Rabu, 08 Mei 2013
In:
KAU
KAU *part 2
DERING handphone di pagi buta membangunkanku dari tidur lelapku. Tulisan MAMA SAYANG berkedip-kedip di layar handphone. Kulirik jam meja. Pukul 04.30. Ada apa ya pagi-pagi Mama telepon?
"Ya, Mam." Suaraku sengaja dibuat serak agar Mama sedikit-banyak merasa bersalah telah membangunkanku di pagi buta seperti ini.
"Shilla, kamu udah bangun?"
"Ya belum, kan Mama yang bangunin. Subuh bener sih teleponnya. Ada apa, Mam?"
"Mama baru tau kalo telepon ke handphone sekarang ada tarif murah ke semua operator! Tapi batasnya cuma sampai pukul lima pagi. Makanya Mama telepon!"
Ya ampuun! Mama emang paling-paling deh. Nelepon murah, tapi ganggu orang tidur kan ngeselin juga! Operator telepon Mama apa sih? Dulu ada penawaran telepon gratis tapi daru pukul sebelas malam sampai pukul dua dini hari. Kalau dipikir-pikir lagi, siapa juga yang mau telepon-teleponan jam segitu? Paling-paling kuntilanak teleponan sama pocong.
Tapi bukan Mama namanya, kalau tidak memanfaatkan semua hal berbau gratisan seperti itu. Kebiasaan Mama telepon malam seperti itu memang sempat terhenti sejak aku berganti nomor, tapi sekarang tampaknya aku bakal sering bangun pagi lagi gara-gara ada penawaran baru dari operator provider Mama. Dasar nasib... nasib...
"Ada apa, Mam?"
"Nggak ada apa-apa, Mama tiba-tiba ingat kamu aja."
Oke, Mama tiba-tiba ingat aku di pagi buta begini? Pasti ada sesuatu yang sedang Mama sembunyikan.
"Shilla juga kangen sama Mama, tapi maaf ya, Mam, Shila belum bisa pulang ke Surabaya bulan ini. Shilla ada training."
"Training apa? Kamu naik jabatan?"
"Nggak, Shilla belum naik jabatan, masih jadi reporter kayak dulu."
"Terus, training ini buat kenaikan jabatan?" Mama memang berharap aku bisa langsung jadi pemimpin redaksi di stasiun televisi adiknya itu daripada menjadi reporter yang harus mengejar berita hingga ke pelosok-pelosok. "Buang-buang waktu saja! Kapan kamu pacarannya dong kalo gitu? Nanti nikahnya telat baru tau rasa!"
Aku tak menanggapi ucapan Mama dengan serius. Toh aku juga masih muda, baru saja mencicipi dunia kerja. Masa sudah harus menikah? Karena itulah, ketika sebulan yang lalu aku ditawarkan–dipaksa– untuk ikut pelatihan yang diadakan oleh TNI AU yang bekerja sama dengan Asosiasi Jurnalis Indonesia, khusus untuk para reporter liputan perang, aku pun akhirnya mau mendaftarkan diri untuk mengikuti acara tersebut.
Awalnya, tentu saja aku menolak! Bayangkan, aku yang tidak pernah jauh dari Mama dan sekarang bekerja pun dengan omku, harus pergi ke Kendari untuk training reporter perang? Apakah ini salah satu trik Angel untuk menyingkirkanku? Dikirimnya aku ke medan perang? Yang bener aja! Untuk pergi ke Bekasi seperti waktu itu saja, aku harus melihat kondisi dan mempersiapkan segala sesuatunya dengan benar. Membaca bentukan awan, memilih topi rajut mana yang sesuai dengan kondisi saat itu. Tentu saja itu semua butuh persiapan! Bagaimana kalau aku ke pelatihan reporter perang? Bukankah itu artinya aku harus membawa semua topiku dan bersikap waspada setiap saat? Tentu hal itu akan sangat melelahkanku!
Kalau boleh jujur, aku menunda memberitahukan Mama mengenai berita ini karena sejujurnya hingga saat ini aku sebenarnya masih paranoid. Selain itu, aku juga memiliki kebiasaan baru, yakni mendengarkan laporan cuaca di radio. Jika ada kata awan badai diucapkan si penyiar, entah kenapa aku langsung merinding dan membayangkan bahwa aku tengah ada di medan perang dan dikelilingi awan badai yang siap menembakkan kilat padaku. Oke, mungkin aku terlalu berlebihan, tapi pikiran itu memang sempat muncul. Hingga akhirnya sebulan berlalu sejak tawaran itu diberitahukan padaku pun, aku belum juga memberi tahu Mama. Om Dave yang tahu aku akan dikirim ke pelatihan itu pun, hanya berkomentar pendek, "Bagus, Shilla! Kamu harus mengembangkan sayapmu."
Bah! Sayap apa? Sayap yang sebentar lagi bakal hangus terkena bom? Percuma mengharapkan Om Dave untuk membelaku untuk meredam niat Angel yang berniat mengirimku ke Kendari itu.
Berkali-kali kulatih percakapan imajiner dengan Mama supaya saat tiba waktunya aku benar-benar merasa sudah siap mental, berita yang kusampaikan ke beliau pun tak terdengar terlalu buruk. Gabriel sering kuminta berperan menjadi Mama dan mengajukan pertanyaan kritis ala Mama yang berhasil kujawab dengan gemilang. Namun, terkadang Gabriel suka berlebihan, suka pake acara nangis segala. Benar-benar berlebihan! Tapi kini, saat Mama meneleponku, entah kenapa, aku malah jadi bingung sendiri. Apa sebaiknya sekarang saja aku berterus terang soal Kendari?
"Ehem. Bukan buat kenaikan jabatan langsung, Mam, tapi ini adalah salah satu prosedur yang harus Shilla lewati di jenjang karier ini."
"Baguslah kalo gitu. Training apa, Shill?"
Waduh! Gawat. Aku bukan tipe anak yang suka berbohong pada orang tua. Tapi... kalau memang harus berbohong demi kebaikan, kenapa nggak? Aku nggak mau Mama jadi khawatir. Tapi gimana dong, caranya?
"Training reporter-lah, Mam. Kan Shilla reporter."
"Iya, tapi training gimana? Bentuknya apa?" Terkadang Mama memang suka sedikit memaksa saat rasa penasarannya tak terpuaskan.
"Bentuknya outbond gitu, deh." Nggak bohong dong? Kan emang latihan perang yang diwajibkan bagi calon reporter perang dilakukan di luar ruangan. Jadi bener dong kalo aku bilang outbond?
"Ooh.. Di daerah mana, tuh, Shil?"
Nah lho!
"Umm.. di.. Kendari, Mam, tapi ngumpul dulu di Cilangkap berangkat rame-rame dari sana. Dibayarin kantor lho, nginep selama enam hari, lumayan kan dapet makan gratis buat perbaikan gizi anak kos, hehe..." Aku buru-buru mengalihkan topik pembicaraan agar Mama tidak curiga.
"Di mana tadi kamu bilang?"
Ups!
"Apa?" Strategi pura-pura tidak mendengar.
"Di mana tadi kamu bilang ngumpulnya?"
Duh!
"Outbond. Di lapangan gitu deh, Mam." Kali ini aku memakai strategi berlagak pilon.
"Iya, Mama tau outbond, tapi di daerah mana tadi kamu bilang, Shilla?" Nada suara Mama semakin tinggi, yang berarti beliau sudah mulai tidak sabar dan menangkap gelagatku yang sedang berlagak pilon. Mama rupanya begitu mengenalku.
"Di Cilangkap, Mam." Aku benar-benar tidak punya pilihan.
"Cilangkap? Itu bukannya kayak markas TNI AU gitu, ya?"
Ah, ternyata Mama gaul juga.
"Iya, Mam, yang ngelatih kan tentara. Abis itu kita ke Kendari."
Kepalang tanggung sekalian aja dibuka deh.
"Kendari? Yang di Sumatra?"
"Kendari di Sulawesi Tenggara, Mam."
Aku jadi ingin tahu, berapa ya nilai pelajaran Geografi Mama dulu di sekolah?
"Kok jauh? Terus yang ngelatih tentara? Kayak mau perang aja."
Aku diam. Mama pun tiba-tiba diam.
"Shil, kamu bukan mau jadi reporter perang, kan?" Nada alto superrendah, pertanda bahaya.
"Um.. rencananya sih begitu, Mam, makanya Shilla dikirim ke pelatihan."
Siap-siap...
"APA!?" jerit suara di seberang. "Kamu anak perempuan, Shil! Ngapain sih, jadi wartawan perang segala! Kan masih banyak peristiwa lain yang bisa diliput di Indonesia selain perang?"
"Iya, Shilla tau, Mam. Tapi ini perinta atasan. Shilla bisa apa?"
"Nggak boleh! Pokoknya Mama nggak setuju. Paa? Papaaa..?" Mama menjerit-jerit memanggil Papa. Lalu terdengar kasak-kusuk di seberang disusul suara Papa yang terdengar grogi karena dipaksa bangun dan harus berlari dari kamar ke ruang tamu, yang kemudian terdengar suara Mama yang histeris. Ini semua gara-gara Angel! Lihat saja kalau terjadi apa-apa sama Mama.
"Shil? Shilla? Apa-apaan ini? Kenapa Mama nangis?" Suara Papa terdengar panik.
Aku pun menjelaskan secara singkat percakapanku dengan Mama barusan.
"Memangnya kamu nggak bisa minta ke Om Dave supaya meliput berita di dalam kota saja? Atau Papa dan Mama yang ngomong ke atasan kamu ya, biar nggak sembarangan nyuruh kamu ke medan perang. Siapa atasan kamu?"
Rasanya lidahku sudah gatal ingin menyebutkan nama Angel agar sekali dalam hidupnya Angel merasakan disemprot orang. Apalagi Mama termasuk orang yang kalau sudah mulai nyerocos susah untuk berhenti. Dijamin aku bisa tidur tenang selama dua bulan jika bisa melihat wajah Angel ketika disemprot Mama.
Tapi... tunggu dulu. Kalau Mama dan Papa ke kantor dan meminta Angel menarikku dari pelatihanku–dan aku yakin mereka bisa melakukan itu–pasti aku akan jadi bahan omongan di kantor, seumur hidup. Bisa-bisa reputasiku pun langsung anjlok. NO WAY!
"Ini kemauan Shilla sendiri, Pa. Beneran!"
"Kenapa kamu minta dikirim ke medan perang, Shil? Apa kamu ingin menyia-nyiakan masa muda kamu?"
Masa muda? Maksud Papa apa, nih? Meskipun aku sendiri sebenarnya merasa berat untuk pergi, di sisi yang lain aku merasa ini kesempatan emas untuk terus berkarya selagi aku masih muda.
"Kamu kan belum menikah, Shil. Kamu anak Papa dan Mama, satu-satunya. Kalo terjadi apa-apa di sana, gimana dengan Papa dan Mama?"
Oh, soal itu.
"Shilla belum kepikiran buat nikah, Pa. Shilla ingin meniti karier dulu."
"Karier di medan perang? Karier macam apa itu?"
"Pa, please understand me. Shilla ingin mencoba dan Shilla harus melakukan yang terbaik. Papa dan Mama doakan saja buar Shilla selamat di mana pun Shilla berada."
Papa diam. Entah kenapa meyakinkan Papa seperti ini justru membuatku merasa semakin mantab untuk pergi ke pelatihan. Memang, untuk membuat Papa mengerti jauh lebih muda jika dibandingkan harus menjelaskan kepada Mama. Sama seperti dulu, ketika aku memilih Jurusan Jurnalistik, berbeda dengan Mama yang justru berharap aku mengambil jurusan tata boga. Tata boga? Can you imagine me working in the kitchen? Aku masih bergidik ngeri membayangkan aku hampir saja terjerumus ke dapur seandainya dulu aku mengikuti saran Mama.
"Kapan mulai pelatihannya?" suara Papa mengusik ingatanku akan masa lalu.
"Lusa Shilla berangkat ke Cilangkap, lalu kami diberangkatkan ke Kendari. Pelatihannya enam hari, Pa."
Kembali Papa diam. Samar-samar terdengar isak tangis Mama dan helaan napas Papa yang terasa begitu berat menggantung di udara. Sometimes aku merasa Mama suka berlebihan. Memang aku anak satu-satunya, tapi toh itu kan bukan kesalahanku.
Lagi pula kalau dipikir-pikir, aku kan cuma akan pelatihan ke Kendari, masih di wilayah Indonesia juga. Gak kebayang deh kalau seandainya pelatihannya di kantor pusat AKE, di Inggris sana?
"Ya udah, Papa restui kamu, Shil. Tapi kamu juga harus selalu waspada dan berdoa agar selamat."
"Terima kasih, Pa. Salam buat Mama, ya. Tolong bilang jangan khawatir. Shilla kan udah gede, Pa." Percakapan selesai dan aku merebahkan tubuhku–yang tiba-tiba terasa sangat lelah–kembali ke kasur.
Bip, bip! Sebuah pesan masuk ke handphone-ku. Dari Mama.
Besok Mama dan Papa ke Jakarta, naik penerbangan pertama.
Aku menghela napas panjang. Paling tidak, sekarang Mama dan Papa sudah tahu rencana masa depanku. Satu yang sangat dan yang selalu kuharapkan: doa mereka untuk kebaikanku..
Suasana di luar sepertinya sudah terang benderang, aku pun memutuskan untuk tidak melanjutkan tidurku. Kubuka jendela kamar. Langit timur pada pukul 05.30 pagi tampak memerah. Sekawanan awan sirus yang bentuknya menyerupai asap menyapaku lembut. Hari baik, definitely topi hijau. Sambil tersenyum optimis kusambar handuk dan bersiap ke kantor. Another day, another chalenge.
***
Hari ini aku terlambat lima menit tiba di kantor. Di pintu depan, Rio, security kantor menyapaku dengan superramah.
"Selamat pagi, Mbak Ashilla. Cerah sekali pagi ini."
Sudah bukan rahasia Rio naksir aku. Entah apa yang dia lihat dari diriku hingga cowok berseragam itu melemparkan senyum penuh cintanya padaku. Well, aku sendiri memang menyukai cowok-cowok berseragam itu karena mereka terlihat gagah di depan mata. Hanya sayang, sejauh ini yang menawarkan perhatian-perhatian itu adalah cowok berseragam security, hansip, dan tukang parkir. Padahal yang aku idamkan adalah cowok berseragam TNI AU yang gagah dengan pakaian oranye dan kacamata hitam seperti yang pernah kulihat di TV. Tapi tenang, sebentar lagi aku akan ke Cilangkap! Jujur, satu-satunya hal yang membuatku bersemangat datang ke pelatihan adalah karena aku akan masuk ke sarangnya para cowok berseragam oranye itu. Hip hurah! Aku semakin yakin bahwa keputusanku menerima penugasan pelatihan ini adalah hal yang benar. Kubalas sapaan Rio dengan senyum ala miss universe dan buru-buru cabut sebelum Rio salah menangkap makna senyumku itu.
Begitu tiba di mejaku, aku menemukan secarik post-it-note berisi pesan dari sekretaris Om Dave, yang tertempel di monitor komputerku. Ashilla, diminta Bapak ke kantor segera!
Waduh, ada apa lagim nih? Aku bergegas segera berlari ke kantor Om Dave. Panggilan Gabriel bahkan tak lagi kuhiraukan.
"Nanti!" kataku sambil melambai.
"Pagi, Om," sapaku setelah dipersilakan masuk. Om Dave sedang berdiri dekat jendela menghadap ke luar. "Om manggil Shilla?"
"Duduk, Shilla." Om Dave duduk di singgasananya dengan muka murung. "Tadi pagi Mamak kau telepon aku."
Aku menahan napas. Jangan sampai Om Dave mengurungkan niatnya mengirimku ke tempat pelatihan perang karena aku sudah siap berangkat ke sana. Mentalku telah benar-benar siap bahkan pakaian dan bawaan lain sudah terkemas rapi tinggal diangkut. Seandainya pun telepon Mama membuat Om Dave mengubah keputusannya, aku pun tetap nekat berangkat. Toh tiket untuk ke sana sudah kupegang, tempat sudah dipesan, dan aku pun sudah terdaftar sebagai peserta pelatihan di Kendari bersama 25 orang calon wartawan perang dari media lain; baik media cetak maupun elektronik. Pelatihan ini mendatangkan langsung instruktur dari AKE cabang Sidney dan tidak setiap tahun diadakan.
"Kau ternyata punya nyali juga, bah!" Tak kusangka Om Dave justru melemparkan senyum lebar, yang membuatku merasa lega dan rileks di kursiku. "Aku pikir setelah sekian lama menunda memberi tahu mamakmu, kau akan berniat mengundurkan diri, ternyata...!" Om Dave menggeleng-gelengkan kepalanya, yang–mau tak mau–membuat cengiranku semakin lebar.
"Shilla tadinya juga nggak yakin, Om, tapi semakin ke sini, Shilla justru semakin yakin. Bahkan sekarang, tidak ada niat sedikit pun bagi Shilla untuk mundur! Shilla sudah merasa mantap. Lagi pula, dipikir-pikir, kapan lagi Shilla dapat pelatihan seperti ini, ya kan, Om? Belum tentu tahun depan ada. Yang melatih tentara dari luar negeri pula! Rugi banget kalo Shilla mundur, Om!"
Selain itu, tambahku dalam hati, kalau dipikir dengan kepala jernih, ini adalah kesempatanku untuk menimba ilmu dalam rangka mengalahkan si Singa Betina yang raungannya semakin terdengar sember di telingaku ini. Ha! Angel tidak sadar kalau rencananya menyingkirkanku ke meda perang justru akan berbalik jadi bumerang baginya karena sebentar lagi aku akan duduk di kursinya menggantikan posisinya sekarang.
"Bagus, bagus... itu mental yang Om suka! Semua persiapan sudah beres?"
Aku mengangkat jempol. "Siap, Bos! Pokoknya tinggal berangkat besok!"
"Good. Jangan bikin Om malu ya! Kau mesti profesional, jangan nanti kau taksir itu instruktur bule."
"Yah... Om, Shilla nggak doyan ama bule!"
"Masa sih?"
"Hmm... Shilla kan cinta produk dalam negeri, Om..."
Om Dave terbahak mendengarku asal ngomong. "Hati-hati kau, nanti malah kena tulah. Ya sudah, sana kerja lagi."
Aku memberikan salut ke Om Dave dan kembali ke meja kerjaku. Rupanya Gabriel sudah menungguku sejak tadi.
"Dari mana lo, Shi? Abis ngebom ya?"
"Ih, jorok lo! Gue dari ruangan si Bos."
"Angel?"
"Om gue lah! Angel mah nggak masuk itungan bos buat gue."
Gabriel terbahak mendengar ucapanku.
"Shilla?!" Seolah menyebut namanya adalah hal tabu, Angel melongokkan kepala dari ruang kantornya dan memanggilku.
"Hmm...?" sahutku malas-malasan sambil terus menatap monitor komputer.
"Taman Safari. Ada yang mencoba bunuh diri dengan loncat ke kandang singa. Cari beritanya!" Bam! Pintu kembali tertutup. Aku dan Gabriel saling pandang.
"Itu pasti berita bohong," kataku dengan yakin.
"Emang elo udah denger beritanya?" Gabriel menatapku heran.
"Singanya aja masih di kandang, tuh," aku menunjuk ruangan Angel dengan dagu, "dan nggak ada orang di dalam sana, kan? Jadi siapa dong yang mau kita liput?"
Gabriel terbahak
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar