Jumat, 24 Mei 2013
In:
KAU
KAU *part 4
eyaaa hayy hayy hayy :D
Ada yang nungguin cerbug ini gak? hehe
Mudah-mudahan ada yee :p :D
Ehhyaa cuma mau ngingetin lagi , cerbug ini cuma copasan :)
Aku copas dari kak Ria Primadiharti :)
Dan kak Ria copas dari sebuah novel yang pengarangnya itu Sylvia L'Namira :)
(NB: Yang nungguin JCSLNW part ending,nnti yaa selesai aku UAS,mungkin aku postnya tgl 6 Juni,kalo 5 Juni mahh sibuk,gak bisa ngepost :p ,okee :DD )
Yukk baca ajaa,cekkidotttttttttttt!!!!!! :DDD
SUARA terompet disusul gedoran di pintu kamar, membangunkanku. Duh! Siapa sih yang menggedor-gedor pintu di pagi-pagi buta seperti ini? gerutuku sebal seraya kembali menarik selimut. Tapi, rupanya gedoran tak akan berhenti sebelum kami membuka pintu dalam keadaan siap siaga. Agni langsung bangkit membangunkanku, kemudian kudapati ia berdiri di pintu, bersiap membukanya begitu aku selesai berpakaian lengkap. Tak lama aku pun dalam keadaan siap dan berdiri tegak di sampingnya. Setelah puas melihat kami berdua berdiri tegak dengan mata nyalang tanda bahwa nyawa sudah terkumpul, barulah tentara yang bertugas membangunkan kami itu pergi. Aku menatap kawan sekamarku dari atas ke bawah. Agni tampak siap siaga dengan kaus warna hijaunya yang dimasukkan rapi ke celana yang dibalut ikat pinggang. Sepatu larsnya bahkan sudah terpasang rapi berikut tali-temalinya yang merepotkan itu. Aku tidak tahu, kapan cewek itu berpakaian? Agni yang menyadari dirinya tengah ditatap sedemikian rupa olehku, dengan tatapan lurus ke depan, menjawab keherananku. ”Gue udah pakai baju gini sebelum tidur. Ada untungnya juga sering nonton film perang.”
Aku mengangguk-angguk mengerti. Pantas saja! Tapi, bagus juga idenya. Kenapa malah tidak terpikir olehku?
”Good thinking,” pujiku tulus. Sekilas aku melihat senyum tersungging di sudut bibir Agni.
Pagi itu kami dikumpulkan di lapangan. Sesi pertama pelatihan dibuka dengan senam pagi ala tentara. Kapten Cook dan Letnan Rose sempat mengernyitkan kening melihatku memakai topi rajut berwarna kuning menyala, tetapi untungnya mereka tak berkomentar apa pun. Ketika peserta sedang mengantre untuk mendapatkan swiss army knife, alat multifungsi yang sangat berguna di berbagai situasi, tiba-tiba Letnan Satu Zian sudah berdiri di sampingku dan menyuruhku untuk melepaskan topi rajut kuningku dengan suara baritonnya. Aku lalu berusaha bernegosiasi dengannya.
”Letnan, tolong, Letnan, saya tidak bisa melepaskan topi rajut ini, ini.. ini.. pemberian ibu saya, dan saya ingin dia selalu ada di samping saya.” Jelas tidak mungkin, aku bilang kalau topi ini penangkal bahaya yang mungkin mengintaiku, dan bagaimana jika kemudian aku ditanya, dari mana asal informasi tersebut. Jelas, aku pun tak mungkin menjawab, bahwa informasi tersebut kudapat dari awan. Bisa-bisa ditertawakan semua orang, aku nanti!
”Tapi ini pelatihan perang, bukan karnaval!”
”Saya butuh topi ini Letnan, please... jangan suruh saya melepaskannya!” Aku semakin panik dan mulai sedikit histeris. Melihat itu, Gabriel buru-buru keluar dari barisan dan menghampiri Letnan Satu Zian. Entah apa yang mereka bicarakan di kejauhan, tapi akhirnya aku diperbolehkan memakai topi rajutku dan kedua instruktur impor pun tidak mempermasalahkan keberadaan topi yang bertengger di kepalaku ini.
Hari pertama pelatihan lebih menekankan teori perkenalan berbagai senjata yang bisa digunakan untuk membela diri; mulai dari penggunaan swiss army knife dan fungsinya belati, sampai ranting pohon yang bisa dijadikan senjata. Kemudian, kami diajarkan kemampuan dasar navigasi berupa peta dan cara menganalisisnya, bagaimana cara mengetahui sistem koordinat, cara membaca kompas, prinsip-prinsip intersection, azimuth dan back azimuth, hingga merencanakan jalur lintasan, dan terakhir, penampang lintasan yaitu penggambaran secara proporsional bentuk jalur lintasan jika dilihat dari samping dengan menggunakan garis kontur secara acuan. Semua ini dipelajari sejak pagi hingga malam hari dan tentu saja sangat menguras tenaga dan pikiran karena harus menghitung dan menghitung ulang agar mendapatkan koordinat yang akurat.
Aku merebahkan tubuhku yang penat ke kasur keras dalam kamar mess. Agni sejak tadi sudah mendengkur dan membuatku iri karena, meski lelah, entah kenapa mataku belum juga mau terpejam. Materi pelatihan besok adalah pengenalan daerah rawan dan ladang ranjau. Entah apa yang akan kami jalani, tapi dari judul materinya saja aku sudah bisa membayangkan, betapa sangat melelahkannya kegiatan pelatihan besok. Setelah mengintip ke jendela dan melihat awan berbentuk kepala Teddy Bear seolah melambai padaku, aku pun tertidur lelap.
Suara gedoran di pintu mengagetkanku lagi. Karena semalam tidur terlambat, aku jadi masih merasa gamang ketika bangkit dari tidur. Kali ini aku mengikuti cara Agni yang tidur dengan mengenakan seragamnya hingga gedoran di pintu bisa segera dihentikan.
Hari kedua, kami diwajibkan memakai rompi anti-peluru dan helm. Oik yang hari ini berdandan cukup mencolok terlihat sangat kecewa karena wajah kami harus dicoreng-moreng.
”Ini adalah kamuflase. Diperlukan untuk menyamarkan keadaan kita selama di daerah pertempuran agar tak cepat dikenali musuh. Mulai hari ini, setiap hari kalian harus sudah memakai perlengkapan seperti ini sejak kalian berkumpul di pagi hari.” Kapten Cook menjelaskan. Meski sedikit kesulitan memahami aksen Australia sang Kapten, kami memahami apa yang disampaikan Kapten Cook tersebut sehingga tak ada alasan bagi Oik untuk mempertahankan blush on-nya.
Pengenalan lapangan rupanya bukan materi teori. Kami diharuskan belajar menyisir daerah hutan dan mengenali berbagai perangkap yang disediakan para instruktur itu. Jika salah langkah dan mengenai ranjau, peserta akan terciprat cat merah pertanda orang tersebut seharusnya mati seandainya ranjau yang diinjaknya adalah ranjau betulan.
Rupanya perjalanan menyisir medan ranjau ini tidak hanya dilakukan dengan berjalan, tapi juga merayap. Fisikku yang belum pernah ditempa latihan berat seperti ini mulai protes. Kakiku sering terasa kram. Terkadang perutku sakit tiba-tiba, dan bahkan kepalaku mendadak terasa berat. Tapi demi tugas mulia yang akan kuemban kelak, bagaimanapun kondisiku, dan apa pun yang kurasakan, aku harus tetap bertahan. Lagi pula, bagaimana aku akan menampakkan wajahku di depan Angel kalau aku menyerah sekarang? Begitu terbayang wajah si Singa, semangatku langsung tinggi dan aku jadi lebih berkonsentrasi. Aku berhasil menemukan beberapa ranjau dan jebakan sehingga mendapat acungan jempol si Bule impor di hari kedua pelatihan ini.
Lagi-lagi gedoran pintu yang membangunkan kami di hari ketiga. Karena sudah mulai terbiasa, aku tak lagi kaget mendengarnya. Hari ketiga ini kami akan belajar cara bertahan dalam penyanderaan dan kerusuhan. Instruktur membuat simulasi dengan sebagian peserta menjadi penyandera dan sebagian menjadi sandera. Di putaran pertama, aku kebagian menjadi sandera bersama Oik. Penyaderanya adalah Gabriel dan beberapa rekan lainnya. Gabriel terlihat lembek sekali terhadap Oik dan menolak menginterogasi gadis itu. Dasar cemen! Apa Gabriel tidak bisa membedakan mana kejadian nyata dan mana yang hanya skenario?
Dalam putaran kedua ketika aku yang berperan menjadi penyandera, kukeluarkan semua aji mumpungku dengan menyiksa Gabriel sebagai ajang balas dendamku yang terpendam. Oik, yang selama dua hari berusaha menarik perhatian para instruktur, tapi gagal, rupanya kembali mengalihkan perhatiannya pada Gabriel. Apakah memang perjalanan jauh dapat menjadikan seseorang tidak lagi berpikiran jernih? Buktinya, Oik yang seharusnya jadi penyandera malah mengusap-usap pipi Gabriel yang baru saja terkena tamparanku. Benar-benar payah punya partner gadis ganjen seperti Oik! Meski ini semua hanya sandiwara, tapi bukankah di lapangan nanti penyandera yang asli lebih keji dari dirinya? Mereka harus siap, bukan? Suatu hari nanti, kalau Gabriel benar-benar disandera, dia akan berterima kasih padaku karena hari ini aku telah menempanya dengan baik. Kuangkat dagu lebih tinggi, tidak mengacuhkan lirikan tajam Oik yang seolah berkata ”Tega lo ya ama partner sendiri?”
Materi di hari keempat adalah tentang penanganan medis di lapangan. Untuk materi ini panitia mengundang tenaga medis palang merah yang usianya masih terbilang muda tetapi sudah bertahun-tahun terjun di medan perang. Kami menyimak dengan saksama penjelasan yang diberikan sang tenaga medis itu dan kami pun berlatih cara melakukan pertolongan pertama, memberi napas buatan, penanganan luka bakar, tulang retak, dan pendarahan. Gabriel yang menyangka akan melakukan napas buatan pada rekan peserta lain–dan dia berharap berpasangan dengan Oik–harus kecewa ketika masing-masing peserta diberikan model boneka untuk latihan napas buatan.
Hari kelima, hari terakhir pelatihan adalah simulasi perang yang berarti kami semua berpakaian lengkap bagaikan seorang tentara dan berperan sebagai wartawan liputan perang. Beberapa tentara TNI AD Kendari dikerahkan untuk melakukan simulasi perang dan perserta harus siap mempraktikkan semua ilmu yang telah kami pelajari selama empat hari kemarin. Agni yang satu grup denganku menyarankan agar aku melepas topi kuning yang mulai berubah warna ini. Karena meskipun warnanya sudah tidak menyala lagi, tetap saja menonjol di antara hijau dedaunan dan pepohonan di dalam hutan, begitu katanya. Tapi tentu saja kutolak permintaannya itu, bahkan aku mengatakan kepadanya, bahwa awalnya aku berencana memakai topi rajutku yang berwarna merah menyala. Akhirnya, Agni pun menyerah dan memilih menjauh dariku seolah aku adalah pembawa bencana. Baik, sana menjauh. Kayak aku peduli aja!
Namun, ternyata justru topi rajut kuning ini yang menyelamatkanku. Topi ini yang membedakanku dengan tentara sehingga tak ada peluru yang nyasar ke arahku. Beberapa teman jurnalis yang tak berhati-hati ada yang terkena tembakan peluru cat.
”Good job, Ashilla! You did great!” puji Kapten Cook sambil menepuk bahuku sebelum berlalu. Aku menatap jumawa pada rekan-rekan jurnalis lainnya setelah kegiatan simulasi itu berakhir.
”Kubilang juga apa, topi ini membawa keberuntungan.” Cengiranku semakin lebar ketika bebeapa raut bete mendelik ke arahku.
Malam terakhir di mess ini, kami dikumpulkan di depan api unggun dan melepaskan ketegangan yang menerpa selama lima hari mengikuti pelatihan ini dengan bernyanyi-nyanyi. Lelah, tapi begitu banyak ilmu kemiliteran yang kami dapatkan. Apalagi swiss army knife yang dibagikan di hari pertama ternyata boleh kami miliki. Pisau serbaguna itu terbukti multifungsi di tangan Oik yang tengah asyik mencongkel-congkel kotoran di kuku kakinya... Memang sulit merubah karakter seseorang.
***
Aku belum pernah merasakan kegembiraan seperti ini ketika kembali ke Jakarta. Perjalanan kembali dari mess dengan truk tronton dan naik pesawat Hercules tidak menjadi persoalan lagi bagiku. Kini aku merasa menjadi orang baru, orang yang terlahir kembali, siap menghadapi segala rintangan dan hambatan yang ada di depanku. Dan aku akan siap menghadapi si Singa dengan penuh...
Dug!
Ouch! Sebuah trolly barang melintang di depanku tanpa permisi dan dengan sukses mengadu kakiku dengan besi tersebut, dan langsung mengembalikanku pada realitas; mencari taksi untuk pulang.
Setelah bersih-bersih dan menumpukkan baju kotor yang menjadikan barang bawaanku dua kali lipat lebih berat, aku pun bergegas ke kantor untuk melaporkan pelatihan kemarin pada Om Dave, sekalian hendak meminta izin cuti dua hari untuk mengunjungi orangtuaku di Surabaya yang sudah berkali-kali menelepon dan meninggalkan pesan di mailbox handphone, menyuruhku pulang. Belum sampai tanganku mengetuk pintu, Angel sudah lebih dulu keluar dari kantor Om Dave.
”Shilla! Back already?”
Sejak kapan dia suka beramah tamah denganku? Aku menatapnya curiga, tanpa senyum.
”Ya, kenapa? Nggak suka?” Sisa pelatihan kemarin masih melekat di kepalaku. Aku tak akan segan mengeluarkan jurus bela diri dasarku padanya jika dia berani berkomentar macam-macam padaku. Melihat aku seagresif ini, Angel langsung mengangkat tangan dan pergi. Good! Selamatkan diri sana! Senyumku puas. Aku mengetuk pintu kantor Om Dave dan langsung masuk.
”Halo, Om.., Shilla datang melapor!”Om Dave mengangkat kepala dari kertas yang sedang dibacanya.
”Simpan dulu laporannya. Ini ada tugas yang pasti menantang buat kamu. Apalagi kamu kan baru selesai training, jadi kamu bisa langsung mempraktikkan ilmu kamu.” Om Dave menyodorkan kertas yang tadi dibacanya.
”Konflik di Ambon? Ini bukannya sudah lama, Om?”
”Betul, tapi ada informasi baru tentang RMS ini, rumor mengatakan kalau mereka akan mengibarkan bendera saat pemilihan presiden nanti. Kau dan kameramen kau itu pergi ke sana dan gali informasi lebih dalam. Kalau perlu kau wawancara itu pimpinan RMS on air.”
Haa? Wawancara pimpinan RMS? Om Dave masih waras nggak, sih? Apa dia tahu, itu artinya aku harus menempuh perjalanan naik-turun gunung dan keluar-masuk hutan? Karena sangat tidak mungkin, pimpinan RMS nongkrong di kafe?
”Rumor ini datangnya dari Angel?” Pertanyaan yang keluar dari mulutku terdengar sinis membuat Om Dave untuk pertama kalinya melirik tak setuju.
”Angel mungkin selalu membuat masalah terhadap kau. Tapi dia pemimpin redaksi yang hebat di kantor ini. Kau justru harus banyak belajar dari dia.”
”Oke, sorry, Om. Anyway, sebelum ke Ambon, Shilla boleh ambil cuti dulu dua hari? Mau ke Surabaya.”
”Mamak kau juga meneleponku setiap hari selama kau di Kendari. Biarlah mamak kau itu menunggu sebentar lagi. Kau pergilah meliput ke Ambon.”
Aku melirik ke luar jendela kantor Om Dave untuk melihat pertanda di sana. Hanya tampak awan sirokumulus yang bentuknya berkeping-keping. Tak ada bentuk khusus. Kembali kupusatkan perhatian ke Om Dave.
”Tapi Shilla dengar nggak ada pesawat yang mau ke sana, Om.”
”Kalian berangkat naik pesawat carter.”
”Pesawat carter? Betulan, nih? Kan mahal, Om!” Aku masih berusaha mengajukan alasan, karena menyewa pesawat carter berburu informasi yang berasal dari rumor sangat mubazir menurutku.
”Aku punya uang, aku bisa bayar berapa pun sewanya. Kau cari perusahan pesawat carter yang mau antarlah!”
Sepertinya aku memang tidak bisa mengelak lagi. But, hey... pesawat carter? Kapan lagi, ya nggak?
”Mantaplah kalau begitu. Shilla balik ke meja dulu ya, Om.” Aku langsung menelepon Gabriel untuk berbagi berita ini pada partnerku itu. Ternyata tanggapan Gabriel tidak seperti yang kuduga.
”Apa? Ke Ambon? Shilla, kita kan baru balik dari Kendari, masa udah harus berangkat lagi?”
”Ini berita eksklusif, Yel, elo mau jadi bagian sejarah apa nggak?”
”Sejarah apa? Gue masih capek, Shil!”
”Tapi ini perintah Om Dave!”
”Lagian ngapain juga sih lo pake ke kantor segala. Ini kan hari libur kita. Besok baru masuk.”
”Gue kan harus ketemu sama om gue. Sekalian mau ceritalah.” Tanpa perlu kutambahkan kalau itu adalah persyaratan dari Mama agar aku selalu melapor ke omku yang kuanggap sebagai orangtua keduaku di sini, sebagai konsekuensi penolakanku untuk tinggal di rumah Om Dave yang besar itu. Lagi pula, mana enaklah tinggal sama om sendiri, jadi nggak bebas ke mana-mana! Mending aku ngekos, meski karena itu aku jadi harus wajib lapor setiap saat.
”Aah... cari masalah aja sih lo. Besok kan masih bisa lapor. Hari ini kita masih cuti, Shil! CUTI!” Gabriel menggerutu panjang-pendek. Namun langsung terhenti ketika aku menyebutkan masalah pesawat carter.
”Kita nggak berangkat sekarang, Yel, kita berangkat setelah gue dapet info tentang pesawat carter mana yang mau bawa kita ke Ambon. Soalnya pesawat komersil nggak ada yang mau bawa penumpang ke sana.”
”Jangankan pesawat komersil, gue aja sebenarnya males ke sana kalo nggak karena dipaksa.”
”Ya udah, gue cari info dulu deh. Elo tidur lagi sana!” Aku buru-buru menyudahi pembicaraan. Kadang Gabriel bisa terdengar seperti perempuan cengeng!
Aku duduk di meja dan menatap ke luar. Selain sirokumulus, ada juga awan di langit yang rendah dengan bentuk awan menyerupai anjing. Wah! Anjing? Pertanda kurang baik, nih. Kuraba kepalaku dan baru ingat kalau topi rajut kuning ada di tumpukan cucian. Setelah lima hari terus-menerus menempel di kepala, topi itu serasa masih bertengger di sana sehingga aku tak sadar kalau berangkat ke kantor tadi topi itu sudah tidak ada di kepalaku. Dengan jantung berdebar aku mengucap syukur, tidak terjadi apa pun yang tak diinginkan dalam perjalanan menuju kantor tadi. Tanganku sedikit gemetar ketika mengangkat telepon dan menghubungi perusahaan carter pesawat yang ada di buku telepon.
Perusahaan pertama yang kuhubungi menolak, begitu pun perusahaan kedua dan seterusnya, hingga perusahaan kelima yang ada di list itu pun menolak. Aku menatap nomor telepon perusahaan terakhir. Eaglestrike Air. Sepertinya dari namanya keren, semoga pemiliknya tidak pengecut seperti perusahaan lain yang lebih mengkhawatirkan asuransi pesawatnya dibandingkan sejarah yang akan mereka buat selama siaran langsung dari tempat konflik itu. Padahal, aku sudah berjanji akan sering-sering menyebutkan nama perusahaan mereka agar mereka bisa sekalian iklan gratis. Tapi tetap saja mereka menolak. Aku menahan napas menunggu pesawat telepon di seberang diangkat.
”Eaglestrike Air, Dayat di sini, bisa dibantu?”
”Selamat siang, saya Ashilla dari stasiun televisi NTS.”
”Halo Ashilla. Ada yang bisa saya bantu?”
”Kami ingin mencarter pesawat ke Ambon, Pak.”
”Wow! Ambon? Itu daerah konflik, Non, mau apa ke sana?”
”Ya meliputlah, Pak, bisa?” Dayat diam. Aku berdoa semoga Dayat tidak mengecewakanku, seperti kelima perusahaan sebelumnya.
”Saya harus cari pilotnya dulu, karena tidak semua pilot mau terbang ke sana.”
Wow! Sepertinya ada sedikit harapan.
”Oke. Tolong kabari saya secepatnya ya, Pak. Ini nomor saya.” Aku menyebutkan nomor handphone-ku. Pembicaraan pun disudahi setelah Dayat berjanji akan mengontakku segera setelah mendapatkan pilot yang bersedia membawaku terbang ke sana. By the way... memangnya Dayat harus pergi ke mana untuk mencari pilot itu? Memangnya sulit sekali mencari pilot yang bersedia terbang ke daerah konflik? Bukannya tinggal telepon saja?
Ada yang nungguin cerbug ini gak? hehe
Mudah-mudahan ada yee :p :D
Ehhyaa cuma mau ngingetin lagi , cerbug ini cuma copasan :)
Aku copas dari kak Ria Primadiharti :)
Dan kak Ria copas dari sebuah novel yang pengarangnya itu Sylvia L'Namira :)
(NB: Yang nungguin JCSLNW part ending,nnti yaa selesai aku UAS,mungkin aku postnya tgl 6 Juni,kalo 5 Juni mahh sibuk,gak bisa ngepost :p ,okee :DD )
Yukk baca ajaa,cekkidotttttttttttt!!!!!! :DDD
SUARA terompet disusul gedoran di pintu kamar, membangunkanku. Duh! Siapa sih yang menggedor-gedor pintu di pagi-pagi buta seperti ini? gerutuku sebal seraya kembali menarik selimut. Tapi, rupanya gedoran tak akan berhenti sebelum kami membuka pintu dalam keadaan siap siaga. Agni langsung bangkit membangunkanku, kemudian kudapati ia berdiri di pintu, bersiap membukanya begitu aku selesai berpakaian lengkap. Tak lama aku pun dalam keadaan siap dan berdiri tegak di sampingnya. Setelah puas melihat kami berdua berdiri tegak dengan mata nyalang tanda bahwa nyawa sudah terkumpul, barulah tentara yang bertugas membangunkan kami itu pergi. Aku menatap kawan sekamarku dari atas ke bawah. Agni tampak siap siaga dengan kaus warna hijaunya yang dimasukkan rapi ke celana yang dibalut ikat pinggang. Sepatu larsnya bahkan sudah terpasang rapi berikut tali-temalinya yang merepotkan itu. Aku tidak tahu, kapan cewek itu berpakaian? Agni yang menyadari dirinya tengah ditatap sedemikian rupa olehku, dengan tatapan lurus ke depan, menjawab keherananku. ”Gue udah pakai baju gini sebelum tidur. Ada untungnya juga sering nonton film perang.”
Aku mengangguk-angguk mengerti. Pantas saja! Tapi, bagus juga idenya. Kenapa malah tidak terpikir olehku?
”Good thinking,” pujiku tulus. Sekilas aku melihat senyum tersungging di sudut bibir Agni.
Pagi itu kami dikumpulkan di lapangan. Sesi pertama pelatihan dibuka dengan senam pagi ala tentara. Kapten Cook dan Letnan Rose sempat mengernyitkan kening melihatku memakai topi rajut berwarna kuning menyala, tetapi untungnya mereka tak berkomentar apa pun. Ketika peserta sedang mengantre untuk mendapatkan swiss army knife, alat multifungsi yang sangat berguna di berbagai situasi, tiba-tiba Letnan Satu Zian sudah berdiri di sampingku dan menyuruhku untuk melepaskan topi rajut kuningku dengan suara baritonnya. Aku lalu berusaha bernegosiasi dengannya.
”Letnan, tolong, Letnan, saya tidak bisa melepaskan topi rajut ini, ini.. ini.. pemberian ibu saya, dan saya ingin dia selalu ada di samping saya.” Jelas tidak mungkin, aku bilang kalau topi ini penangkal bahaya yang mungkin mengintaiku, dan bagaimana jika kemudian aku ditanya, dari mana asal informasi tersebut. Jelas, aku pun tak mungkin menjawab, bahwa informasi tersebut kudapat dari awan. Bisa-bisa ditertawakan semua orang, aku nanti!
”Tapi ini pelatihan perang, bukan karnaval!”
”Saya butuh topi ini Letnan, please... jangan suruh saya melepaskannya!” Aku semakin panik dan mulai sedikit histeris. Melihat itu, Gabriel buru-buru keluar dari barisan dan menghampiri Letnan Satu Zian. Entah apa yang mereka bicarakan di kejauhan, tapi akhirnya aku diperbolehkan memakai topi rajutku dan kedua instruktur impor pun tidak mempermasalahkan keberadaan topi yang bertengger di kepalaku ini.
Hari pertama pelatihan lebih menekankan teori perkenalan berbagai senjata yang bisa digunakan untuk membela diri; mulai dari penggunaan swiss army knife dan fungsinya belati, sampai ranting pohon yang bisa dijadikan senjata. Kemudian, kami diajarkan kemampuan dasar navigasi berupa peta dan cara menganalisisnya, bagaimana cara mengetahui sistem koordinat, cara membaca kompas, prinsip-prinsip intersection, azimuth dan back azimuth, hingga merencanakan jalur lintasan, dan terakhir, penampang lintasan yaitu penggambaran secara proporsional bentuk jalur lintasan jika dilihat dari samping dengan menggunakan garis kontur secara acuan. Semua ini dipelajari sejak pagi hingga malam hari dan tentu saja sangat menguras tenaga dan pikiran karena harus menghitung dan menghitung ulang agar mendapatkan koordinat yang akurat.
Aku merebahkan tubuhku yang penat ke kasur keras dalam kamar mess. Agni sejak tadi sudah mendengkur dan membuatku iri karena, meski lelah, entah kenapa mataku belum juga mau terpejam. Materi pelatihan besok adalah pengenalan daerah rawan dan ladang ranjau. Entah apa yang akan kami jalani, tapi dari judul materinya saja aku sudah bisa membayangkan, betapa sangat melelahkannya kegiatan pelatihan besok. Setelah mengintip ke jendela dan melihat awan berbentuk kepala Teddy Bear seolah melambai padaku, aku pun tertidur lelap.
Suara gedoran di pintu mengagetkanku lagi. Karena semalam tidur terlambat, aku jadi masih merasa gamang ketika bangkit dari tidur. Kali ini aku mengikuti cara Agni yang tidur dengan mengenakan seragamnya hingga gedoran di pintu bisa segera dihentikan.
Hari kedua, kami diwajibkan memakai rompi anti-peluru dan helm. Oik yang hari ini berdandan cukup mencolok terlihat sangat kecewa karena wajah kami harus dicoreng-moreng.
”Ini adalah kamuflase. Diperlukan untuk menyamarkan keadaan kita selama di daerah pertempuran agar tak cepat dikenali musuh. Mulai hari ini, setiap hari kalian harus sudah memakai perlengkapan seperti ini sejak kalian berkumpul di pagi hari.” Kapten Cook menjelaskan. Meski sedikit kesulitan memahami aksen Australia sang Kapten, kami memahami apa yang disampaikan Kapten Cook tersebut sehingga tak ada alasan bagi Oik untuk mempertahankan blush on-nya.
Pengenalan lapangan rupanya bukan materi teori. Kami diharuskan belajar menyisir daerah hutan dan mengenali berbagai perangkap yang disediakan para instruktur itu. Jika salah langkah dan mengenai ranjau, peserta akan terciprat cat merah pertanda orang tersebut seharusnya mati seandainya ranjau yang diinjaknya adalah ranjau betulan.
Rupanya perjalanan menyisir medan ranjau ini tidak hanya dilakukan dengan berjalan, tapi juga merayap. Fisikku yang belum pernah ditempa latihan berat seperti ini mulai protes. Kakiku sering terasa kram. Terkadang perutku sakit tiba-tiba, dan bahkan kepalaku mendadak terasa berat. Tapi demi tugas mulia yang akan kuemban kelak, bagaimanapun kondisiku, dan apa pun yang kurasakan, aku harus tetap bertahan. Lagi pula, bagaimana aku akan menampakkan wajahku di depan Angel kalau aku menyerah sekarang? Begitu terbayang wajah si Singa, semangatku langsung tinggi dan aku jadi lebih berkonsentrasi. Aku berhasil menemukan beberapa ranjau dan jebakan sehingga mendapat acungan jempol si Bule impor di hari kedua pelatihan ini.
Lagi-lagi gedoran pintu yang membangunkan kami di hari ketiga. Karena sudah mulai terbiasa, aku tak lagi kaget mendengarnya. Hari ketiga ini kami akan belajar cara bertahan dalam penyanderaan dan kerusuhan. Instruktur membuat simulasi dengan sebagian peserta menjadi penyandera dan sebagian menjadi sandera. Di putaran pertama, aku kebagian menjadi sandera bersama Oik. Penyaderanya adalah Gabriel dan beberapa rekan lainnya. Gabriel terlihat lembek sekali terhadap Oik dan menolak menginterogasi gadis itu. Dasar cemen! Apa Gabriel tidak bisa membedakan mana kejadian nyata dan mana yang hanya skenario?
Dalam putaran kedua ketika aku yang berperan menjadi penyandera, kukeluarkan semua aji mumpungku dengan menyiksa Gabriel sebagai ajang balas dendamku yang terpendam. Oik, yang selama dua hari berusaha menarik perhatian para instruktur, tapi gagal, rupanya kembali mengalihkan perhatiannya pada Gabriel. Apakah memang perjalanan jauh dapat menjadikan seseorang tidak lagi berpikiran jernih? Buktinya, Oik yang seharusnya jadi penyandera malah mengusap-usap pipi Gabriel yang baru saja terkena tamparanku. Benar-benar payah punya partner gadis ganjen seperti Oik! Meski ini semua hanya sandiwara, tapi bukankah di lapangan nanti penyandera yang asli lebih keji dari dirinya? Mereka harus siap, bukan? Suatu hari nanti, kalau Gabriel benar-benar disandera, dia akan berterima kasih padaku karena hari ini aku telah menempanya dengan baik. Kuangkat dagu lebih tinggi, tidak mengacuhkan lirikan tajam Oik yang seolah berkata ”Tega lo ya ama partner sendiri?”
Materi di hari keempat adalah tentang penanganan medis di lapangan. Untuk materi ini panitia mengundang tenaga medis palang merah yang usianya masih terbilang muda tetapi sudah bertahun-tahun terjun di medan perang. Kami menyimak dengan saksama penjelasan yang diberikan sang tenaga medis itu dan kami pun berlatih cara melakukan pertolongan pertama, memberi napas buatan, penanganan luka bakar, tulang retak, dan pendarahan. Gabriel yang menyangka akan melakukan napas buatan pada rekan peserta lain–dan dia berharap berpasangan dengan Oik–harus kecewa ketika masing-masing peserta diberikan model boneka untuk latihan napas buatan.
Hari kelima, hari terakhir pelatihan adalah simulasi perang yang berarti kami semua berpakaian lengkap bagaikan seorang tentara dan berperan sebagai wartawan liputan perang. Beberapa tentara TNI AD Kendari dikerahkan untuk melakukan simulasi perang dan perserta harus siap mempraktikkan semua ilmu yang telah kami pelajari selama empat hari kemarin. Agni yang satu grup denganku menyarankan agar aku melepas topi kuning yang mulai berubah warna ini. Karena meskipun warnanya sudah tidak menyala lagi, tetap saja menonjol di antara hijau dedaunan dan pepohonan di dalam hutan, begitu katanya. Tapi tentu saja kutolak permintaannya itu, bahkan aku mengatakan kepadanya, bahwa awalnya aku berencana memakai topi rajutku yang berwarna merah menyala. Akhirnya, Agni pun menyerah dan memilih menjauh dariku seolah aku adalah pembawa bencana. Baik, sana menjauh. Kayak aku peduli aja!
Namun, ternyata justru topi rajut kuning ini yang menyelamatkanku. Topi ini yang membedakanku dengan tentara sehingga tak ada peluru yang nyasar ke arahku. Beberapa teman jurnalis yang tak berhati-hati ada yang terkena tembakan peluru cat.
”Good job, Ashilla! You did great!” puji Kapten Cook sambil menepuk bahuku sebelum berlalu. Aku menatap jumawa pada rekan-rekan jurnalis lainnya setelah kegiatan simulasi itu berakhir.
”Kubilang juga apa, topi ini membawa keberuntungan.” Cengiranku semakin lebar ketika bebeapa raut bete mendelik ke arahku.
Malam terakhir di mess ini, kami dikumpulkan di depan api unggun dan melepaskan ketegangan yang menerpa selama lima hari mengikuti pelatihan ini dengan bernyanyi-nyanyi. Lelah, tapi begitu banyak ilmu kemiliteran yang kami dapatkan. Apalagi swiss army knife yang dibagikan di hari pertama ternyata boleh kami miliki. Pisau serbaguna itu terbukti multifungsi di tangan Oik yang tengah asyik mencongkel-congkel kotoran di kuku kakinya... Memang sulit merubah karakter seseorang.
***
Aku belum pernah merasakan kegembiraan seperti ini ketika kembali ke Jakarta. Perjalanan kembali dari mess dengan truk tronton dan naik pesawat Hercules tidak menjadi persoalan lagi bagiku. Kini aku merasa menjadi orang baru, orang yang terlahir kembali, siap menghadapi segala rintangan dan hambatan yang ada di depanku. Dan aku akan siap menghadapi si Singa dengan penuh...
Dug!
Ouch! Sebuah trolly barang melintang di depanku tanpa permisi dan dengan sukses mengadu kakiku dengan besi tersebut, dan langsung mengembalikanku pada realitas; mencari taksi untuk pulang.
Setelah bersih-bersih dan menumpukkan baju kotor yang menjadikan barang bawaanku dua kali lipat lebih berat, aku pun bergegas ke kantor untuk melaporkan pelatihan kemarin pada Om Dave, sekalian hendak meminta izin cuti dua hari untuk mengunjungi orangtuaku di Surabaya yang sudah berkali-kali menelepon dan meninggalkan pesan di mailbox handphone, menyuruhku pulang. Belum sampai tanganku mengetuk pintu, Angel sudah lebih dulu keluar dari kantor Om Dave.
”Shilla! Back already?”
Sejak kapan dia suka beramah tamah denganku? Aku menatapnya curiga, tanpa senyum.
”Ya, kenapa? Nggak suka?” Sisa pelatihan kemarin masih melekat di kepalaku. Aku tak akan segan mengeluarkan jurus bela diri dasarku padanya jika dia berani berkomentar macam-macam padaku. Melihat aku seagresif ini, Angel langsung mengangkat tangan dan pergi. Good! Selamatkan diri sana! Senyumku puas. Aku mengetuk pintu kantor Om Dave dan langsung masuk.
”Halo, Om.., Shilla datang melapor!”Om Dave mengangkat kepala dari kertas yang sedang dibacanya.
”Simpan dulu laporannya. Ini ada tugas yang pasti menantang buat kamu. Apalagi kamu kan baru selesai training, jadi kamu bisa langsung mempraktikkan ilmu kamu.” Om Dave menyodorkan kertas yang tadi dibacanya.
”Konflik di Ambon? Ini bukannya sudah lama, Om?”
”Betul, tapi ada informasi baru tentang RMS ini, rumor mengatakan kalau mereka akan mengibarkan bendera saat pemilihan presiden nanti. Kau dan kameramen kau itu pergi ke sana dan gali informasi lebih dalam. Kalau perlu kau wawancara itu pimpinan RMS on air.”
Haa? Wawancara pimpinan RMS? Om Dave masih waras nggak, sih? Apa dia tahu, itu artinya aku harus menempuh perjalanan naik-turun gunung dan keluar-masuk hutan? Karena sangat tidak mungkin, pimpinan RMS nongkrong di kafe?
”Rumor ini datangnya dari Angel?” Pertanyaan yang keluar dari mulutku terdengar sinis membuat Om Dave untuk pertama kalinya melirik tak setuju.
”Angel mungkin selalu membuat masalah terhadap kau. Tapi dia pemimpin redaksi yang hebat di kantor ini. Kau justru harus banyak belajar dari dia.”
”Oke, sorry, Om. Anyway, sebelum ke Ambon, Shilla boleh ambil cuti dulu dua hari? Mau ke Surabaya.”
”Mamak kau juga meneleponku setiap hari selama kau di Kendari. Biarlah mamak kau itu menunggu sebentar lagi. Kau pergilah meliput ke Ambon.”
Aku melirik ke luar jendela kantor Om Dave untuk melihat pertanda di sana. Hanya tampak awan sirokumulus yang bentuknya berkeping-keping. Tak ada bentuk khusus. Kembali kupusatkan perhatian ke Om Dave.
”Tapi Shilla dengar nggak ada pesawat yang mau ke sana, Om.”
”Kalian berangkat naik pesawat carter.”
”Pesawat carter? Betulan, nih? Kan mahal, Om!” Aku masih berusaha mengajukan alasan, karena menyewa pesawat carter berburu informasi yang berasal dari rumor sangat mubazir menurutku.
”Aku punya uang, aku bisa bayar berapa pun sewanya. Kau cari perusahan pesawat carter yang mau antarlah!”
Sepertinya aku memang tidak bisa mengelak lagi. But, hey... pesawat carter? Kapan lagi, ya nggak?
”Mantaplah kalau begitu. Shilla balik ke meja dulu ya, Om.” Aku langsung menelepon Gabriel untuk berbagi berita ini pada partnerku itu. Ternyata tanggapan Gabriel tidak seperti yang kuduga.
”Apa? Ke Ambon? Shilla, kita kan baru balik dari Kendari, masa udah harus berangkat lagi?”
”Ini berita eksklusif, Yel, elo mau jadi bagian sejarah apa nggak?”
”Sejarah apa? Gue masih capek, Shil!”
”Tapi ini perintah Om Dave!”
”Lagian ngapain juga sih lo pake ke kantor segala. Ini kan hari libur kita. Besok baru masuk.”
”Gue kan harus ketemu sama om gue. Sekalian mau ceritalah.” Tanpa perlu kutambahkan kalau itu adalah persyaratan dari Mama agar aku selalu melapor ke omku yang kuanggap sebagai orangtua keduaku di sini, sebagai konsekuensi penolakanku untuk tinggal di rumah Om Dave yang besar itu. Lagi pula, mana enaklah tinggal sama om sendiri, jadi nggak bebas ke mana-mana! Mending aku ngekos, meski karena itu aku jadi harus wajib lapor setiap saat.
”Aah... cari masalah aja sih lo. Besok kan masih bisa lapor. Hari ini kita masih cuti, Shil! CUTI!” Gabriel menggerutu panjang-pendek. Namun langsung terhenti ketika aku menyebutkan masalah pesawat carter.
”Kita nggak berangkat sekarang, Yel, kita berangkat setelah gue dapet info tentang pesawat carter mana yang mau bawa kita ke Ambon. Soalnya pesawat komersil nggak ada yang mau bawa penumpang ke sana.”
”Jangankan pesawat komersil, gue aja sebenarnya males ke sana kalo nggak karena dipaksa.”
”Ya udah, gue cari info dulu deh. Elo tidur lagi sana!” Aku buru-buru menyudahi pembicaraan. Kadang Gabriel bisa terdengar seperti perempuan cengeng!
Aku duduk di meja dan menatap ke luar. Selain sirokumulus, ada juga awan di langit yang rendah dengan bentuk awan menyerupai anjing. Wah! Anjing? Pertanda kurang baik, nih. Kuraba kepalaku dan baru ingat kalau topi rajut kuning ada di tumpukan cucian. Setelah lima hari terus-menerus menempel di kepala, topi itu serasa masih bertengger di sana sehingga aku tak sadar kalau berangkat ke kantor tadi topi itu sudah tidak ada di kepalaku. Dengan jantung berdebar aku mengucap syukur, tidak terjadi apa pun yang tak diinginkan dalam perjalanan menuju kantor tadi. Tanganku sedikit gemetar ketika mengangkat telepon dan menghubungi perusahaan carter pesawat yang ada di buku telepon.
Perusahaan pertama yang kuhubungi menolak, begitu pun perusahaan kedua dan seterusnya, hingga perusahaan kelima yang ada di list itu pun menolak. Aku menatap nomor telepon perusahaan terakhir. Eaglestrike Air. Sepertinya dari namanya keren, semoga pemiliknya tidak pengecut seperti perusahaan lain yang lebih mengkhawatirkan asuransi pesawatnya dibandingkan sejarah yang akan mereka buat selama siaran langsung dari tempat konflik itu. Padahal, aku sudah berjanji akan sering-sering menyebutkan nama perusahaan mereka agar mereka bisa sekalian iklan gratis. Tapi tetap saja mereka menolak. Aku menahan napas menunggu pesawat telepon di seberang diangkat.
”Eaglestrike Air, Dayat di sini, bisa dibantu?”
”Selamat siang, saya Ashilla dari stasiun televisi NTS.”
”Halo Ashilla. Ada yang bisa saya bantu?”
”Kami ingin mencarter pesawat ke Ambon, Pak.”
”Wow! Ambon? Itu daerah konflik, Non, mau apa ke sana?”
”Ya meliputlah, Pak, bisa?” Dayat diam. Aku berdoa semoga Dayat tidak mengecewakanku, seperti kelima perusahaan sebelumnya.
”Saya harus cari pilotnya dulu, karena tidak semua pilot mau terbang ke sana.”
Wow! Sepertinya ada sedikit harapan.
”Oke. Tolong kabari saya secepatnya ya, Pak. Ini nomor saya.” Aku menyebutkan nomor handphone-ku. Pembicaraan pun disudahi setelah Dayat berjanji akan mengontakku segera setelah mendapatkan pilot yang bersedia membawaku terbang ke sana. By the way... memangnya Dayat harus pergi ke mana untuk mencari pilot itu? Memangnya sulit sekali mencari pilot yang bersedia terbang ke daerah konflik? Bukannya tinggal telepon saja?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar