dulu kalo beli mainan aja pasti yang mahal-mahal. Mana mau tuh dia, bikin mobil-mobilan dari kulit jeruk!”
”Shilla juga ogah sih kalo mainan dari kulit jeruk, Mam, kuno banget gitu loh.”
”Alaa, kamu ini udah ketularan ommu aja! Shilla, sebenernya ada yang mau Mama diskusiin nih sama kamu, makanya Mama mau kamu pulang.”
Ciee, gaya bener si Mama. Aku menahan senyum.
”Diskusi apa, Mam?”
”Jadi gini, temen arisan Mama punya anak–”
Here we go! Aku menghela napas.
”Mam, please–”
”Dengerin dulu!” Aku kager mendengar Mama bernada tinggi dan otomatis langsung menutup mulutku.
”Temen Mama ini dulu pernah nikah sama bule, tapi suaminya udah meninggal sih. Kasian deh, Shil, dia jadi tinggal sendiri gitu di Surabaya karena anaknya tinggal di Jakarta. Makanya Mama sama dia jadi akrab karena kami sering ketemuan. Dia ini doyan banget loh, sama rujak cingur di restoran kita.”
”Oke, terus apa hubungannya ama Shilla?” tanyaku dengan kesabaran tingkat tinggi mengetahui kedoyanan Mama mengobrol panjang ngalor-ngidul.
”Anaknya cakep lho, Shil! Mama udah liat fotonya. Nah, anaknya ini udah pantas menikah dan mau dicariin jodoh sama mamanya. Pas kemarin temen Mama itu datang ke restoran dan melihat foto keluarga kita, dia langsung suka sama kamu, Shil! Dan dia mau kenalin kamu ke anaknya. Makanya itu, Mama minta kamu segera pulang ke Surabaya!” Bule? Yaahh.. Bule. Mendengar kata bule saja aku udah ilfil, tambah ilfil lagi mendengar rencana Mama menjodohkan aku dengan orang yang nggak aku kenal.
”Shilla nggak tertarik, Mam.”
Gimana kalo anak temannya Mama itu ancur? Gimana kalo cowok itu ternyata hidung dan giginya balapan? Atau lebih parah, gimana kalau dia ternyata seorang gay? Buktinya sampe usia pantas menikah, dia belum juga punya pacar.
”Kamu belum liat orangnya udah nolak duluan, sih?”
”Shilla nggak mau beli kucing dalam karung, Mam. Kalo Shilla bilang iya, tapi ternyata dia gimanaaa.. gitu, gimana?”
”Gimana gitu gimana?” Mama balik nanya.
”Yaaa... apa, kek. Pokoknya nggak sesuai harapan.”
”Kamu ngarep yang kayak gimana, sih? Selama ini juga kamu belum punya pacar.”
”Siapa bilang?”
”Kamu nggak pernah cerita.”
”Kan nggak perlu diceritain.”
”Oke, kalo gitu bawa pacar kamu ke Surabaya. Kalo kamu nggak bawa berarti kamu bohong, dan harus menerima perjodohan dengan anak temannya Mama itu, deal?” Susah nih punya Mama yang punya bisnis, semua dijadiin perjanjian bisnis termasuk soal jodoh anaknya sendiri.
”Oke, deal! Tapi Shilla nggak bisa pulang dalam waktu dekat ini.”
”Kan kamu bilang pulang dari Ambon minta di drop di Surabaya? Ya udah, sekalian bawa pacarmu.”
Idiihh.. Mama inget aja sih kalo tadi aku ngomong gitu.
”Gimana kalo ternyata pacar Shilla masih ada urusan di Jakarta, Ma?”
”Ya udah, suruh dia nyusul. Pokoknya Mama tunggu.” Percakapan disudahi dari sebelah pihak. Mama memang selalu menjadi orang terakhir yang mengeluarkan kata-kata kalau terjadi argumen di keluargaku. Aku heran, apa resep Papa untuk tetap 'survive' menghadapi Mama, ya?
***
Bandara Halim Perdanakusuma terlihat ramai pagi ini. Aku ada janji dengan Dayat di hanggarnya. Katanya, aku dan Gabriel akan diperkenalkan dengan pilot yang akan membawa kami ke Ambon. Besok kami bisa berangkat ke Ambon setelah Om Dave menyelesaikan pembayaran sewa pesawat certernya. Aku yang mengenakan topi rajut berwarna hijau melangkah ringan setelah melihat kelompok awan favotirku, virga, menyapa dari jendela kos pagi ini. Awalnya, aku tak memercayai penglihatanku, tapi begitu diperhatikan dengan lebih saksama, di antara awan sirius itu terlihat sebuah awan cantik kemerahan dengan ekor yang ternyata adalah virga, awan yang paling kusuka. Fenomena virga muncul dalam waktu yang tidak bisa diprediksi. Karena itulah, ketika melihat awan cantik itu muncul, aku merasa keberuntungan ada di dekatku.
Mungkin kepergianku ke Ambon ini akan menjadikanku reporter perdamaian yang mendapat pengakuan dunia. Aku membayangkan diriku mewawancarai secara eksklusif pimpinan RMS yang buron di gunung itu dan menyiarkan ke seluruh dunia mengenai alasannya membentuk negara baru di Ambon. Aku harus mempersiapkan pakaian yang pantas untuk kupakai saat penerimaan penghargaan. Oh, apakah aku harus menggelung rambutku atau membiarkannya tergerai? Rambutku hitam panjang dan agak sulit digelung karena tebal dan lurus. Mungkin dibiarkan tergerai tapi agak diikal sedikit. Aku akan ke salon yang paling bagus! Sekali-kali mengeluarkan biaya lebih untuk kecantikan, why not? Oh iya, aku juga harus mempersiapkan pidato dan tentu saja laporan lawatan ke Ambon akan kususun menjadi sebuah makalah berhalaman tebal yang nantinya akan dijadikan bahan referensi semua politisi dan menjadi bacaan wajib semua mahasiswa di Indonesia. Aku semakin menyukai ide-ide yang berkembang di kepalaku itu, dan tanpa sadar senyumku pun mengembang lebar.
”Heh, kenapa lo nyengir sendirian?” Aku sampai lupa kehadiran Gabriel di sampingku.
”Hari ini adalah hari keberuntungan gue, Yel”
”Menang lotre?”
”You'll see.” Senyum misteriusku kembali tersungging.
”Selamat datang!” Dayat menyambut kami di pintu hanggar yang disewa perusahaan carter Eaglestriek Air. Tadinya, aku mengira Dayat adalah pensiunan TNI AU yang sudah tua dan berperut buncit, ternyata aku salah. Dayat masih cukup muda dan bukan mantan TNI AU meskipun perutnya sedikit buncit.
”Pak Dayat, saya Ashilla dan ini kameramen NTS, Gabriel.”
”Panggil saya Day saja.” Kami pun bersalaman. Dayat mengajak kami ke hanggar pesawat. Pesawat yang akan kami carter adalah pesawat ukuran kecil berkapasitas lima penumpang. Di kejauhan tampak dua sosok sedang berbincang-bincang. Mungkin mekanik karena pakaian mereka yang berantakan dan kotor. Mana ya pilotnya? Apakah berpakaian oranye? Akhirnya aku akan bertemu seorang pilot! Hatiku berdebar penuh antisipasi.
”Kka! Cakka! Ini klien kau!” Dayat memanggil. Cakka? Nama yang bagus! Dua sosok yang sedang duduk di bawah pesawat dan salah satunya bangkit menghampiri dan menyalami kami. Ha? Yang bener aja!
”Cakka,” ucapnya singkat.
”Ashilla.”
”Gabriel.”
”Nah, Ashilla, ini adalah kapten Cakka yang akan menjadi pilot kalian ke Ambon. Cakka adalah pilot pesawat tempur dan sangat ahli menerbangkan pesawat ke daerah konflik.” Dayat berpromosi. Aku mengangkat sebelah alisku. Kapten? Pilot pesawat tempur? Yakin dia bukan mekanik? Penampilan Cakka sama sekali tidak seperti bayanganku. Rambutnya gondrong ikal berantakan, cambang tipis menghias wajahnya, membuatnya tampak lebih berantakan. Pakaiannya pun tidak berseragam oranye dengan kacamata hitam seperti khayalanku tentang seorang pilot pesawat tempur, selama ini. Cakka mengenakan jeans belel dan kaus putih yang dilapisi kemeja jeans lusuh dengan kancing terbuka. Sepatunya saja–sudahlah–aku tak sanggup membayangkan orang urakan ini menjadi pilot dan membawaku ke Ambon. Apakah orang ini benar-benar mengantongi ijazah pilot atau surat izin terbang, atau apa pun yang legal? Aku harus mencari tahu dulu. Sebab nyawaku akan menjadi taruhannya.
”Day, sebentar.” Aku memberi isyarat pada Dayat untuk mengikutiku. Gabriel dengan bersemangat mengajak Cakka mengobrol yang hanya ditanggapinya dengan gumaman atau anggukan. Tampaknya Cakka bukan tipe yang suka mengobrol.
”Day, yakin nih, Cakka ini kapten?”
”Iyalah! Masa saya cari sopir becak buat nerbangin pesawat?” Lalu Dayat menertawakan joke-nya sendiri. Mataku yang menyipit membuatnya terdiam. Aku tak merasakan kelucuan yang sama.
”Ini serius, Day! Saya mau liat dulu surat-surat terbang dia.”
”Oke, ikut saya.” Dayat mengajakku ke ruangannya yang ber-AC. Dayat ternyata orang yang berselera tinggi, terlihat dari caranya mendekor ruang kantornya sedemikian rupa sehingga terkesan homey dan nyaman, dengan satu set sofe empuk berwarna biru tua yang terlihat enak untuk diduduki, sebuah TV berukuran 21 inci dan kulkas mini yang tampak dipenuhi minuman bersoda begitu Dayat membukanya. Aku mengambil sekaleng minuman ringan yang ditawarkan Dayat dan mengucapkan terima kasih, kemudian duduk di sofa yang ternyata memang terasa enak diduduki, sementara Dayat membuka filing cabinet di sudut ruangan.
”Ini dia surat-surat Kapten Cakka.” Dayat menunjukkan ijazah Kapten Cakka yang ingin kulihat beberapa saat lalu, surat izin terbang, serta sertifikat-sertifikat lain milik cowok itu.
Aku memperhatikan pasfoto yang tertempel di ijazah tersebut. Cakka dengan seragam pilotnya terlihat sangat berbeda dengan Cakka yang baru saja bersalaman denganku. Rambutnya cepak. Sangat tampan! Ini seperti pilot idamanku. Terlihat gagah dan tegas tetapi bersorot mata lembut sehingga memberikan kedamaian pada jantungku yang tiba-tiba berdebar keras ini. Kenapa foto sama aslinya bisa berbeda jauh gini seperti ini ya? Meski penampilan aslinya sangat jauh berbeda dengan yang di foto, matanya tetap sama; berwarna cokelat muda. Kalau memang aslinya seganteng ini, aku yakin, tak seorang pun akan mempermasalahkan dan memaafkan keadaannya yang berantakan seperti sekarang.
”Oke, saya percaya.”
Aku mengembalikan map tersebut ke Dayat.
”Terkadang penampilan Cakka memang kurang meyakinkan, saya bisa melihat kamu kurang percaya padanya. Tapi, dia pilot terbaik yang dimiliki perusahaan Eaglestrike Air.”
Ya, ya, marketing memang bertugas untuk jualan, kan? Aku mendengar pembelaan Dayat untuk Cakka itu dengan setengah hati sambil menyeruput minuman kaleng yang terasa segar di kerongkonganku yang mulai terasa kering ini. Dayat tampak sedang mengecek sesuatu di komputernya.
”Urusan perizinan sudah siap. Bapak Dave pun sudah mentransfer uang sewa. Jadi kalian bisa berangkat besok.”
DI tengah Laut Bangka.
Angin laut yang kencang membuat ombak bergolak tinggi. Namun, tak mengurungkan niat sosok jangkung itu untuk melaut. Ombak yang tinggi justru memancing adrenalinnya berpacu lebih cepat. Saat ikan tersangkut di umpannya, kemudian jorannya menari-nari mengikuti liukan ikan yang menolak untuk ditangkap, tarik-ulur pun terjadi untuk menunjukkan siapa yang lebih kuat; dirinya atau ikan. Akhirnya, seekor ikan yang tersangkut di ujung kailnya pun lelah dan menyerah kalah, tercapai sudah kepuasannya mencapai titik maksimal.
Laut Bangka adalah surganya pemancing kawakan macam dirinya. Dua orang kru nelayan yang sudah sering mengiringinya, akan ikut bersorak jika dia berhasil mendapatkan ikan besar. Sebenarnya dia mampu menyewa kapal yang lebih layak dengan motor berkecepatan tinggi sehingga tak menghabiskan waktu menuju ke tengah laut. Namun, sosok jangkung itu lebih menyukai kapal nelayan seperti yang sekarang disewanya ini. Kapal dengan motor berkekuatan rendah, atap terpal seadanya dan bergoyang-goyang diterpa ombak yang seolah berusaha menjatuhkan awak dari kapal tersebut. Di tengah laut, sosok jangkung itu akan duduk diam sambil menikmati batang-batang rokoknya menunggu umpannya termakan ikan.
Ketika sosok jangkung itu sedang duduk asyik memandang gelombang ombak di kejauhan, terdengar deru mesin kapal mendekat dari arah belakangnya yang kemudian berhenti di dekat kapalnya
”Kka! Cakka!”
Sosok jangkung itu hanya mengangkat tangannya menjawab panggilan orang yang baru datang itu tanpa menoleh.
”Hey, bantu aku!”
Kru kapal nelayan segera membantu Dayat menaiki kapal nelayan mereka.
”Hei Cakka! Susah kali kau dihubungi! SMS tak dijawab, telepon tak diangkat. Aku tau dari teman sekamarmu, kau sedang memancing.”
Dayat duduk di sebelahnya menikmati panorama laut Bangka yang terlihat sangat indah itu.
”Pantas saja kau sering ke sini. Rupanya Laut Bangka sudah memikat hatimu, heh?”
”Apa kabar, Day?” Lelaki itu akhirnya bersuara.
”Aku baik. Kau sendiri bagaimana?” Cakka hanya mengangguk.
”Aku ada pekerjaan untuk kau, nih. Bawa pesawat ke Ambon.”
”Siapa yang kubawa?”
”Reporter TV dan kameramennya.”
”Berapa hari?”
”Dua hari.”
”Tiga ribu.”
”Ah, gila kau, Kka! Sejak kapan tarifmu naik begini? Pakai rupiah sajalah.”
”Tiga.” Cakka seolah tak mendengarnya.
”Dua ribu, ya?”
”Tiga.”
”Ah, kenapa kau tak turun? Dua ribu delapan ratus?” Cakka mengacungkan tiga jarinya. Dayat pun menyerah dan menggerutu dalam hati. Jika saja Cakka bukan pilot terbaik andalannya, dia tidak akan datang jauh-jauh menghabiskan waktu ke Bangka untuk kemudian diperas dengan harga sedemikian tinggi, seperti ini. Hanya sayang, tak ada pilot yang mau membawa pesawatnya ke Ambon di masa konflik seperti ini. Dayat sudah melobi beberapa pilotnya yang lain, tetapi tak satu pun yang mau.
”Besok kau datang ke hanggar. Aku akan menghubungi reporter itu lagi.” Cakka hanya menggumam dan tak menoleh ketika Dayat pergi dengan kapal sewaannya. Ombak semakin tinggi dan dua kru kapal nelayan dihinggapi rasa waswas melihat gejala alam yang kurang bersahabat hari ini. Tak satu pun ikan mampir lagi di kailnya. Cakka pun mengajak mereka kembali ke darat. Ada pekerjaan yang tengah menunggunya di Jakarta.
***
(Shilla POV)
”Mam, maaf ya Shilla nggak bisa pulang dalam waktu dekat ini.”
”Kenapa? Shilla, kamu kan udah janji mau pulang sesudah dari Kendari?” Suara Mama di seberang terdengar nyaring, seolah Mama ada di sampingku saat ini.
”I..iya, Mam. Tapi ternyata ada tugas ngeliput, nih.”
”Ke mana?”
Gawat!
”Ke... Ambon.”
”Ambon? Kan lagi ada kerusuhan di sana!”
”Tenang aja, Mam, Shilla juga kan, ngeliputnya dari jauh.”
”Kalo bisa dari jauh, ya dari Jakarta aja, wawancara tuh orang Ambon di Kampung Ambon sana di Jakarta Timur.”
Idiiih, Mama tau aja kalo di Jakarta Timur ada Kampung Ambon. Aku nggak boleh ngeremehin kelas pergaulan Mama nih.
”Mama, Shilla janji deh, kalo udah dari Ambon, Shilla langsung minta diturunin di Surabaya sama pilotnya.”
”Emang boleh? Kamu naik pesawat apa?”
”Carterlah, Mam. Kan Om Dave duitnya banyak.”
”Ommu itu emang boros! Dari dulu kalo beli mainan aja pasti yang mahal-mahal. Mana mau tuh dia, bikin mobil-mobilan dari kulit jeruk!”
”Shilla juga ogah sih kalo mainan dari kulit jeruk, Mam, kuno banget gitu loh.”
”Alaa, kamu ini udah ketularan ommu aja! Shilla, sebenernya ada yang mau Mama diskusiin nih sama kamu, makanya Mama mau kamu pulang.”
Ciee, gaya bener si Mama. Aku menahan senyum.
”Diskusi apa, Mam?”
”Jadi gini, temen arisan Mama punya anak–”
Here we go! Aku menghela napas.
”Mam, please–”
”Dengerin dulu!” Aku kager mendengar Mama bernada tinggi dan otomatis langsung menutup mulutku.
”Temen Mama ini dulu pernah nikah sama bule, tapi suaminya udah meninggal sih. Kasian deh, Shil, dia jadi tinggal sendiri gitu di Surabaya karena anaknya tinggal di Jakarta. Makanya Mama sama dia jadi akrab karena kami sering ketemuan. Dia ini doyan banget loh, sama rujak cingur di restoran kita.”
”Oke, terus apa hubungannya ama Shilla?” tanyaku dengan kesabaran tingkat tinggi mengetahui kedoyanan Mama mengobrol panjang ngalor-ngidul.
”Anaknya cakep lho, Shil! Mama udah liat fotonya. Nah, anaknya ini udah pantas menikah dan mau dicariin jodoh sama mamanya. Pas kemarin temen Mama itu datang ke restoran dan melihat foto keluarga kita, dia langsung suka sama kamu, Shil! Dan dia mau kenalin kamu ke anaknya. Makanya itu, Mama minta kamu segera pulang ke Surabaya!” Bule? Yaahh.. Bule. Mendengar kata bule saja aku udah ilfil, tambah ilfil lagi mendengar rencana Mama menjodohkan aku dengan orang yang nggak aku kenal.
”Shilla nggak tertarik, Mam.”
Gimana kalo anak temannya Mama itu ancur? Gimana kalo cowok itu ternyata hidung dan giginya balapan? Atau lebih parah, gimana kalau dia ternyata seorang gay? Buktinya sampe usia pantas menikah, dia belum juga punya pacar.
”Kamu belum liat orangnya udah nolak duluan, sih?”
”Shilla nggak mau beli kucing dalam karung, Mam. Kalo Shilla bilang iya, tapi ternyata dia gimanaaa.. gitu, gimana?”
”Gimana gitu gimana?” Mama balik nanya.
”Yaaa... apa, kek. Pokoknya nggak sesuai harapan.”
”Kamu ngarep yang kayak gimana, sih? Selama ini juga kamu belum punya pacar.”
”Siapa bilang?”
”Kamu nggak pernah cerita.”
”Kan nggak perlu diceritain.”
”Oke, kalo gitu bawa pacar kamu ke Surabaya. Kalo kamu nggak bawa berarti kamu bohong, dan harus menerima perjodohan dengan anak temannya Mama itu, deal?” Susah nih punya Mama yang punya bisnis, semua dijadiin perjanjian bisnis termasuk soal jodoh anaknya sendiri.
”Oke, deal! Tapi Shilla nggak bisa pulang dalam waktu dekat ini.”
”Kan kamu bilang pulang dari Ambon minta di drop di Surabaya? Ya udah, sekalian bawa pacarmu.”
Idiihh.. Mama inget aja sih kalo tadi aku ngomong gitu.
”Gimana kalo ternyata pacar Shilla masih ada urusan di Jakarta, Ma?”
”Ya udah, suruh dia nyusul. Pokoknya Mama tunggu.” Percakapan disudahi dari sebelah pihak. Mama memang selalu menjadi orang terakhir yang mengeluarkan kata-kata kalau terjadi argumen di keluargaku. Aku heran, apa resep Papa untuk tetap 'survive' menghadapi Mama, ya?
***
Bandara Halim Perdanakusuma terlihat ramai pagi ini. Aku ada janji dengan Dayat di hanggarnya. Katanya, aku dan Gabriel akan diperkenalkan dengan pilot yang akan membawa kami ke Ambon. Besok kami bisa berangkat ke Ambon setelah Om Dave menyelesaikan pembayaran sewa pesawat certernya. Aku yang mengenakan topi rajut berwarna hijau melangkah ringan setelah melihat kelompok awan favotirku, virga, menyapa dari jendela kos pagi ini. Awalnya, aku tak memercayai penglihatanku, tapi begitu diperhatikan dengan lebih saksama, di antara awan sirius itu terlihat sebuah awan cantik kemerahan dengan ekor yang ternyata adalah virga, awan yang paling kusuka. Fenomena virga muncul dalam waktu yang tidak bisa diprediksi. Karena itulah, ketika melihat awan cantik itu muncul, aku merasa keberuntungan ada di dekatku.
Mungkin kepergianku ke Ambon ini akan menjadikanku reporter perdamaian yang mendapat pengakuan dunia. Aku membayangkan diriku mewawancarai secara eksklusif pimpinan RMS yang buron di gunung itu dan menyiarkan ke seluruh dunia mengenai alasannya membentuk negara baru di Ambon. Aku harus mempersiapkan pakaian yang pantas untuk kupakai saat penerimaan penghargaan. Oh, apakah aku harus menggelung rambutku atau membiarkannya tergerai? Rambutku hitam panjang dan agak sulit digelung karena tebal dan lurus. Mungkin dibiarkan tergerai tapi agak diikal sedikit. Aku akan ke salon yang paling bagus! Sekali-kali mengeluarkan biaya lebih untuk kecantikan, why not? Oh iya, aku juga harus mempersiapkan pidato dan tentu saja laporan lawatan ke Ambon akan kususun menjadi sebuah makalah berhalaman tebal yang nantinya akan dijadikan bahan referensi semua politisi dan menjadi bacaan wajib semua mahasiswa di Indonesia. Aku semakin menyukai ide-ide yang berkembang di kepalaku itu, dan tanpa sadar senyumku pun mengembang lebar.
”Heh, kenapa lo nyengir sendirian?” Aku sampai lupa kehadiran Gabriel di sampingku.
”Hari ini adalah hari keberuntungan gue, Yel”
”Menang lotre?”
”You'll see.” Senyum misteriusku kembali tersungging.
”Selamat datang!” Dayat menyambut kami di pintu hanggar yang disewa perusahaan carter Eaglestriek Air. Tadinya, aku mengira Dayat adalah pensiunan TNI AU yang sudah tua dan berperut buncit, ternyata aku salah. Dayat masih cukup muda dan bukan mantan TNI AU meskipun perutnya sedikit buncit.
”Pak Dayat, saya Ashilla dan ini kameramen NTS, Gabriel.”
”Panggil saya Day saja.” Kami pun bersalaman. Dayat mengajak kami ke hanggar pesawat. Pesawat yang akan kami carter adalah pesawat ukuran kecil berkapasitas lima penumpang. Di kejauhan tampak dua sosok sedang berbincang-bincang. Mungkin mekanik karena pakaian mereka yang berantakan dan kotor. Mana ya pilotnya? Apakah berpakaian oranye? Akhirnya aku akan bertemu seorang pilot! Hatiku berdebar penuh antisipasi.
”Kka! Cakka! Ini klien kau!” Dayat memanggil. Cakka? Nama yang bagus! Dua sosok yang sedang duduk di bawah pesawat dan salah satunya bangkit menghampiri dan menyalami kami. Ha? Yang bener aja!
”Cakka,” ucapnya singkat.
”Ashilla.”
”Gabriel.”
”Nah, Ashilla, ini adalah kapten Cakka yang akan menjadi pilot kalian ke Ambon. Cakka adalah pilot pesawat tempur dan sangat ahli menerbangkan pesawat ke daerah konflik.” Dayat berpromosi. Aku mengangkat sebelah alisku. Kapten? Pilot pesawat tempur? Yakin dia bukan mekanik? Penampilan Cakka sama sekali tidak seperti bayanganku. Rambutnya gondrong ikal berantakan, cambang tipis menghias wajahnya, membuatnya tampak lebih berantakan. Pakaiannya pun tidak berseragam oranye dengan kacamata hitam seperti khayalanku tentang seorang pilot pesawat tempur, selama ini. Cakka mengenakan jeans belel dan kaus putih yang dilapisi kemeja jeans lusuh dengan kancing terbuka. Sepatunya saja–sudahlah–aku tak sanggup membayangkan orang urakan ini menjadi pilot dan membawaku ke Ambon. Apakah orang ini benar-benar mengantongi ijazah pilot atau surat izin terbang, atau apa pun yang legal? Aku harus mencari tahu dulu. Sebab nyawaku akan menjadi taruhannya.
”Day, sebentar.” Aku memberi isyarat pada Dayat untuk mengikutiku. Gabriel dengan bersemangat mengajak Cakka mengobrol yang hanya ditanggapinya dengan gumaman atau anggukan. Tampaknya Cakka bukan tipe yang suka mengobrol.
”Day, yakin nih, Cakka ini kapten?”
”Iyalah! Masa saya cari sopir becak buat nerbangin pesawat?” Lalu Dayat menertawakan joke-nya sendiri. Mataku yang menyipit membuatnya terdiam. Aku tak merasakan kelucuan yang sama.
”Ini serius, Day! Saya mau liat dulu surat-surat terbang dia.”
”Oke, ikut saya.” Dayat mengajakku ke ruangannya yang ber-AC. Dayat ternyata orang yang berselera tinggi, terlihat dari caranya mendekor ruang kantornya sedemikian rupa sehingga terkesan homey dan nyaman, dengan satu set sofe empuk berwarna biru tua yang terlihat enak untuk diduduki, sebuah TV berukuran 21 inci dan kulkas mini yang tampak dipenuhi minuman bersoda begitu Dayat membukanya. Aku mengambil sekaleng minuman ringan yang ditawarkan Dayat dan mengucapkan terima kasih, kemudian duduk di sofa yang ternyata memang terasa enak diduduki, sementara Dayat membuka filing cabinet di sudut ruangan.
”Ini dia surat-surat Kapten Cakka.” Dayat menunjukkan ijazah Kapten Cakka yang ingin kulihat beberapa saat lalu, surat izin terbang, serta sertifikat-sertifikat lain milik cowok itu.
Aku memperhatikan pasfoto yang tertempel di ijazah tersebut. Cakka dengan seragam pilotnya terlihat sangat berbeda dengan Cakka yang baru saja bersalaman denganku. Rambutnya cepak. Sangat tampan! Ini seperti pilot idamanku. Terlihat gagah dan tegas tetapi bersorot mata lembut sehingga memberikan kedamaian pada jantungku yang tiba-tiba berdebar keras ini. Kenapa foto sama aslinya bisa berbeda jauh gini seperti ini ya? Meski penampilan aslinya sangat jauh berbeda dengan yang di foto, matanya tetap sama; berwarna cokelat muda. Kalau memang aslinya seganteng ini, aku yakin, tak seorang pun akan mempermasalahkan dan memaafkan keadaannya yang berantakan seperti sekarang.
”Oke, saya percaya.”
Aku mengembalikan map tersebut ke Dayat.
”Terkadang penampilan Cakka memang kurang meyakinkan, saya bisa melihat kamu kurang percaya padanya. Tapi, dia pilot terbaik yang dimiliki perusahaan Eaglestrike Air.”
Ya, ya, marketing memang bertugas untuk jualan, kan? Aku mendengar pembelaan Dayat untuk Cakka itu dengan setengah hati sambil menyeruput minuman kaleng yang terasa segar di kerongkonganku yang mulai terasa kering ini. Dayat tampak sedang mengecek sesuatu di komputernya.
”Urusan perizinan sudah siap. Bapak Dave pun sudah mentransfer uang sewa. Jadi kalian bisa berangkat besok.”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar