Sabtu, 25 Mei 2013
In:
KAU
KAU *part 11
”SELAMAT pagi, Bu Shila,” sapa Rio.
”Selamat pagi, Rio. Apa kabar hari ini?” Rio sedikit terkejut kutanyakan kabarnya.
”Eh ba..baik, Bu, terima kasih.”
”Oke, have a nice day.” Aku melangkah masuk ke lift. Pagi ini mood-ku memang sedang baik. Rapat dengan Pak Duta minggu lalu, dan sekarang aku menuju kantor Om Dave. Sudah lama aku tak mengunjungi beliau. Aku juga tak sempat berkunjung ke rumahnya, membuatku sedikit merasa bersalah juga karena tanteku sudah sering menanyakan kapan aku akan datang ke rumah mereka.
-
Nanti kumasakkan makanan kesukaanmu, Shil.
Kau datanglah.
-
Begitu SMS dari Om Dave yang beberapa kali kuterima. Aku hanya mengiyakan dan berjanji jika ada waktu kosong aku akan datang mengunjunginya. Namun, sampai sekarang aku belum juga sempat. Kira-kira Tante marah tidak ya? Aku akan cari tahu lewat Om Dave.
”Halo, Om, good morning,” sapaku setelah mengetuk pintu kantornya.
”Shilla..! Alamak! Sibuk kali kau rupanya sampai-sampai tak sempat mengunjungi Om-mu ini.”
”Maad, Om, tapi kan Om tau sendiri gimana hectic-nya kerjaan Shilla sekarang.”
”Iyalah, mengertilah aku. Bawa apa kau?”
”Ini, mainan untuk sepupuku tersayang di rumah. Dan oleh-oleh dari Sukabumi untuk Tante.” Kuserahkan tas plastik yang kutenteng.
”Bah! Untukku tak kau belikan apa-apa?”
”Tenang, Om, Shilla kan tahu Om paling suka rengginang terasi. Nih, Shilla bawakan spesial buat Om.”
”Mantap! Thank you. You know me so well,” katanya berkelakar.
”Om gaul juga ternyata.” Om Dave terbahak-bahak.
”Gara-gara anakku lah. Cuma dia yang tahu lagu-lagu terbaru. Aku kan sudah tua.”
Kalau kuperhatikan memang Om Dave tampak menua sekarang. Beberapa kerut di wajahnya mulai tampak. Aku jadi ingat Papa. Apa kabar ya Papa sekarang? Aku lebih banyak berkomunikasi dengan Mama dan berasumsi kalau Papa sehat-sehat saja. Dari dulu memang aku tak begitu dekat dengan Papa, hanya pada saat-saat tertentu saja Papa dan aku ngobrol. Selama ini kami tak pernah beradu argumen, hal itu sudah dimonopoli Mama.
”So, are you ready for your first shooting?” tanya Om Dave.
”Siap, Om!”
Kepergianku ke Sukabumi kemarin memang untuk mencari tempat sebagai shooting perdana acara jalan-jalan stasiun TV kami yang baru. Dua hari aku di sana dan melihat sebuah danau yang indah di Lido. Menurut penduduk lokal, tempat itu sering didatangi para peminat olahraga ekstrem sky diving alias terjun bebas. Aku bergidik mendengarnya. Apa mereka berniat bunuh diri? Dan kata penuduk tersebut, minggu depan akan ada yang datang lagi dari stasiun TV lain yang akan merekam kegiatan ekstrem mereka. Aku harus lihat dan siapa tahu bisa mengambil sedikit buat tambahan promosi acaraku.
”Shilla akan berangkat minggu depan, Om.”
”Good. Siapa yang akan menjadi host acara itu?”
”Namanya Zevana Cakrabuana. Dia kandidat paling kuat. Om tau, kan?”
Om Dave tampak berpikir mengingat-ingat nama yang kusebutkan.
”Itu lho, Om, pemain sinetron. Belakangan ini dia memang mulai jarang muncul di layar kaca. Tapi, kepribadiannya super, energik, dan sangat camera face. Plus, dia bilang masih bisa nego soal honor. Jadi, overall, oke banget.”
”Oke, Om percaya dengan pilihanmu. Namanya juga sudah match dengan acaranya. Cakrabuana. Bagus! Bagus!” Om Dave mengangguk-angguk setuju.
***
Persiapan sudah sembilan puluh persen, naskah sudah siap dan Zeva pun sudah diberi pengarahan. Gadis ini cukup cerdas dan mampu mengembangkan sendiri dialognya tanpa keluar dari naskah aslinya. Kami pun berangkat ke Sukabumi pada hari yang telah ditentukan dengan membawa dua bus dan satu mobil kecil. Aku sebagai produser acara tentu saja harus ikut mendampingi di pengambilan gambar pertama ini. Perjalanan agak sedikit terhambat karena di beberapa tempat terjadi macet yang luar biasa dan kami sampai di Lido menjelang malam.
Sesampainya kami di hotel, rupanya sudah ada rombongan lain dan menurut resepsionis, jumlah kamar yang dipesan juga hampir sama dengan jumlah kamar yang rombongan kami pesan.
”Sepertinya mereka teh rombongan tipi juga sama itu... orang-orang yang suka ski diping,” katanya dengan logat Sunda yang kental.
”Oh...” Aku mengangguk-angguk. ”Dari stasiun TV mana? Tau nggak?” tanyaku penasaran. ”Dari Jakarta juga?” Resepsionis itu mengecek buku catatannya.
”Bukan, mereka teh dari Bandung. Cukup terkenal ini di Bandung, namina tipi KBS.”
Dengan sepotong informasi itu, kami berjalan menuju kamar masing-masing.
Pukul sepuluh malam, mataku masih juga tak bisa terpejam. Kuputuskan untuk keluar kamar, menuju restoran untuk menghirup wedang jahe hangat. Ternyata aku tak sendiri, seseorang sudah duduk di restoran itu dan menikmati secangkir minuman yang asapnya masih mengepul. Orang itu duduk menghadap jendela menatap panorama di malam hari yang indah dengan langit bening bertabur bintang. Tampak dari belakang, orang itu berambut lumayan pendek. Mungkin dia bisa jadi teman ngobrolku malam ini sambil membunuh waktu.
Begitu aku berjalan mendekatinya, perempuan itu mengangkat wajahnya dan menatapku dari pantulan jendela. Sesaat aku seperti dihipnotis; berhenti berlajan dan balas menatapnya. Wajah itu seperti wajah yang kukenal, tapi siapa? Perlahan perempuan itu menoleh.
”Angel?” tanyaku dengan nada tak percaya.
”Shilla,” katanya sambil mengangguk formal, sebelah tangannya mempersilakanku duduk di sampingnya. Aku mengenyahkan perasaan tak nyamanku dan duduk di kursi persis di samping Angel.
”Tidak bisa tidur?” tanyanya pendek. Nadanya datar seperti tanpa tanda apa-apa. Aku pun mulai rileks.
”Ya. Kau juga?” tanyaku basa-basi. Angel hanya mengangkat bahunya.
”Bagaimana kabarmu, Njel?” Angel tersenyum mendengar pertanyaanku seolah aku mencibirnya.
”Baik. Aku masih hidup. Kau bisa sampaikan pada om-mu.”
Aku terdiam.
”Kalau kau mau tau,” sambungnya. ”Aku sekarang bekerja di stasiun TV juga, jadi sekadar informasi saja kalau di dunia ini stasun TV bukan milik om-mu saja.”
Aku menggelengkan kepala tak memercayai apa yang kudengar. Angel–tak berubah juga rupanya. Dari dulu hingga sekarang kata-kata sinis selalu keluar dari mulutnya. Kutahan diriku agar tak terpancing.
”Baguslah kalau begitu,” jawabku tenang. ”Stasiun TV mana tampatmu bekerja sekarang?”
”KBS.” Aku menoleh ke arahnya.
”Di...”
”Ya, di Bandung.” Oh, rupanya kru-kru Angel yang sedang menginap di sini. Mereka meliput program apa ya? Diriku tergelitik penasara, tapi lagi-lagi kutahan diriku agar tak tampak bodoh.
”Kau sendiri, sedang apa di sini? Meliput?” tanyanya. Sejenak aku ragu.
”Kalau kau pikir aku akan mencuri idemu, you're wrong. Tapi kalo pun nggak mau jawab, fine.” Aku memilih diam dan Angel tak meneruskan pertanyaannya.
”Aku mau tanya sesuatu, Angel, kau boleh menjawab, boleh juga tidak.” Aku sudah lama penasaran dan kurasa inilah saat yang tepat untuk mendapatkan jawabannya. ”Kenapa kau sepertinya membenciku setengah mati?” I know it sounds stupid and whining, but I gotta know.
Angel tertawa pelan. ”Menurutmu aku membencimu, begitu?”
”Sepertinya begitu.” Aku tak perlu membeberkan semua yang telah dia lakukan padaku sewaktu aku menjadi anak buahnya, aku yakin dia masih ingat.
”Sebenarnya aku tidak membencimu, Shilla. Aku membenci keberuntunganmu.” Apa? Apa aku nggak salah dengar? Keberuntunganku dalam hal apa? Bukannnya aku sial terus? Apalagi kalau ada awan stratus yang gelap di langit, bisa dipastikan hariku tak akan menjadi lebih baik. Kadang kurasa mood-ku dipengaruhi juga oleh bentukan awan.
”Kau begitu lugu, begitu bodoh...” Aku menoleh hendak protes. ”Saat itu...” Angel buru-buru menambahkan. ”C'mon admit it, you're just fresh graduate and you expect to beat me? Wake up, girl!”
Ya, ya, terserah, yang penting sekarang aku kan sudah berhasil dan tidak bodoh lagi.
”Tapi dengan keberuntungan, kau bisa melambung naik dan before I knew it, namamu mulai terkenal sebagai reporter cute dengan topi rajut yang unik.” Angel mengatakan kalimat terakhir dengan gara mencibir. Sungguh mati aku pengin menamparnya. So what kalau aku pakai topi rajut? Apa itu mengganggu laporanku? Eh, tapi tunggu dulu, reporter cute? Did she actually say 'cute'? Aku melirik ke arahnya. Ah.. kumaafkan deh kata-kata Angel yang kasar sebelumnya. Aku baru tahu kalau aku terkenal. Kenapa dulu Angel tak memberitahuku ya?
”Dan aku iri dengan kemudahan yang kau dapatkan dengan fasilitas dari Om-mu itu,” sambungnya. Oh, that's why. Aku mengerti sekarang.
”Sekarang apa jabatanmu? Apa kau duduk di kursiku sekarang, seperti cita-citamu dulu?”
”Hey? Dari mana...” Ups!
Angel tertawa. ”Aku tau, Shilla, I know everything.”
”Aku produser acara sekarang.”
”Ow, tentu saja! Mana mungkin dengan memiliki Om seperti itu kau tetap jadi reporter, ya kan? Tapi aku sedikit heran, kenapa kau tidak duduk menggantikanku? Apa kau tidak sepintar yang orang bilang?”
Ihh... Angel dan mulut besarnya itu!
”Aku produser acara 'Berkoar Bersama Komar' kalau kau belum tau.”
”Ya, ya, aku tau. Baguslah.” Dia pun bangkit dari duduknya untuk kembali ke kamarnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun dan meninggalkan minumannya dingin tak tersentuh. I guess Angel will always be Angel.
***
Rombonganku berangkat pagi-pagi sekali karena kami akan mengejar matahari terbit yang konon akan terlihat sangat indah di pagi hari dekat danau tempat kami akan shooting. Zeva sudah siap dengan make yp dan kameramen serta kru yang lain pun sudah menunggu di bus saat aku datang. Sebelum mobil kami berangkat, kulihat kendaraan dari KBS masih parkir dan belum berangkat. 'Kalau kesiangan, rezeki dipatuk ayam.' Dulu Mama sering berpesan padaku demikian. Maka dengan hati-hati aku dan kru berangkat menuju lokasi.
Semburat sinar oranye muncul di ufuk timur, menandakan matahari akan segera muncul. Awan-awan sirus yang tampak seperti kapas putih memantulkan sinar oranye dari matahari dan efek yang dihasilkan sungguh luar biasa. Guratan-guratan warna oranye dan biru gradasi seolah permainan sinar laser di langit. Benar-benar memesona. Kuminta kameramen merekam proses tersebut, untuk nanti dijahitkan pada rekaman hari ini. Setelah matahari bersinar dengan sempurna, kami mulai mengambil gambar Zeva yang sedang menjelaskan tempat dan keindahan alam di Sukabumi ini.
Selama empat jam kamudi sini menelusuri keindahan Lido dan sekitarnya. Akhirnya, menjelang siang pengambilan gambar pun selesai. Aku mengajak kru untuk kembali ke hotel. Saat kami sedang bersiap-siap, di kejauhan kudengar suara-suara. Penasaran, segera aku mengambil tempat yang agak tinggi untuk melihat asal suara itu.
Nun jauh di sana, kulihat bus rombongan TV KBS membongkar muatan dan beberapa orang bersiap untuk masuk ke dalam pesawat kecil dengan berpakaian lengkap. Kurasa mereka adalah para pecinta olahraga ekstrem itu, tapi kenapa ada Angel ya? Dari sini aku bisa mengenali sosok Angel yang menggunakan celana panjang dan kaus berwarna putih. Angel shooting apa di sana ya?
Tak lama mobil kami siap berangkat. Separuh perjalanan menuju hotel, mesin pesawat terdengar dari kejauhan dan orang-orang tersebut naik.
”Itu mereka lagi shooting acara live.” Seorang kru tiba-tiba angkat bicara.
”Oh ya? Kamu tau dari mana?” tanyaku.
”Kan tadi malam kami main kartu sama-sama,” jawabnya sambil nyengir.
”Acaranya live?”
”Iya, kalau nanti kita sampai hotel, mungkin masih ada.”
Sebelum mobil berhenti sempurna, aku langsung membuka pintu dan setengah berlari menuju kamar. Aku benar-benar penasaran, Angel jadi apa di stasiun TV itu? Apakah dia jadi reporter sekarang? Seperti aku dulu. Ha-ha! Aku rasanya ingin tertawa jika hal itu benar adanya. Kunyalakan TV dan mencari channel KBS di daftar stasiun TV yang ada di atas meja. Setelah kutemukan, benar saja, wajah Angel yang sedang melaporkan dari atas langit.
”Wah, berani juga dia ikut terbang!” seruku pada diri sendiri. Gambar beralih ke para profesional sky divers. Mereka sedang membentuk formasi lingkaran, kemudian segilima dan beberapa formasi lainnya.
”Cool!”
Saat hanya beberapa ratus meter saja dari tanah, mereka membuka parasut masing-masing dan mendarat dengan mulus. Angel–yang entah bagaimana caranya sudah turun ke bawah juga–menghampiri mereka untuk wawancara. Satu per satu wajah para sky divers itu disorot oleh kamera. Ketika sampai pada orang terakhir, kamera hanya menyorot sebentar karena pimpinan kelompok olahraga ekstrem itu sudah mulai bicara. Tapi yang sebentar itu sudah cukup membuatku tercekat. Wajah itu... wajah itu...
”Seperti Cakka,” bisikku. ”Tapi apa mungkin?”
Kutatap layar televisi sambil berdoa dalam hati agar kamera disorotkan kembali kepada para sky divers itu, dan ketika akhirnya sebelum selesai wawancara, Tuhan mengabulkan doaku. Kameramen kembali menyorot wajah mereka satu per satu. Sky diver yang berdiri di paling ujung sedang menunduk sibuk membuka ikatan di pinggangnya. Tapi rambut itu, posturnya, cara berdirinya, aku sangat kenal. Nggak salah lagi! Itu Cakka! Meskipun hanya sekelebat, aku yakin itu Cakka. Cakka-ku! Aku menyambar tas tanganku dan berlari ke resepsionis.
”Mbak, eh, Teh, tolong saya, apa ada tukang ojek dekat sini?”
”Aya. Mau dipanggilkan?”
”Mau. Yang bisa ngebut. Sekarang ya.”
Resepsionis menelepon seseorang dan aku diminta menunggu sebentar. Aku berjalan mondar-mandir membuat resepsionis itu gelisah dan tak enak hati. Duh! Mana sih ojeknya? Aku nggak bisa menunggu terlalu lama, aku harus segera ke lokasi itu!
”Bu, ojeknya sudah menunggu di depan, silakan.”
”Makasih ya.”
Aku langsung berlari ke luar. Seorang tukang ojek sudah menungguku.
”Mang, tarik! Ke lokasi terjun bebas. Kebut ya.”
”Siap!” Benar saja, tanpa ba-bi-bu, motor mencelat maju dan aku pun sampai di lokasi dalam waktu kurang dari lima belas menit. Kru Angel masih ada di sana sedang merapikan kamera dan perlengkapan shooting, tapi di mana para profesional sky divers-nya? Aku celingukan ke kanan dan kiri.
”Hey. Sedang apa di sini?”
”Oh, aku... cari seseorang.” Angel mengangkat sebelah alisnya dan memasang tampang mengejek.
”Oh ya? Siapa?”
”Sky divers tadi, mereka ke mana?”
”Tuh!” Angel menunjuk dengan dagunya ke arah mobil yang sudah pergi meninggalkan lokasi. Aku hanya sempat menyuruh tukang ojek mengejar sih bisa-bisa saja, tapi aku mulai tak yakin dengan apa yang aku lihat tadi di televisi. Bisa saja itu bukan Cakka.
”Njel, mereka sky divers dari mana?” tanyaku.
”Kenapa? You wanna hire them? No can do, Sister! Mereka sudah aku kontrak untuk 16 episode. Dan kontraknya baru habis tahun depan! Lagi pula, cari dong acara yang baru, jangan menjiplak!”
”Nggak, aku nggak mau hire mereka kok, aku cuma mau tau mereka bas camp-nya di mana?”
”Bandung.”
”Mereka kelompok? Nama kelompoknya apa?”
”Find out for yourself! I'm not your answering machine!” Angel berbalik dan masuk ke bus mereka, meninggalkanku terpaku sendiri.
Apa benar tadi itu Cakka? Mungkinkah aku salah lihat?
”Selamat pagi, Rio. Apa kabar hari ini?” Rio sedikit terkejut kutanyakan kabarnya.
”Eh ba..baik, Bu, terima kasih.”
”Oke, have a nice day.” Aku melangkah masuk ke lift. Pagi ini mood-ku memang sedang baik. Rapat dengan Pak Duta minggu lalu, dan sekarang aku menuju kantor Om Dave. Sudah lama aku tak mengunjungi beliau. Aku juga tak sempat berkunjung ke rumahnya, membuatku sedikit merasa bersalah juga karena tanteku sudah sering menanyakan kapan aku akan datang ke rumah mereka.
-
Nanti kumasakkan makanan kesukaanmu, Shil.
Kau datanglah.
-
Begitu SMS dari Om Dave yang beberapa kali kuterima. Aku hanya mengiyakan dan berjanji jika ada waktu kosong aku akan datang mengunjunginya. Namun, sampai sekarang aku belum juga sempat. Kira-kira Tante marah tidak ya? Aku akan cari tahu lewat Om Dave.
”Halo, Om, good morning,” sapaku setelah mengetuk pintu kantornya.
”Shilla..! Alamak! Sibuk kali kau rupanya sampai-sampai tak sempat mengunjungi Om-mu ini.”
”Maad, Om, tapi kan Om tau sendiri gimana hectic-nya kerjaan Shilla sekarang.”
”Iyalah, mengertilah aku. Bawa apa kau?”
”Ini, mainan untuk sepupuku tersayang di rumah. Dan oleh-oleh dari Sukabumi untuk Tante.” Kuserahkan tas plastik yang kutenteng.
”Bah! Untukku tak kau belikan apa-apa?”
”Tenang, Om, Shilla kan tahu Om paling suka rengginang terasi. Nih, Shilla bawakan spesial buat Om.”
”Mantap! Thank you. You know me so well,” katanya berkelakar.
”Om gaul juga ternyata.” Om Dave terbahak-bahak.
”Gara-gara anakku lah. Cuma dia yang tahu lagu-lagu terbaru. Aku kan sudah tua.”
Kalau kuperhatikan memang Om Dave tampak menua sekarang. Beberapa kerut di wajahnya mulai tampak. Aku jadi ingat Papa. Apa kabar ya Papa sekarang? Aku lebih banyak berkomunikasi dengan Mama dan berasumsi kalau Papa sehat-sehat saja. Dari dulu memang aku tak begitu dekat dengan Papa, hanya pada saat-saat tertentu saja Papa dan aku ngobrol. Selama ini kami tak pernah beradu argumen, hal itu sudah dimonopoli Mama.
”So, are you ready for your first shooting?” tanya Om Dave.
”Siap, Om!”
Kepergianku ke Sukabumi kemarin memang untuk mencari tempat sebagai shooting perdana acara jalan-jalan stasiun TV kami yang baru. Dua hari aku di sana dan melihat sebuah danau yang indah di Lido. Menurut penduduk lokal, tempat itu sering didatangi para peminat olahraga ekstrem sky diving alias terjun bebas. Aku bergidik mendengarnya. Apa mereka berniat bunuh diri? Dan kata penuduk tersebut, minggu depan akan ada yang datang lagi dari stasiun TV lain yang akan merekam kegiatan ekstrem mereka. Aku harus lihat dan siapa tahu bisa mengambil sedikit buat tambahan promosi acaraku.
”Shilla akan berangkat minggu depan, Om.”
”Good. Siapa yang akan menjadi host acara itu?”
”Namanya Zevana Cakrabuana. Dia kandidat paling kuat. Om tau, kan?”
Om Dave tampak berpikir mengingat-ingat nama yang kusebutkan.
”Itu lho, Om, pemain sinetron. Belakangan ini dia memang mulai jarang muncul di layar kaca. Tapi, kepribadiannya super, energik, dan sangat camera face. Plus, dia bilang masih bisa nego soal honor. Jadi, overall, oke banget.”
”Oke, Om percaya dengan pilihanmu. Namanya juga sudah match dengan acaranya. Cakrabuana. Bagus! Bagus!” Om Dave mengangguk-angguk setuju.
***
Persiapan sudah sembilan puluh persen, naskah sudah siap dan Zeva pun sudah diberi pengarahan. Gadis ini cukup cerdas dan mampu mengembangkan sendiri dialognya tanpa keluar dari naskah aslinya. Kami pun berangkat ke Sukabumi pada hari yang telah ditentukan dengan membawa dua bus dan satu mobil kecil. Aku sebagai produser acara tentu saja harus ikut mendampingi di pengambilan gambar pertama ini. Perjalanan agak sedikit terhambat karena di beberapa tempat terjadi macet yang luar biasa dan kami sampai di Lido menjelang malam.
Sesampainya kami di hotel, rupanya sudah ada rombongan lain dan menurut resepsionis, jumlah kamar yang dipesan juga hampir sama dengan jumlah kamar yang rombongan kami pesan.
”Sepertinya mereka teh rombongan tipi juga sama itu... orang-orang yang suka ski diping,” katanya dengan logat Sunda yang kental.
”Oh...” Aku mengangguk-angguk. ”Dari stasiun TV mana? Tau nggak?” tanyaku penasaran. ”Dari Jakarta juga?” Resepsionis itu mengecek buku catatannya.
”Bukan, mereka teh dari Bandung. Cukup terkenal ini di Bandung, namina tipi KBS.”
Dengan sepotong informasi itu, kami berjalan menuju kamar masing-masing.
Pukul sepuluh malam, mataku masih juga tak bisa terpejam. Kuputuskan untuk keluar kamar, menuju restoran untuk menghirup wedang jahe hangat. Ternyata aku tak sendiri, seseorang sudah duduk di restoran itu dan menikmati secangkir minuman yang asapnya masih mengepul. Orang itu duduk menghadap jendela menatap panorama di malam hari yang indah dengan langit bening bertabur bintang. Tampak dari belakang, orang itu berambut lumayan pendek. Mungkin dia bisa jadi teman ngobrolku malam ini sambil membunuh waktu.
Begitu aku berjalan mendekatinya, perempuan itu mengangkat wajahnya dan menatapku dari pantulan jendela. Sesaat aku seperti dihipnotis; berhenti berlajan dan balas menatapnya. Wajah itu seperti wajah yang kukenal, tapi siapa? Perlahan perempuan itu menoleh.
”Angel?” tanyaku dengan nada tak percaya.
”Shilla,” katanya sambil mengangguk formal, sebelah tangannya mempersilakanku duduk di sampingnya. Aku mengenyahkan perasaan tak nyamanku dan duduk di kursi persis di samping Angel.
”Tidak bisa tidur?” tanyanya pendek. Nadanya datar seperti tanpa tanda apa-apa. Aku pun mulai rileks.
”Ya. Kau juga?” tanyaku basa-basi. Angel hanya mengangkat bahunya.
”Bagaimana kabarmu, Njel?” Angel tersenyum mendengar pertanyaanku seolah aku mencibirnya.
”Baik. Aku masih hidup. Kau bisa sampaikan pada om-mu.”
Aku terdiam.
”Kalau kau mau tau,” sambungnya. ”Aku sekarang bekerja di stasiun TV juga, jadi sekadar informasi saja kalau di dunia ini stasun TV bukan milik om-mu saja.”
Aku menggelengkan kepala tak memercayai apa yang kudengar. Angel–tak berubah juga rupanya. Dari dulu hingga sekarang kata-kata sinis selalu keluar dari mulutnya. Kutahan diriku agar tak terpancing.
”Baguslah kalau begitu,” jawabku tenang. ”Stasiun TV mana tampatmu bekerja sekarang?”
”KBS.” Aku menoleh ke arahnya.
”Di...”
”Ya, di Bandung.” Oh, rupanya kru-kru Angel yang sedang menginap di sini. Mereka meliput program apa ya? Diriku tergelitik penasara, tapi lagi-lagi kutahan diriku agar tak tampak bodoh.
”Kau sendiri, sedang apa di sini? Meliput?” tanyanya. Sejenak aku ragu.
”Kalau kau pikir aku akan mencuri idemu, you're wrong. Tapi kalo pun nggak mau jawab, fine.” Aku memilih diam dan Angel tak meneruskan pertanyaannya.
”Aku mau tanya sesuatu, Angel, kau boleh menjawab, boleh juga tidak.” Aku sudah lama penasaran dan kurasa inilah saat yang tepat untuk mendapatkan jawabannya. ”Kenapa kau sepertinya membenciku setengah mati?” I know it sounds stupid and whining, but I gotta know.
Angel tertawa pelan. ”Menurutmu aku membencimu, begitu?”
”Sepertinya begitu.” Aku tak perlu membeberkan semua yang telah dia lakukan padaku sewaktu aku menjadi anak buahnya, aku yakin dia masih ingat.
”Sebenarnya aku tidak membencimu, Shilla. Aku membenci keberuntunganmu.” Apa? Apa aku nggak salah dengar? Keberuntunganku dalam hal apa? Bukannnya aku sial terus? Apalagi kalau ada awan stratus yang gelap di langit, bisa dipastikan hariku tak akan menjadi lebih baik. Kadang kurasa mood-ku dipengaruhi juga oleh bentukan awan.
”Kau begitu lugu, begitu bodoh...” Aku menoleh hendak protes. ”Saat itu...” Angel buru-buru menambahkan. ”C'mon admit it, you're just fresh graduate and you expect to beat me? Wake up, girl!”
Ya, ya, terserah, yang penting sekarang aku kan sudah berhasil dan tidak bodoh lagi.
”Tapi dengan keberuntungan, kau bisa melambung naik dan before I knew it, namamu mulai terkenal sebagai reporter cute dengan topi rajut yang unik.” Angel mengatakan kalimat terakhir dengan gara mencibir. Sungguh mati aku pengin menamparnya. So what kalau aku pakai topi rajut? Apa itu mengganggu laporanku? Eh, tapi tunggu dulu, reporter cute? Did she actually say 'cute'? Aku melirik ke arahnya. Ah.. kumaafkan deh kata-kata Angel yang kasar sebelumnya. Aku baru tahu kalau aku terkenal. Kenapa dulu Angel tak memberitahuku ya?
”Dan aku iri dengan kemudahan yang kau dapatkan dengan fasilitas dari Om-mu itu,” sambungnya. Oh, that's why. Aku mengerti sekarang.
”Sekarang apa jabatanmu? Apa kau duduk di kursiku sekarang, seperti cita-citamu dulu?”
”Hey? Dari mana...” Ups!
Angel tertawa. ”Aku tau, Shilla, I know everything.”
”Aku produser acara sekarang.”
”Ow, tentu saja! Mana mungkin dengan memiliki Om seperti itu kau tetap jadi reporter, ya kan? Tapi aku sedikit heran, kenapa kau tidak duduk menggantikanku? Apa kau tidak sepintar yang orang bilang?”
Ihh... Angel dan mulut besarnya itu!
”Aku produser acara 'Berkoar Bersama Komar' kalau kau belum tau.”
”Ya, ya, aku tau. Baguslah.” Dia pun bangkit dari duduknya untuk kembali ke kamarnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun dan meninggalkan minumannya dingin tak tersentuh. I guess Angel will always be Angel.
***
Rombonganku berangkat pagi-pagi sekali karena kami akan mengejar matahari terbit yang konon akan terlihat sangat indah di pagi hari dekat danau tempat kami akan shooting. Zeva sudah siap dengan make yp dan kameramen serta kru yang lain pun sudah menunggu di bus saat aku datang. Sebelum mobil kami berangkat, kulihat kendaraan dari KBS masih parkir dan belum berangkat. 'Kalau kesiangan, rezeki dipatuk ayam.' Dulu Mama sering berpesan padaku demikian. Maka dengan hati-hati aku dan kru berangkat menuju lokasi.
Semburat sinar oranye muncul di ufuk timur, menandakan matahari akan segera muncul. Awan-awan sirus yang tampak seperti kapas putih memantulkan sinar oranye dari matahari dan efek yang dihasilkan sungguh luar biasa. Guratan-guratan warna oranye dan biru gradasi seolah permainan sinar laser di langit. Benar-benar memesona. Kuminta kameramen merekam proses tersebut, untuk nanti dijahitkan pada rekaman hari ini. Setelah matahari bersinar dengan sempurna, kami mulai mengambil gambar Zeva yang sedang menjelaskan tempat dan keindahan alam di Sukabumi ini.
Selama empat jam kamudi sini menelusuri keindahan Lido dan sekitarnya. Akhirnya, menjelang siang pengambilan gambar pun selesai. Aku mengajak kru untuk kembali ke hotel. Saat kami sedang bersiap-siap, di kejauhan kudengar suara-suara. Penasaran, segera aku mengambil tempat yang agak tinggi untuk melihat asal suara itu.
Nun jauh di sana, kulihat bus rombongan TV KBS membongkar muatan dan beberapa orang bersiap untuk masuk ke dalam pesawat kecil dengan berpakaian lengkap. Kurasa mereka adalah para pecinta olahraga ekstrem itu, tapi kenapa ada Angel ya? Dari sini aku bisa mengenali sosok Angel yang menggunakan celana panjang dan kaus berwarna putih. Angel shooting apa di sana ya?
Tak lama mobil kami siap berangkat. Separuh perjalanan menuju hotel, mesin pesawat terdengar dari kejauhan dan orang-orang tersebut naik.
”Itu mereka lagi shooting acara live.” Seorang kru tiba-tiba angkat bicara.
”Oh ya? Kamu tau dari mana?” tanyaku.
”Kan tadi malam kami main kartu sama-sama,” jawabnya sambil nyengir.
”Acaranya live?”
”Iya, kalau nanti kita sampai hotel, mungkin masih ada.”
Sebelum mobil berhenti sempurna, aku langsung membuka pintu dan setengah berlari menuju kamar. Aku benar-benar penasaran, Angel jadi apa di stasiun TV itu? Apakah dia jadi reporter sekarang? Seperti aku dulu. Ha-ha! Aku rasanya ingin tertawa jika hal itu benar adanya. Kunyalakan TV dan mencari channel KBS di daftar stasiun TV yang ada di atas meja. Setelah kutemukan, benar saja, wajah Angel yang sedang melaporkan dari atas langit.
”Wah, berani juga dia ikut terbang!” seruku pada diri sendiri. Gambar beralih ke para profesional sky divers. Mereka sedang membentuk formasi lingkaran, kemudian segilima dan beberapa formasi lainnya.
”Cool!”
Saat hanya beberapa ratus meter saja dari tanah, mereka membuka parasut masing-masing dan mendarat dengan mulus. Angel–yang entah bagaimana caranya sudah turun ke bawah juga–menghampiri mereka untuk wawancara. Satu per satu wajah para sky divers itu disorot oleh kamera. Ketika sampai pada orang terakhir, kamera hanya menyorot sebentar karena pimpinan kelompok olahraga ekstrem itu sudah mulai bicara. Tapi yang sebentar itu sudah cukup membuatku tercekat. Wajah itu... wajah itu...
”Seperti Cakka,” bisikku. ”Tapi apa mungkin?”
Kutatap layar televisi sambil berdoa dalam hati agar kamera disorotkan kembali kepada para sky divers itu, dan ketika akhirnya sebelum selesai wawancara, Tuhan mengabulkan doaku. Kameramen kembali menyorot wajah mereka satu per satu. Sky diver yang berdiri di paling ujung sedang menunduk sibuk membuka ikatan di pinggangnya. Tapi rambut itu, posturnya, cara berdirinya, aku sangat kenal. Nggak salah lagi! Itu Cakka! Meskipun hanya sekelebat, aku yakin itu Cakka. Cakka-ku! Aku menyambar tas tanganku dan berlari ke resepsionis.
”Mbak, eh, Teh, tolong saya, apa ada tukang ojek dekat sini?”
”Aya. Mau dipanggilkan?”
”Mau. Yang bisa ngebut. Sekarang ya.”
Resepsionis menelepon seseorang dan aku diminta menunggu sebentar. Aku berjalan mondar-mandir membuat resepsionis itu gelisah dan tak enak hati. Duh! Mana sih ojeknya? Aku nggak bisa menunggu terlalu lama, aku harus segera ke lokasi itu!
”Bu, ojeknya sudah menunggu di depan, silakan.”
”Makasih ya.”
Aku langsung berlari ke luar. Seorang tukang ojek sudah menungguku.
”Mang, tarik! Ke lokasi terjun bebas. Kebut ya.”
”Siap!” Benar saja, tanpa ba-bi-bu, motor mencelat maju dan aku pun sampai di lokasi dalam waktu kurang dari lima belas menit. Kru Angel masih ada di sana sedang merapikan kamera dan perlengkapan shooting, tapi di mana para profesional sky divers-nya? Aku celingukan ke kanan dan kiri.
”Hey. Sedang apa di sini?”
”Oh, aku... cari seseorang.” Angel mengangkat sebelah alisnya dan memasang tampang mengejek.
”Oh ya? Siapa?”
”Sky divers tadi, mereka ke mana?”
”Tuh!” Angel menunjuk dengan dagunya ke arah mobil yang sudah pergi meninggalkan lokasi. Aku hanya sempat menyuruh tukang ojek mengejar sih bisa-bisa saja, tapi aku mulai tak yakin dengan apa yang aku lihat tadi di televisi. Bisa saja itu bukan Cakka.
”Njel, mereka sky divers dari mana?” tanyaku.
”Kenapa? You wanna hire them? No can do, Sister! Mereka sudah aku kontrak untuk 16 episode. Dan kontraknya baru habis tahun depan! Lagi pula, cari dong acara yang baru, jangan menjiplak!”
”Nggak, aku nggak mau hire mereka kok, aku cuma mau tau mereka bas camp-nya di mana?”
”Bandung.”
”Mereka kelompok? Nama kelompoknya apa?”
”Find out for yourself! I'm not your answering machine!” Angel berbalik dan masuk ke bus mereka, meninggalkanku terpaku sendiri.
Apa benar tadi itu Cakka? Mungkinkah aku salah lihat?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar