Sabtu, 25 Mei 2013
In:
KAU
KAU *part 7
GABRIEL datang tepat waktu dan Mama langsung menyambutnya
dengan hangat layaknya seorang menantu dari negeri seberang. Boleh juga
penampilan Gabriel hari ini, jauh dari penampilan kesehariannya yang
asal-asalan. Kemeja lengan panjang bermotif garis-garis halus yang digulung
setengah lengan dan celana bahan berwarna hitam serta sepatu hitam mengilat
yang sepertinya baru disemir.
”Halo Mama, saya Gabriel.” Waduh, sok akrab betul memanggil Mama segala. Pake cium tangan pula, lagi! Aku menahan senyum melihat kelakuan Gabriel.
”Gabriel, apa kabar Nak? Sibuk kerja terus ya? Sampai nggak sempat nengok Shilla waktu sakit.” Gabriel sekejap salah tingkah tapi langsung menguasai diri.
”Iya, Mam, ini aja baru pulang tadi malam dari Papua.” Oke, terlalu lebay. ”Jadi belum sempat menjenguk. Tapi waktu di Ambon saya nungguin Shilla selama dia dirawat di rumah sakit.” Memang benar sih, Gabriel dan kru lain setia menunggu aku selama di rumah sakit. Tapi yang lebih sering kulihat setiap kali terjaga justru Cakka. Hmmpf, Gabriel kayaknya lebih sering nongkrong di warung sebelah rumah sakit, deh. Mama terlihat terkesan. Bincang-bincang dilanjutkan dalam mobil menuju bandara. Dari mana Gabriel dapat pinjaman mobil? Hebat juga dia bisa bawa Mercy mulus begini.
Di bandara, Gabriel bersikap sangat gentleman dan mengurus semua keperluan Mama mulai dari check in tiket, timbang barang, hingga boarding. Setelah dua jam tersiksa karena harus berbohong dan berbohong, ditambah lagi perasaan bersalah yang mulai merayapi perasaanku, akhirnya Mama naik ke pesawat dan kembali ke Surabaya.
”Fhuih! Akhirnya selesai juga. Thanks ya, Yel.”
”Nyokap lo asik juga.”
”Ya gimana anaknya, sih.”
”Kepedean! Inget tuh janji lo.”
”Beres. Eh dapat pinjaman mobil dari mana?”
”Sewa lah!” Banyak duit juga dia! ”Ngabisin sebulan gaji gue nih!” Ops..!
”Nanti juga diganti dengan gaji baru,” sahutku menenangkannya.
”Gue tagih janji lo.” Anything, Yel! Secara elo udah nyelamatin gue dari perjodohan nggak jelas, gue akan berusaha mati-matian bantuin elo, janjiku dalam hati.
***
”Shilla,” Angel menatapku dari seberang meja kerjanya. Sudah sebulan sejak bencana di Ambon dan aku belum mendapatkan tugas keluar lagi. Aku diberi pekerjaan menyusun berita dan mengedit laporan reporter lain. Sungguh membosankan. Hari ini aku menghadap Angel dan meminta ditugaskan keluar lagi. Seperti janjiku, aku bersikap baik ke singa betina itu meskipun dia tetap menyebalkan seperti biasa. Oh, well.. kurasa kalau sudah mendarah daging, sikap buruk susah diubah.
Dan kini aku duduk di ruangannya menunggu keputusan setelah menyodorkan berita bencana alam di Sumatera Barat. Aku minta dikirim ke sana untuk meliput daerah yang telah terkena musibah berkali-kali tersebut. Selama libur meliput, aku selalu mendapat update dari Gabriel mengenai kegiatan kru NTS saat meliput ke daerah bencana.
Awalnya aku bersikap sok cuek saja, tak terlalu menanggapi cerita Gabriel. Tapi begitu dia menyebut nama Cakka, aku langsung memanjangkan telinga dan mulai menanggapi cerita-ceritanya. Gabriel pun mengerti gelagatku itu, dan sejak itu cerita-cerita banyak berkisah seputar Cakka. Bagaimana dia banyak membantu Gabriel di lapangan, bagaimana dia menolak ketika Gabriel hendak merekamnya saat tugas, dan lain sebagainya. Aku jadi berdebar kalau ingat akan bertemu lagi dengannya. Dan karena alasan itulah, aku sekarang meminta Angel untuk mengirimku lagi untuk meliput.
”Saya mendapat perintah untuk tidak mengirim kamu keluar kota, apalagi kota Padang yang sekarang masih sering mengalami gempa susulan. Kamu meliput di dalam kota saja.”
Mendapat perintah? ”Om Dave yang bilang begitu?” Angel hanya diam. Aku tau, pasti Om Dave yang memberinya perintah. Aku bangkit berdiri dan menemui omku di ruangannya.
”Kondisi kamu sedang tidak memungkinkan, Shilla. Kau di kantor saja lah.” Omku menjelaskan alasannya memerintahkan Angel untuk tidak mengirimku meliput ke luar kota.
”Om, Shilla kan udah ikut pelatihan. Masa sih nggak dimanfaatin ilmunya?”
”Itu bukan sekadar meliput bencana alam. Lagi pula, sudah ada reporter yang akan dikirim dari NTS. Om tak mau kau kenapa-napa di sana.”
”Tapi Om, Shilla ingin meliput. Dan ini kesempatan besar Shilla untuk karier jurnalistik.
”Dan lagi, kontrak kita sama Eaglestrike Air masih ada?” Om Dave diam mendengarku mengungkapkan fakta ini. Jangan dia sangka aku nggak tau semua itu.
”Pokoknya Shilla yang berangkat, Om!”
”Shilla, aku nggak mau terkena masalah dengan Mamak kau.” Om Dave mencoba taktik lain.
”Om, please...” Dan keputusanku final. Aku bahkan tak peduli lagi kalau di langit ada awan berbentuk kepala naga. Pokoknya aku harus berangkat.
Keesokan harinya aku datang ke hanggar Eaglestrike Air lebih cepat setengah jam. Kru NTS lainnya belum ada yang datang. Untuk jaga-jaga kupakai topi rajut kuningku karena tadi malam aku melihat kumpulan awan sirokumulus memanjang seperti sisik ular. Barang-barang bantuan sudah menumpuk di hanggar. Rencananya, selain meliput, kami juga akan menyalurkan bantuan dari NTS. Di bawah pesawat, kulihat Cakka sedang mengecek mesin pesawat bersama seorang mekanik.
”Cakka.” Aku memanggilnya.
Cakka menoleh. Tak ada ekspresi senang melihatku di sini. What's wrong with him? Paling tidak ia bisa pura-pura senang kek ketemu lagi denganku.
”Aku belum sempat berterima kasih, aku...”
”No problem.” Cakka memotong omonganku dan kembali sibuk dengan mesin pesawat. Huh. Sombong betul! Bayanganku akan pertemuan yang mengharu biru berkaitan dengan penyelamatku langsung sirna. Obrolan panjang lebar mengenai kesehatanku yang sudah memulih, keadaan cuaca hari ini, bentukan awan yang semalam kulihat di langit, semua sudah menguap ke udara. Kesal, aku membalikkan badan dan memilih untuk menunggu di kantor Dayat.
Setelah pesawat take off, Cakka membuka pintu kabin dan mengajakku duduk di depan bersamanya. Well, nggak pake ngomong sih, cuma isyarat saja yang aku artikan ajakan untuk duduk di kursi co-pilot. Dengan senang hati aku pindah duduk dan memandang cantiknya awan-awan yang ada di atas kami.
”Cantik banget awan-awan itu. Aku sukaaaa... banget sama awan.” Tidak ada respons.
”Sejak aku kecil, aku selalu berlama-lama memandang awan.” Masih tidak ada respons.
”Kalau diperhatikan, awan itu seperti memberi pertanda lho.” Masih juga tidak ada respons. Bodo lah! Aku ngomong sendiri juga nggak pa-pa.
”Coba kamu lihat yang ada di sana. Bentuknya kayak apa menurut kamu?” Cakka melirik sekilas.
”Payung.”
”Tepat sekali! Kamu ternyata berbakat!” Cakka hanya mengangkat bahu.
”Kalo yang itu tuh! Kayak apa menurut kamu?” Sekali lagi Cakka mengangkat bahu.
”Sepeda.”
Wow! Hanya dengan lirikan sekilas!
”Persis! Itu juga yang aku pikirin! Kamu suka awan juga, Kka?”
”Ibu yang suka.”
”Oh ya? Aku pengin banget kenalan sama ibu kamu.” Cakka diam. Aduh! Kenapa aku ngomong gitu? Jangan-jangan dia nyangka aku ingin diperkenalkan kepada ibunya sebagai calon menantu! Idiihh, sorry lah yaw! ”Maksudku, aku belum pernah ketemu penggemar awan seperti aku. Aku ingin berkenalan dengan sesama pecinta awan.” Cakka tetap diam. Oke, ganti topik!
”Umm... eh liat! Itu ada awan berbentuk permen loli! Lucu banget!” Aku berusaha mengalihkan. Cakka melirik sekilas dan mengangguk. Selama sisa perjalanan, sesekali Cakka menanyakan mengenai pekerjaanku yang kujawab panjang lebar. Mulai dari bosku yang menyebalkan yang berbanding terbalik dengan pekerjaan yang sangat menyenangkan. Dia tanya satu kalimat, aku jawab sepuluh paragraf.
”Jadi kamu sebenarnya tersiksa kerja di sana?”
”Di mana? Di stasiun TV? Ya nggak lah! Aku suka banget. Cuma salah bos aja.”
”Kita nggak bisa memilih bos kita, jadi pinter-pinter kita aja menyesuaikan diri dengan atasan kita,” katanya dengan nada datar. Wah tumben nih ngomongnya banyak, pikirku.
”Sepintar-pintarnya menyesuaikan diri, tapi kalau bosnya tipe Angel, rasanya semua orang juga nggak akan bisa enjoy kerja. Percaya deh!”
Cakka hanya mengangkat bahu.
Sejenak hanya hening yang terjadi di antara kami berdua. Lama-lama berasa garing juga, jadi aku iseng-iseng bertanya soal pekerjaannya.
”Dulu saya pilot, sekarang juga pilot. Nggak ada yang bisa diceritakan lebih lanjut.” Ih, pelit informasi banget sih ini orang!
Tak terasa, daratan Sumatera sudah tampak di depan mata dan aku kembali ke tempat dudukku di belakang. Kami sampai dengan selamat di Bandar Udara Internasional Minangkabau, Sumatera Barat.
Perjalanan dari bandara ke Padang kami turuni dengan naik truk yang sudah disiapkan tim relawan dari sebuah LSM yang bekerja sama dengan NTS. Di mana-mana kulihat reruntuhan bangunan dan kantong jenazah yang berjejer di sepanjang jalan yang kami lalui. Orang-orang berkerumun, ada yang mencari-cari saudara atau kerabatnya di antara jejeran kantung jenazah, atau menunggu. TIM SAR mengeluarkan korban dari reruntuhan sambil bertanya-tanya apakah sanak keluarga yang mereka tunggu yang baru saja ditemukan?
Kesedihan terasa sampai ke rongga dadaku hingga tanpa sadar aku pun menangis. Air mataku jatuh melihat begitu banyak korban, begitu banyak kehilangan dan begitu banyak kesedihan di sana. Seseorang menepuk bahuku halus. Cakka berdiri di belakangku dan membisikkan sesuatu di telingaku.
”Sebisa mungkin, di daerah bencana jangan menumpahkan air mata. Kamu tidak membantu mereka dengan menangis. Malah hanya menambah beban penderitaan mereka saja karena merasa dikasihani.”
Aku pun menyusut air mataku dan menguatkan diri.
Kami tiba di sebuah tempat pengungsian di Padang Pariaman. Di sana bantuan yang diharapkan masih sangat kurang. Para pengungsi tidur di udara terbuka karena tak ada tenda. Bantuan makanan pun sangat minim karena penyaluran bantuan lebih banyak terkonsentrasi ke kota Padang yang kondisinya memang luluh lantak tertimpa bencana gempa. Pengambilan gambar dan penyaluran bantuan kami lakukan selama satu hari kami di sana.
Beberapa kali terjadi gempa kecil membuat beberapa penduduk di pengungsian panik dan berhambur ke tanah lapang.
Bahkan mereka yang rumahnya masih berdiri tegak pun tak berani tidur di dalam rumah karena takut tertimpa bangunan jika terjadi gempa lagi. Sungguh menyedihkan keadaan anak-anak dan ibu-ibu usia lanjut di sana, membuatku teringat pada Mama. Aku sempat dilanda kecemasan berkali-kali karena gempa susulan dan meraba topi kuningku. Cakka ikut membantu, meskipun aku yakin tugas itu tak ada dalam perjanjian kerja, dan dia pun selalu berada di dekatku. Sesekali, tanpa bermaksud mengambil kesempatan dalam kesempitan, Cakka menggenggam tanganku ketika gempa susulan terjadi dan aku terlihat ketakutan.
Meskipun Cakka tak banyak bicara, aku bersyukur dia ikut karena aku jauh lebih tenang dengan kehadirannya. Entah kenapa. Mungkin karena kru NTS yang ikut kali ini bukan kru yang biasa mendampingiku dan Cakka satu-satunya yang dulu bersamaku waktu kejadian di Ambon. Aku didampingi seorang kameramen lain pengganti Gabriel yang sekarang telah ditarik ke studio. Betapa senangnya Gabriel! Kini dia bisa memperluas jaringannya di antara pembawa berita yang cantik-cantik itu. Sekali playboy cap karbit, tetap saja playboy cap karbit! Meskipun kuakui terkadang aku kangen juga meliput bersamanya.
Dalam perjalanan pulang, kembali aku diperbolehkan duduk di depan. Tapi kali ini aku memilih untuk diam dan menikmati sendiri awan-awanku dalam kesedihan yang masih menggelayuti hatiku.
***
Setelah sukses meliput di Sumatera Barat dan melaporkannya secara langsung dari sana, berkali-kali aku dan kru NTS menjelajah daerah bencana lain di Indonesia. Belakangan di Indonesia sering sekali terjadi bencana alam dan yang memilukan hati adalah lambannya kiriman bantuan, baik alat berat maupun bahan makanan. Mungkin karena kendala jarak dan kondisi daerah yang cukup sulit dijangkau.
Namun, ada hal yang menggembirakan juga, yaitu banyaknya bantuan yang mengalir bagi para korban bencana itu baik itu melalui LSM, kelompok-kelompok masyarakat, bahkan artis ramai-ramai mengirimkan bantuan ke daerah-daerah bencana. Bukankah itu bukti bahwa kepedulian masyarakat mulai tumbuh? Dan NTS membuka terus dompet peduli pemirsa untuk menyalurkannya ke daerah tersebut.
Perjalanan ke daerah-daerah bencana kami lalui dengan menggunakan jasa Eaglestrike Air yang dipiloti oleh Kapten Cakka. Sejak perjalanan ke Padang, dia tidak terlalu kaku lagi, dan tampaknya sudah mulai nyambung kalau membahas soal awan, tidak seperti Gabriel yang selalu meledekku dan menebak asal-asalan.
Kalau ingat awal-awal aku kerja sama dia, huh, Gabriel dulu menyebalkan! Tapi tidak demikian dengan Cakka. Meskipun masih irit kata-kata, Cakka selalu merespons dengan positif jika aku membicarakan sahabat-sahabat langitku itu sehingga membuatku merasa nyaman di dekatnya.
”Cakka, Cakka! Liat yang di sana! Warna langit yang biru dicampur sapuan oranye, awannya jadi cantik banget ya!” seruku di suatu senja dalam perjalanan pulang kami dari Surabaya.
”Iya, cantik.” Saat mengatakan itu, dia melirik ke arahku. Sumpah. Dia beneran melirik ke arahku. Tanganku spontan bersilang di dada. Nggak pengen Cakka sampai mendengar suara debar jantungku saat itu.
Bahkan, beberapa kali dia percaya dengan pertanda yang kusampaikan. Terbukti penerbangan kembali ke Jakarta pernah ditundanya selama satu jam karena melihatku begitu ketakutan setelah melihat awan berbentuk gulungan ombak. Aku tak mengatakan apa-apa, tetapi melihatku mengenakan topi rajut merah, Cakka langsung mengerti dan menunda penerbangan kami. Padahal waktu aku menceritakan arti warna topi-topiku, tampaknya Cakka tak peduli.
Saat penerbangan sempat ditunda, kami menghabiskan waktu di coffee shop dan saling bercerita (maksudnya aku yang banyak cerita dan dia lebih banyak mendengarkan). Aku menceritakan Angel.
Aku juga bercerita tentang kehidupanku di kos, teman-teman kos yang kocak dan juga yang menyebalkan. Lalu, aku juga bercerita tentang Mama yang selalu memaksaku menikah.
”Masa ya, katanya aku mau dijodohin sama anak temannya,” ujarku. Cakka diam saja. Apakah dia cemburu? Aku melirik ke arahnya.
”Oya?” Reaksinya tak bisa dibaca. Dia hanya menatap ke gelas minumannya.
”Iya! Tapi aku nggak mau..”
”Kenapa?”
”Aku kan nggak kenal sama dia.”
”Kalau kamu kenal sama orangnya, berarti mau?”
”Ya..., nggak juga.”
Cemburu dong, harapku dalam hati. Ayo, perlihatkan kalau kamu cemburu, Kka!
Ah, payah!
Tetap nggak ada tanda-tanda dia menyimpan perasaan spesial untukku. Buktinya, dia diam saja dan malah ganti topik dengan santainya.
Aku tak tahu kenapa aku menceritakan itu semua ke Cakka, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku membuka diri dan bercerita sebeas-bebasnya. Mungkin karena dia tidak pernah berkomentar negatif dan selalu mendengarkan apa yang kusampaikan. Kalau dia bosan, dia tidak mengatakannya padaku. Jadi aku merasa baik-baik saja.
***
Di luar jam kerja, kami sering membuat janji untuk bertemu. Biasanya diawali dengan tawaran naik helikopter yang tentunya tak bisa kutolak, lalu disambung dengan makan siang bersama atau nonton film. Seiring berjalannya waktu, Cakka mulai terlihat lebih santai bahkan tak ragu lagi menggenggam tanganku saat menyeberang jalan atau berjalan di trotoar. Kedekatan kami makin terasa dan aku merasakan sesuatu yang berbeda dalam diriku. Rupanya ini ya yang dinamakan jatuh cinta?
Entah sejak kapan, tetapi setiap malam sebelum tidur Cakka meneleponku untuk bercakap-cakap tentang hal tak penting. Dulu kupikir konyol sekali dua orang yang baru saja bertemu di siang hari, malamnya telepon-teleponan lagi untuk saling menanyakan kabar dan membicarakan apa pun. Tapi sekarang setelah aku mengalaminya, aku sangat mengerti apa yang dirasakan oleh dua orang yang jatuh cinta tersebut. Memang rasanya ingin selalu mendengar suaranya di telinga kita, ingin selalu melihatnya di pagi, siang dan malam hari. Bahkan melihat atap hanggar tempat kita sering bertemu untuk naik helikopter saja rasanya sudah bahagiaaa sekali. Aahh.. memang tidak bohong kalau jatuh cinta itu berjuta rasanya!
Aku ingin mengabari ke Mama di Surabaya sana bahwa aku sudah menemukan seseorang yang kucinta. Aku ingin mengenalkan Cakka pada Mama, tetapi hingga saat ini Cakka belum menyatakan perasaannya padaku. Rasanya malu mengaku-ngaku kalau dia itu pacarku sementara belum ada pernyataan sama sekali darinya. Padahal, dari sikapnya aku dapat menangkap kalau Cakka juga merasakan hal yang sama padaku. Buktinya, selain tak ragu lagi menggenggam tanganku di jalan, dan meneleponku hampir tiap malam. Jika kuingat kembali, dia pun selalu memperhatikan kebutuhanku saat berada di daerah bencana, misalnya membawakanku makanan, membukakan tutup botol air mineralku, selalu berada di sisiku ke mana pun aku pergi, dan yang paling membuatku yakin adalah saat kami berada di Sidoarjo.
Waktu itu kami sedang mengirimkan bantuan untuk korban lumpur panas di Sidoarjo. Banyak yang tergusur dari kampung halaman mereka karena lumpur panas tersebut. Stasiun TV NTS membuka dompet peduli pemirsa untuk mengumpulkan bantuan dan berhasil mengumpulkan banyak uang sehingga kami dapat memberikan uang yang cukup banyak pada korban lumpur tersebut. Aku melihat seorang anak kecil sedang bermain-main sendiri tanpa ada yang mengawasi. Aku tidak tahu di mana orang tuanya, dan terus memperhatikannya dari jauh. Tiba-tiba anak itu menangis dan tak ada seorang pun yang berusaha menghiburnya. Aku bangkit berdiri untuk menggendongnya, tapi tiba-tiba Cakka sudah berada di dekatnya dan memeluknya dalam dekapan. Sedikit terkejut, aku menghampiri mereka dan menggoda anak kecil yang sekarang sudah tertawa-tawa dalam gendongan Cakka itu.
”Kok giginya hilang?” Anak itu tertawa-tawa memamerkan giginya yang ompong. Aku dan Cakka tertawa geli melihat tingkahnya. Entah bagaimana awalnya, tahu-tahu sebelah tangan Cakka merangkul bahuku, dan kami berdiri bertiga seperti sebuah keluarga kecil, dan Cakka berkata, ”Seperti ini yang aku impikan.” Aku mengangkat wajahku untuk melihat ekspresinya dan mendapati dirinya sedang menatapku lekat. Hanya sekian detik, tak lebih. Karena saat itu pula ibu dari anak kecil itu datang dan mengambil anaknya dari gendongan Cakka. Aku belum sempat menanyakan maksudnya, tapi aku paham betul ucapannya tadi karena seharian itu Cakka tak sekali pun melepaskan tanganku dari genggamannya.
Ingin sekali aku bisa mengenalkan Cakka ke Mama. Aku tak mau Mama terus-menerus menggempurku dengan berita tentang anak teman arisannya tersebut, sementara Cakka tak menyatakan juga perasaannya padaku. Aku jadi gemas dibuatnya.
”Duh, apa susahnya sih bilang sayang?” kataku pada boneka Teddy Bear yang dibelikan Cakka untukku waktu kami ke Dufan. ”Aku tau kamu tuh sayang sama aku, kamu tuh cinta sama aku. Tapi kok nggak bilang aja siihhh?”
Kupeluk si Teddy erat.
”Lo pancing aja, Shil,” saran Gabriel keesokan harinya, saat kami bersama-sama bertemu di kantor. Meskipun sudah tidak sering meliput bersama, Gabriel dan aku kadang-kadang menyempatkan mengobrol sebentar di kantin.
”Maksud lo?”
”Lo ajak dia nonton film drama romantis, terus pas ada dialog yang romantis elo menghela napas dan senyum-senyum aja.”
”Nanti gue disangka gila.”
”Mungkin sih, tapi paling nggak kan elo udah usaha.”
”Menurut lo akan berhasil?”
”Works on me!” katanya sambil nyengir lebar.
Oke, kalau ceweknya Gabriel saja berhasil memancing Gabriel untuk nembak dia di bioskop, aku juga harus bisa membuat Cakka melakukan hal yang sama.
”Wah, romantisnyaaa!” bisikku saat nonton film drama romantis sesuai saran Gabriel yang dibintangi Sandra Bullock, saat adegan dia melamar si cowok. Tak ada reaksi. Kucoba lagi saat sedang berada di ketinggian dalam helikopter.
”Wow! Awannya bentuk hati!” seruku bersemangat.
Cakka melirik sekilas dan tertawa sambil sebelah tangannya meminggirkan helaian rambut yang menutupi wajahku.
”Bukan, itu sih mirip ketupat.” Memang iya sih, keluhku dalam hati. Tapi maksudku kan... mau ngasih sinyal! Oh, c'mon, sudah seperti ini, masa Cakka tetep nggak ngeh?
Hmm. Oke. Mungkin harus dengan cara cerdas.
”Kamu tahu, Kka? Hidup ini singkat. Kita nggak pernah tahu kapan kita dipanggil Yang Maha Kuasa,” kataku sok berfilosofi.
”Betul, aku setuju. Apalagi melihat korban bencana seperti tempo hari,” jawabnya, tak kalah serius.
”Itulah sebabnya kita nggak boleh menunda-nunda hal yang sebaiknya kita lakukan dengan segera.”
Tembak aku! Tembak aku! jeritku dalam hati.
Cakka tak kunjung menjawab, tapi cowok itu balas menatapku lekat. Persis seperti tatapannya dulu di Sidoarjo. Apakah ini saatnya? Kubalas tatapannya sambil sedikit tersenyum supaya dia tidak mengurungkan niatnya.
Cakka mengulurkan tangannya dan menggenggam tanganku. YES! This is it!
”Shilla,” dia menarik napas panjang, ”sudah sore. Pulang yuk!”
Dia lalu menggandeng tanganku. Ah, payah! Sudah tak terhitung sinyal yang kuberi, tak satu pun yang berhasil!
Akhirnya kuputuskan untuk melakukan hal yang drastis! Jika dalam satu minggu dia tak menyatakan juga perasaannya, aku akan melakukan apa yang dilakukan Sandra Bullock!
”Halo Mama, saya Gabriel.” Waduh, sok akrab betul memanggil Mama segala. Pake cium tangan pula, lagi! Aku menahan senyum melihat kelakuan Gabriel.
”Gabriel, apa kabar Nak? Sibuk kerja terus ya? Sampai nggak sempat nengok Shilla waktu sakit.” Gabriel sekejap salah tingkah tapi langsung menguasai diri.
”Iya, Mam, ini aja baru pulang tadi malam dari Papua.” Oke, terlalu lebay. ”Jadi belum sempat menjenguk. Tapi waktu di Ambon saya nungguin Shilla selama dia dirawat di rumah sakit.” Memang benar sih, Gabriel dan kru lain setia menunggu aku selama di rumah sakit. Tapi yang lebih sering kulihat setiap kali terjaga justru Cakka. Hmmpf, Gabriel kayaknya lebih sering nongkrong di warung sebelah rumah sakit, deh. Mama terlihat terkesan. Bincang-bincang dilanjutkan dalam mobil menuju bandara. Dari mana Gabriel dapat pinjaman mobil? Hebat juga dia bisa bawa Mercy mulus begini.
Di bandara, Gabriel bersikap sangat gentleman dan mengurus semua keperluan Mama mulai dari check in tiket, timbang barang, hingga boarding. Setelah dua jam tersiksa karena harus berbohong dan berbohong, ditambah lagi perasaan bersalah yang mulai merayapi perasaanku, akhirnya Mama naik ke pesawat dan kembali ke Surabaya.
”Fhuih! Akhirnya selesai juga. Thanks ya, Yel.”
”Nyokap lo asik juga.”
”Ya gimana anaknya, sih.”
”Kepedean! Inget tuh janji lo.”
”Beres. Eh dapat pinjaman mobil dari mana?”
”Sewa lah!” Banyak duit juga dia! ”Ngabisin sebulan gaji gue nih!” Ops..!
”Nanti juga diganti dengan gaji baru,” sahutku menenangkannya.
”Gue tagih janji lo.” Anything, Yel! Secara elo udah nyelamatin gue dari perjodohan nggak jelas, gue akan berusaha mati-matian bantuin elo, janjiku dalam hati.
***
”Shilla,” Angel menatapku dari seberang meja kerjanya. Sudah sebulan sejak bencana di Ambon dan aku belum mendapatkan tugas keluar lagi. Aku diberi pekerjaan menyusun berita dan mengedit laporan reporter lain. Sungguh membosankan. Hari ini aku menghadap Angel dan meminta ditugaskan keluar lagi. Seperti janjiku, aku bersikap baik ke singa betina itu meskipun dia tetap menyebalkan seperti biasa. Oh, well.. kurasa kalau sudah mendarah daging, sikap buruk susah diubah.
Dan kini aku duduk di ruangannya menunggu keputusan setelah menyodorkan berita bencana alam di Sumatera Barat. Aku minta dikirim ke sana untuk meliput daerah yang telah terkena musibah berkali-kali tersebut. Selama libur meliput, aku selalu mendapat update dari Gabriel mengenai kegiatan kru NTS saat meliput ke daerah bencana.
Awalnya aku bersikap sok cuek saja, tak terlalu menanggapi cerita Gabriel. Tapi begitu dia menyebut nama Cakka, aku langsung memanjangkan telinga dan mulai menanggapi cerita-ceritanya. Gabriel pun mengerti gelagatku itu, dan sejak itu cerita-cerita banyak berkisah seputar Cakka. Bagaimana dia banyak membantu Gabriel di lapangan, bagaimana dia menolak ketika Gabriel hendak merekamnya saat tugas, dan lain sebagainya. Aku jadi berdebar kalau ingat akan bertemu lagi dengannya. Dan karena alasan itulah, aku sekarang meminta Angel untuk mengirimku lagi untuk meliput.
”Saya mendapat perintah untuk tidak mengirim kamu keluar kota, apalagi kota Padang yang sekarang masih sering mengalami gempa susulan. Kamu meliput di dalam kota saja.”
Mendapat perintah? ”Om Dave yang bilang begitu?” Angel hanya diam. Aku tau, pasti Om Dave yang memberinya perintah. Aku bangkit berdiri dan menemui omku di ruangannya.
”Kondisi kamu sedang tidak memungkinkan, Shilla. Kau di kantor saja lah.” Omku menjelaskan alasannya memerintahkan Angel untuk tidak mengirimku meliput ke luar kota.
”Om, Shilla kan udah ikut pelatihan. Masa sih nggak dimanfaatin ilmunya?”
”Itu bukan sekadar meliput bencana alam. Lagi pula, sudah ada reporter yang akan dikirim dari NTS. Om tak mau kau kenapa-napa di sana.”
”Tapi Om, Shilla ingin meliput. Dan ini kesempatan besar Shilla untuk karier jurnalistik.
”Dan lagi, kontrak kita sama Eaglestrike Air masih ada?” Om Dave diam mendengarku mengungkapkan fakta ini. Jangan dia sangka aku nggak tau semua itu.
”Pokoknya Shilla yang berangkat, Om!”
”Shilla, aku nggak mau terkena masalah dengan Mamak kau.” Om Dave mencoba taktik lain.
”Om, please...” Dan keputusanku final. Aku bahkan tak peduli lagi kalau di langit ada awan berbentuk kepala naga. Pokoknya aku harus berangkat.
Keesokan harinya aku datang ke hanggar Eaglestrike Air lebih cepat setengah jam. Kru NTS lainnya belum ada yang datang. Untuk jaga-jaga kupakai topi rajut kuningku karena tadi malam aku melihat kumpulan awan sirokumulus memanjang seperti sisik ular. Barang-barang bantuan sudah menumpuk di hanggar. Rencananya, selain meliput, kami juga akan menyalurkan bantuan dari NTS. Di bawah pesawat, kulihat Cakka sedang mengecek mesin pesawat bersama seorang mekanik.
”Cakka.” Aku memanggilnya.
Cakka menoleh. Tak ada ekspresi senang melihatku di sini. What's wrong with him? Paling tidak ia bisa pura-pura senang kek ketemu lagi denganku.
”Aku belum sempat berterima kasih, aku...”
”No problem.” Cakka memotong omonganku dan kembali sibuk dengan mesin pesawat. Huh. Sombong betul! Bayanganku akan pertemuan yang mengharu biru berkaitan dengan penyelamatku langsung sirna. Obrolan panjang lebar mengenai kesehatanku yang sudah memulih, keadaan cuaca hari ini, bentukan awan yang semalam kulihat di langit, semua sudah menguap ke udara. Kesal, aku membalikkan badan dan memilih untuk menunggu di kantor Dayat.
Setelah pesawat take off, Cakka membuka pintu kabin dan mengajakku duduk di depan bersamanya. Well, nggak pake ngomong sih, cuma isyarat saja yang aku artikan ajakan untuk duduk di kursi co-pilot. Dengan senang hati aku pindah duduk dan memandang cantiknya awan-awan yang ada di atas kami.
”Cantik banget awan-awan itu. Aku sukaaaa... banget sama awan.” Tidak ada respons.
”Sejak aku kecil, aku selalu berlama-lama memandang awan.” Masih tidak ada respons.
”Kalau diperhatikan, awan itu seperti memberi pertanda lho.” Masih juga tidak ada respons. Bodo lah! Aku ngomong sendiri juga nggak pa-pa.
”Coba kamu lihat yang ada di sana. Bentuknya kayak apa menurut kamu?” Cakka melirik sekilas.
”Payung.”
”Tepat sekali! Kamu ternyata berbakat!” Cakka hanya mengangkat bahu.
”Kalo yang itu tuh! Kayak apa menurut kamu?” Sekali lagi Cakka mengangkat bahu.
”Sepeda.”
Wow! Hanya dengan lirikan sekilas!
”Persis! Itu juga yang aku pikirin! Kamu suka awan juga, Kka?”
”Ibu yang suka.”
”Oh ya? Aku pengin banget kenalan sama ibu kamu.” Cakka diam. Aduh! Kenapa aku ngomong gitu? Jangan-jangan dia nyangka aku ingin diperkenalkan kepada ibunya sebagai calon menantu! Idiihh, sorry lah yaw! ”Maksudku, aku belum pernah ketemu penggemar awan seperti aku. Aku ingin berkenalan dengan sesama pecinta awan.” Cakka tetap diam. Oke, ganti topik!
”Umm... eh liat! Itu ada awan berbentuk permen loli! Lucu banget!” Aku berusaha mengalihkan. Cakka melirik sekilas dan mengangguk. Selama sisa perjalanan, sesekali Cakka menanyakan mengenai pekerjaanku yang kujawab panjang lebar. Mulai dari bosku yang menyebalkan yang berbanding terbalik dengan pekerjaan yang sangat menyenangkan. Dia tanya satu kalimat, aku jawab sepuluh paragraf.
”Jadi kamu sebenarnya tersiksa kerja di sana?”
”Di mana? Di stasiun TV? Ya nggak lah! Aku suka banget. Cuma salah bos aja.”
”Kita nggak bisa memilih bos kita, jadi pinter-pinter kita aja menyesuaikan diri dengan atasan kita,” katanya dengan nada datar. Wah tumben nih ngomongnya banyak, pikirku.
”Sepintar-pintarnya menyesuaikan diri, tapi kalau bosnya tipe Angel, rasanya semua orang juga nggak akan bisa enjoy kerja. Percaya deh!”
Cakka hanya mengangkat bahu.
Sejenak hanya hening yang terjadi di antara kami berdua. Lama-lama berasa garing juga, jadi aku iseng-iseng bertanya soal pekerjaannya.
”Dulu saya pilot, sekarang juga pilot. Nggak ada yang bisa diceritakan lebih lanjut.” Ih, pelit informasi banget sih ini orang!
Tak terasa, daratan Sumatera sudah tampak di depan mata dan aku kembali ke tempat dudukku di belakang. Kami sampai dengan selamat di Bandar Udara Internasional Minangkabau, Sumatera Barat.
Perjalanan dari bandara ke Padang kami turuni dengan naik truk yang sudah disiapkan tim relawan dari sebuah LSM yang bekerja sama dengan NTS. Di mana-mana kulihat reruntuhan bangunan dan kantong jenazah yang berjejer di sepanjang jalan yang kami lalui. Orang-orang berkerumun, ada yang mencari-cari saudara atau kerabatnya di antara jejeran kantung jenazah, atau menunggu. TIM SAR mengeluarkan korban dari reruntuhan sambil bertanya-tanya apakah sanak keluarga yang mereka tunggu yang baru saja ditemukan?
Kesedihan terasa sampai ke rongga dadaku hingga tanpa sadar aku pun menangis. Air mataku jatuh melihat begitu banyak korban, begitu banyak kehilangan dan begitu banyak kesedihan di sana. Seseorang menepuk bahuku halus. Cakka berdiri di belakangku dan membisikkan sesuatu di telingaku.
”Sebisa mungkin, di daerah bencana jangan menumpahkan air mata. Kamu tidak membantu mereka dengan menangis. Malah hanya menambah beban penderitaan mereka saja karena merasa dikasihani.”
Aku pun menyusut air mataku dan menguatkan diri.
Kami tiba di sebuah tempat pengungsian di Padang Pariaman. Di sana bantuan yang diharapkan masih sangat kurang. Para pengungsi tidur di udara terbuka karena tak ada tenda. Bantuan makanan pun sangat minim karena penyaluran bantuan lebih banyak terkonsentrasi ke kota Padang yang kondisinya memang luluh lantak tertimpa bencana gempa. Pengambilan gambar dan penyaluran bantuan kami lakukan selama satu hari kami di sana.
Beberapa kali terjadi gempa kecil membuat beberapa penduduk di pengungsian panik dan berhambur ke tanah lapang.
Bahkan mereka yang rumahnya masih berdiri tegak pun tak berani tidur di dalam rumah karena takut tertimpa bangunan jika terjadi gempa lagi. Sungguh menyedihkan keadaan anak-anak dan ibu-ibu usia lanjut di sana, membuatku teringat pada Mama. Aku sempat dilanda kecemasan berkali-kali karena gempa susulan dan meraba topi kuningku. Cakka ikut membantu, meskipun aku yakin tugas itu tak ada dalam perjanjian kerja, dan dia pun selalu berada di dekatku. Sesekali, tanpa bermaksud mengambil kesempatan dalam kesempitan, Cakka menggenggam tanganku ketika gempa susulan terjadi dan aku terlihat ketakutan.
Meskipun Cakka tak banyak bicara, aku bersyukur dia ikut karena aku jauh lebih tenang dengan kehadirannya. Entah kenapa. Mungkin karena kru NTS yang ikut kali ini bukan kru yang biasa mendampingiku dan Cakka satu-satunya yang dulu bersamaku waktu kejadian di Ambon. Aku didampingi seorang kameramen lain pengganti Gabriel yang sekarang telah ditarik ke studio. Betapa senangnya Gabriel! Kini dia bisa memperluas jaringannya di antara pembawa berita yang cantik-cantik itu. Sekali playboy cap karbit, tetap saja playboy cap karbit! Meskipun kuakui terkadang aku kangen juga meliput bersamanya.
Dalam perjalanan pulang, kembali aku diperbolehkan duduk di depan. Tapi kali ini aku memilih untuk diam dan menikmati sendiri awan-awanku dalam kesedihan yang masih menggelayuti hatiku.
***
Setelah sukses meliput di Sumatera Barat dan melaporkannya secara langsung dari sana, berkali-kali aku dan kru NTS menjelajah daerah bencana lain di Indonesia. Belakangan di Indonesia sering sekali terjadi bencana alam dan yang memilukan hati adalah lambannya kiriman bantuan, baik alat berat maupun bahan makanan. Mungkin karena kendala jarak dan kondisi daerah yang cukup sulit dijangkau.
Namun, ada hal yang menggembirakan juga, yaitu banyaknya bantuan yang mengalir bagi para korban bencana itu baik itu melalui LSM, kelompok-kelompok masyarakat, bahkan artis ramai-ramai mengirimkan bantuan ke daerah-daerah bencana. Bukankah itu bukti bahwa kepedulian masyarakat mulai tumbuh? Dan NTS membuka terus dompet peduli pemirsa untuk menyalurkannya ke daerah tersebut.
Perjalanan ke daerah-daerah bencana kami lalui dengan menggunakan jasa Eaglestrike Air yang dipiloti oleh Kapten Cakka. Sejak perjalanan ke Padang, dia tidak terlalu kaku lagi, dan tampaknya sudah mulai nyambung kalau membahas soal awan, tidak seperti Gabriel yang selalu meledekku dan menebak asal-asalan.
Kalau ingat awal-awal aku kerja sama dia, huh, Gabriel dulu menyebalkan! Tapi tidak demikian dengan Cakka. Meskipun masih irit kata-kata, Cakka selalu merespons dengan positif jika aku membicarakan sahabat-sahabat langitku itu sehingga membuatku merasa nyaman di dekatnya.
”Cakka, Cakka! Liat yang di sana! Warna langit yang biru dicampur sapuan oranye, awannya jadi cantik banget ya!” seruku di suatu senja dalam perjalanan pulang kami dari Surabaya.
”Iya, cantik.” Saat mengatakan itu, dia melirik ke arahku. Sumpah. Dia beneran melirik ke arahku. Tanganku spontan bersilang di dada. Nggak pengen Cakka sampai mendengar suara debar jantungku saat itu.
Bahkan, beberapa kali dia percaya dengan pertanda yang kusampaikan. Terbukti penerbangan kembali ke Jakarta pernah ditundanya selama satu jam karena melihatku begitu ketakutan setelah melihat awan berbentuk gulungan ombak. Aku tak mengatakan apa-apa, tetapi melihatku mengenakan topi rajut merah, Cakka langsung mengerti dan menunda penerbangan kami. Padahal waktu aku menceritakan arti warna topi-topiku, tampaknya Cakka tak peduli.
Saat penerbangan sempat ditunda, kami menghabiskan waktu di coffee shop dan saling bercerita (maksudnya aku yang banyak cerita dan dia lebih banyak mendengarkan). Aku menceritakan Angel.
Aku juga bercerita tentang kehidupanku di kos, teman-teman kos yang kocak dan juga yang menyebalkan. Lalu, aku juga bercerita tentang Mama yang selalu memaksaku menikah.
”Masa ya, katanya aku mau dijodohin sama anak temannya,” ujarku. Cakka diam saja. Apakah dia cemburu? Aku melirik ke arahnya.
”Oya?” Reaksinya tak bisa dibaca. Dia hanya menatap ke gelas minumannya.
”Iya! Tapi aku nggak mau..”
”Kenapa?”
”Aku kan nggak kenal sama dia.”
”Kalau kamu kenal sama orangnya, berarti mau?”
”Ya..., nggak juga.”
Cemburu dong, harapku dalam hati. Ayo, perlihatkan kalau kamu cemburu, Kka!
Ah, payah!
Tetap nggak ada tanda-tanda dia menyimpan perasaan spesial untukku. Buktinya, dia diam saja dan malah ganti topik dengan santainya.
Aku tak tahu kenapa aku menceritakan itu semua ke Cakka, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku membuka diri dan bercerita sebeas-bebasnya. Mungkin karena dia tidak pernah berkomentar negatif dan selalu mendengarkan apa yang kusampaikan. Kalau dia bosan, dia tidak mengatakannya padaku. Jadi aku merasa baik-baik saja.
***
Di luar jam kerja, kami sering membuat janji untuk bertemu. Biasanya diawali dengan tawaran naik helikopter yang tentunya tak bisa kutolak, lalu disambung dengan makan siang bersama atau nonton film. Seiring berjalannya waktu, Cakka mulai terlihat lebih santai bahkan tak ragu lagi menggenggam tanganku saat menyeberang jalan atau berjalan di trotoar. Kedekatan kami makin terasa dan aku merasakan sesuatu yang berbeda dalam diriku. Rupanya ini ya yang dinamakan jatuh cinta?
Entah sejak kapan, tetapi setiap malam sebelum tidur Cakka meneleponku untuk bercakap-cakap tentang hal tak penting. Dulu kupikir konyol sekali dua orang yang baru saja bertemu di siang hari, malamnya telepon-teleponan lagi untuk saling menanyakan kabar dan membicarakan apa pun. Tapi sekarang setelah aku mengalaminya, aku sangat mengerti apa yang dirasakan oleh dua orang yang jatuh cinta tersebut. Memang rasanya ingin selalu mendengar suaranya di telinga kita, ingin selalu melihatnya di pagi, siang dan malam hari. Bahkan melihat atap hanggar tempat kita sering bertemu untuk naik helikopter saja rasanya sudah bahagiaaa sekali. Aahh.. memang tidak bohong kalau jatuh cinta itu berjuta rasanya!
Aku ingin mengabari ke Mama di Surabaya sana bahwa aku sudah menemukan seseorang yang kucinta. Aku ingin mengenalkan Cakka pada Mama, tetapi hingga saat ini Cakka belum menyatakan perasaannya padaku. Rasanya malu mengaku-ngaku kalau dia itu pacarku sementara belum ada pernyataan sama sekali darinya. Padahal, dari sikapnya aku dapat menangkap kalau Cakka juga merasakan hal yang sama padaku. Buktinya, selain tak ragu lagi menggenggam tanganku di jalan, dan meneleponku hampir tiap malam. Jika kuingat kembali, dia pun selalu memperhatikan kebutuhanku saat berada di daerah bencana, misalnya membawakanku makanan, membukakan tutup botol air mineralku, selalu berada di sisiku ke mana pun aku pergi, dan yang paling membuatku yakin adalah saat kami berada di Sidoarjo.
Waktu itu kami sedang mengirimkan bantuan untuk korban lumpur panas di Sidoarjo. Banyak yang tergusur dari kampung halaman mereka karena lumpur panas tersebut. Stasiun TV NTS membuka dompet peduli pemirsa untuk mengumpulkan bantuan dan berhasil mengumpulkan banyak uang sehingga kami dapat memberikan uang yang cukup banyak pada korban lumpur tersebut. Aku melihat seorang anak kecil sedang bermain-main sendiri tanpa ada yang mengawasi. Aku tidak tahu di mana orang tuanya, dan terus memperhatikannya dari jauh. Tiba-tiba anak itu menangis dan tak ada seorang pun yang berusaha menghiburnya. Aku bangkit berdiri untuk menggendongnya, tapi tiba-tiba Cakka sudah berada di dekatnya dan memeluknya dalam dekapan. Sedikit terkejut, aku menghampiri mereka dan menggoda anak kecil yang sekarang sudah tertawa-tawa dalam gendongan Cakka itu.
”Kok giginya hilang?” Anak itu tertawa-tawa memamerkan giginya yang ompong. Aku dan Cakka tertawa geli melihat tingkahnya. Entah bagaimana awalnya, tahu-tahu sebelah tangan Cakka merangkul bahuku, dan kami berdiri bertiga seperti sebuah keluarga kecil, dan Cakka berkata, ”Seperti ini yang aku impikan.” Aku mengangkat wajahku untuk melihat ekspresinya dan mendapati dirinya sedang menatapku lekat. Hanya sekian detik, tak lebih. Karena saat itu pula ibu dari anak kecil itu datang dan mengambil anaknya dari gendongan Cakka. Aku belum sempat menanyakan maksudnya, tapi aku paham betul ucapannya tadi karena seharian itu Cakka tak sekali pun melepaskan tanganku dari genggamannya.
Ingin sekali aku bisa mengenalkan Cakka ke Mama. Aku tak mau Mama terus-menerus menggempurku dengan berita tentang anak teman arisannya tersebut, sementara Cakka tak menyatakan juga perasaannya padaku. Aku jadi gemas dibuatnya.
”Duh, apa susahnya sih bilang sayang?” kataku pada boneka Teddy Bear yang dibelikan Cakka untukku waktu kami ke Dufan. ”Aku tau kamu tuh sayang sama aku, kamu tuh cinta sama aku. Tapi kok nggak bilang aja siihhh?”
Kupeluk si Teddy erat.
”Lo pancing aja, Shil,” saran Gabriel keesokan harinya, saat kami bersama-sama bertemu di kantor. Meskipun sudah tidak sering meliput bersama, Gabriel dan aku kadang-kadang menyempatkan mengobrol sebentar di kantin.
”Maksud lo?”
”Lo ajak dia nonton film drama romantis, terus pas ada dialog yang romantis elo menghela napas dan senyum-senyum aja.”
”Nanti gue disangka gila.”
”Mungkin sih, tapi paling nggak kan elo udah usaha.”
”Menurut lo akan berhasil?”
”Works on me!” katanya sambil nyengir lebar.
Oke, kalau ceweknya Gabriel saja berhasil memancing Gabriel untuk nembak dia di bioskop, aku juga harus bisa membuat Cakka melakukan hal yang sama.
”Wah, romantisnyaaa!” bisikku saat nonton film drama romantis sesuai saran Gabriel yang dibintangi Sandra Bullock, saat adegan dia melamar si cowok. Tak ada reaksi. Kucoba lagi saat sedang berada di ketinggian dalam helikopter.
”Wow! Awannya bentuk hati!” seruku bersemangat.
Cakka melirik sekilas dan tertawa sambil sebelah tangannya meminggirkan helaian rambut yang menutupi wajahku.
”Bukan, itu sih mirip ketupat.” Memang iya sih, keluhku dalam hati. Tapi maksudku kan... mau ngasih sinyal! Oh, c'mon, sudah seperti ini, masa Cakka tetep nggak ngeh?
Hmm. Oke. Mungkin harus dengan cara cerdas.
”Kamu tahu, Kka? Hidup ini singkat. Kita nggak pernah tahu kapan kita dipanggil Yang Maha Kuasa,” kataku sok berfilosofi.
”Betul, aku setuju. Apalagi melihat korban bencana seperti tempo hari,” jawabnya, tak kalah serius.
”Itulah sebabnya kita nggak boleh menunda-nunda hal yang sebaiknya kita lakukan dengan segera.”
Tembak aku! Tembak aku! jeritku dalam hati.
Cakka tak kunjung menjawab, tapi cowok itu balas menatapku lekat. Persis seperti tatapannya dulu di Sidoarjo. Apakah ini saatnya? Kubalas tatapannya sambil sedikit tersenyum supaya dia tidak mengurungkan niatnya.
Cakka mengulurkan tangannya dan menggenggam tanganku. YES! This is it!
”Shilla,” dia menarik napas panjang, ”sudah sore. Pulang yuk!”
Dia lalu menggandeng tanganku. Ah, payah! Sudah tak terhitung sinyal yang kuberi, tak satu pun yang berhasil!
Akhirnya kuputuskan untuk melakukan hal yang drastis! Jika dalam satu minggu dia tak menyatakan juga perasaannya, aku akan melakukan apa yang dilakukan Sandra Bullock!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar