Sabtu, 25 Mei 2013
In:
KAU
KAU *part 8
JAM terbang ke daerah bencana membuat aku lebih percaya diri dan minta dikirim ke daerah konflik betulan. Helloww... aku kan udah training gitu loh! Masa sih nggak pergi ke medan perang? Keahlian bertahan hidupku kan harus dipraktikkan, pisau swiss army-ku udah jadi alat meni-pedi sekarang, persis seperti yang dilakukan Oik dulu di mess pelatihan Kendari. Sudah bisa kuduga, tentu saja awalnya Om Dave menolak. Dan seperti sebelumnya, aku tetap memaksa.
”Akan ada rombongan dari Mercy Corps yang akan ke Palestina, Om!”
”Palestina?” Sumpah, sepertinya Om Dave akan pingsan di tempat saat itu juga. ”Tapi di sana kan lagi perang, Shil.” Bukannya itu tujuan aku dikirim ke pelatihan ya? Buat meliput daerah perang?
”Ya, Shilla ke tempat pengungsian kok, Om, bukan ke tengah medan perang. Mercy Corps kan isinya dokter-dokter, dan mereka mengirim bantuan. Shilla mau ikut, Om. Ada pengungsi Palestina yang terjebak di sebuah tempat pengungsian di perbatasan No Man's Land. Mereka nggak bisa ke mana-mana karena ditolak kedua negara tersebut, sementara balik ke Palestina juga nggak mungkin karena negara mereka sedang perang. Shilla ingin pergi, Om... please... please... please...”
Aku sudah banyak mencari informasi mengenai No Man's Land yang terdapat di perbatasan antara Irak dan Suriah. Para pengungsi dari Palestina ini menderita sekali hidupnya, bahkan UNHCR sendiri meramalkan mereka hanya akan mampu bertahan hidup selama dua bulan saja. Negara-negara di Eropa telah diimbau untuk mengambil mereka untuk dijadikan warga negara, namun anehnya (dan sedihnya) negara-negara Islam sendiri yang berada di sekeliling mereka seperti menutup mata akan nasib mereka. Om Dave menghela napas dan berusaha mencari alasan.
”Tapi kontrak kerja dengan Eaglestrike Air sudah berakhir.” Iya, aku tahu. Sebenarnya sedih juga sih tidak terbang lagi bersama Cakka, karena aku sudah terbiasa dan merasa nyaman duduk di kabin pilot berdua dan membahas awan. Apalagi Cakka dan aku sudah seperti satu paket sekarang. Ke mana-mana selalu berdua.
Selama ini, baru Cakka satu-satunya cowok yang nyambung kalau aku bercerita tentang awan dan cuma dia yang nggak menertawakan pikiranku bahwa mereka seolah berbicara padaku bahkan memberikan peringatan padaku. Terakhir aku pergi ke Tasik saat ada gempa di sana menggunakan helikopter carteran, aku menceritakan pada Cakka semua jenis awan yang ada di langit. Ketika kusebut nama awan favoritku, virga, dia sempat terdiam sejenak, tetapi kemudian sikapnya biasa lagi seperti tidak ada apa-apa. Mungkin sejak kecil dia sudah sering mendengar celotehan tentang awan dari ibunya yang penggemar awan itu. Aku jadi ingin sekali berkenalan dengan ibunya Cakka. Sayang, dia belum juga menyatakan perasaannya padaku. Deadline yang kuberikan masih dua hari lagi. Kalau belum ada juga, siap-siap saja menerima kejutan dariku, pikirku sambil tersenyum dalam hati membayangkan ekspresinya nanti saat aku 'nembak' dia. Tapi pekerjaan adalah pekerjaan. Dengan atau tanpa Cakka yang mengantarku ke tempat liputan, aku tetap harus pergi.
”Iya, Shilla tahu, makanya Shilla ikut rombongan ini, kan mereka sewa pesawat sendiri.”
Aku tahu, pasti Mama yang menjadi pertimbangannya. Kalau soal meliput berita sih sepertinya Om merestuiku karena NTS yang menyajikan berita teraktual selalu menayangkan siaran langsung dari daerah konflik, meskipun harus membeli hak tayang dari stasiun televisi luar negeri. Kini aku menawarkan untuk pergi ke sana dan meliput secara langsung apa yang terjadi di sana. Bukankah itu bisa menaikkan pamor NTS dari TV yang hanya membeli hak tayang, menjadi TV yang meliput langsung dari tempat kejadian? Aku pun berharap bisa menjadi bagian dari sejarah dengan melaporkan keganasan perang itu langsung dari tempat kejadian. Aku bisa melihat Om Dave berpikir keras dan mempertimbangkan segala kemungkinan yang ada.
”Kamu pernah dengar kan reporter yang disandera di Irak?”
”Iya pastilah. Itu kan berita terheboh. Seandainya Shilla yang waktu itu ke Irak pasti Shilla udah terkenal sekarang seperti reporter itu!”
”Hush! Hati-hati kalau mengucapkan keinginan.” Kembali Om Dave termenung. ”Biar Om pikirkan dulu masalah ini. Nanti Om beri kabar.”
”Harus cepat, Om, soalnya mereka berangkat tiga minggu lagi dan Shilla harus segera memberi kabar atau mereka akan mengajak stasiun TV lain.” Om Dave hanya mengangguk.
Handphone-ku berbunyi di pagi buta lagi. Dan lagi-lagi nomor handphone Mama yang muncul di layar. Memangnya masa promosi gratis telepon subuh belum berakhir juga?
”Ya, Mam,” suara serak dan dilemas-lemasin biar bikin Mama merasa bersalah.
”Shil! Shilla!” Lho? Kok suara Papa?
”Ada apa, Pa?” suaraku berubah seratus delapan puluh derajat.
”Mama sakit, Shil. Kamu harus pulang secepatnya.” Pulang? Tapi... Palestina gimana? Aku dilanda dilema berat.
***
”Shilla, Mama senang kamu di sini. Mama jadi tambah sehat.” Aku tersenyum. Seminggu sudah aku di Surabaya menemani Mama di rumah sakit. Mama tampak lebih kurus dari biasanya. Rupanya penyakit darah rendah yang diderita Mama makin parah karena Mama kurang memerhatikan kesehatannya. Bisnis rumah makan mereka tambah sibuk ditambah lagi musim liburan yang hampir tiba. Banyak hotel dan penginapan yang memesan katering dari rumah makan Mama sehingga membuatnya lupa menjaga kesehatan. Papa yang sudah berbusa-busa mengingatkan pun tak digubrisnya. Akhirnya Mama jatuh di kamar mandi.
Angel, yang ternyata tak memiliki hati, melarangku pergi, karena menurutnya liputan ke Palestina akan mengangkat rating NTS dan otomatis mengangkat reputasinya juga.
”Aku nggak peduli sama rating NTS! Aku harus pulang!”
”Tapi kamu sudah terdaftar di rombongan Mercy Corps! Selain itu, kamu kan yang ingin pergi dari awal? Apa etis membatalkan kepergian begitu saja?” Etis? Siapa yang peduli soal etika ketika mendengar mamanya sakit? Aku jelas nggak memikirkan soal etika di saat seperti ini!
”Kalo gitu cari reporter lain. Aku mau cuti.”
”Yo can NOT do that! Ini bukan perusahaan milik nenek moyangmu!”
Iya bukan milik nenek moyangku, tapi milik Omku.
”Angel, listen. Mamaku sakit. Beliau masuk rumah sakit. Aku HARUS pulang.” Aku nggak habis pikir, apa Angel nggak dengar apa yang aku sampaikan dari tadi? Mamaku sakit. Apa dia nggak punya perasaan?
”I don't care!” That's it! Ternyata sikap baik yang kutunjukkan ke Angel tak membuahkan hasil apa-apa. Dia tetaplah seorang wanita berhati besi yang tak memiliki setetes pun belas kasih. Percuma selama ini aku mencoba menularkan kebaikan padanya. Semua hanya membuang waktu dan tenaga saja.
”Oke. Kalau begitu aku juga nggak peduli. Aku cuti sampai mamaku sembuh!”
”Nggak ada cuti macam itu! Dan aku yakin Pak Dave tak akan mengizinkanmu!”
”Lihat aja!” Aku bergegas menemaui Om Dave dan tentu saja aku mendapatkan cuti selama yang aku mau. Mama adalah kakaknya. Angel sudah gila barangkali kalau dia pikir Om Dave tidak akan mengizinkanku pergi.
Dan sekarang, aku pun bisa bernapas lega. Setelah seminggu dirawat, kini Mama pun diperbolehkan pulang dengan syarat dan pantangan yang harus Mama jalani.
”Kamu tetap di sini dulu ya, Shil, temani Mama.”
Selama ini, Papa tak pernah meminta apa pun dariku. Maka ketika Papa mengucapkan ini, aku pun langsung mengangguk. Lagi pula, rombongan ke Palestina sudah berangkat sejak tiga hari yang lalu. NTS mengirim reporter lain ke sana. Sedikit ada rasa sedih tidak bisa berangkat dengan rombongan orang-orang hebat yang mengabdikan diri mereka untuk melakukan kebaikan. Namun, menjaga Mama adalah kewajibanku, apalagi Mama tak mau mendengarkan kata Papa.
”Shil, Mama mau ngomong sesuatu.”
”Apa, Ma?” tanyaku sambil memijiti kaki Mama. Ini kegiatan kami tiap pagi. Setelah jalan pagi, kami akan duduk-duduk santai di teras belakang menikmati udara pagi sambil bercakapkcakap. Aku akan memijit kaki Mama, dan rupanya Mama sangat menyukainya.
”Tentang anak teman Mama itu.” Oh, dia. Siapa dulu namanya? Kaki? Kikan? Siapa sih? Aku bahkan tak ingat lagi namanya.
”Hmm? Kenapa dia, Mam?”
”Kata teman Mama, dia suka sama kamu.” Kaki suka sama aku? Sejak kapan? Bukannya kami belum pernah ketemu?
”Kok bisa?” tanyaku kaget.
”Kan, Mama pernah kasih foto kamu.”
”Trus apa urusannya dia suka sama Shilla?”
”Ya, karena teman Mama bilang si Kaka mau cari pacar. Kamu mau ya dikenalin ke dia?” Oh iya, namanya Kaka!
”Mam, aku kan udah punya pacar.”
”Ah, yang bener? Kamu bilang udah putus sama Gabriel?” Gara-gara aku kesal karena Gabriel sekarang sok dan lebih senang bergaul dengan presenter berkaki panjang dibanding hang out sama aku lagi, aku bilang ke Mama kalau kami sudah putus. Deadline dua hari yang kuberikan pada Cakka pun sudah lewat, dan aku belum sempat 'menembak'nya karena keburu terbang ke Surabaya. Namun, setelah kupikir, dalam keadaan genting seperti ini, tidak ada salahnya aku mengaku-aku sebagai pacarnya.
”Shilla kan dapat pacar baru, Mam.”
”Oh ya? Siapa? Kok Mama nggak dikasih tau?”
Bilang ke Mama nggak ya?
”Karena kami memang masih baru pacarannya.”
”Siapa dia?”
Ngaku-ngaku aja nggak pa-pa kali ya? Toh nanti juga kami akan jadian resmi.
”Dia itu.. ng.. kenalan Shilla. Dia yang selalu nganterin kami meliput.” Tak lama lagi kami akan jadian. Pasti! Aku yakin!
”Kapan kamu akan ngenalin dia ke Mama?”
Nah, ini dia pertanyaan yang aku tak harapkan kehadirannya.
”Ng... gimana ya? Dia ini sering keluar kota, Mam, jadi susah nangkepnya.”
”Shil, kenapa sih nggak belajar dari pengalaman? Hubungan jarak jauh itu sulit. Kamu sama Gabriel aja putus kan gara-gara dia sering keluar kota?”
Ops! Mama ingatannya kuat juga. Aku memang waktu itu bilang kalau aku dan Gabriel tak ada komunikasi karena kami sering berpisah lama.
”Tapi yang ini keluar kotanya nggak sampe lama kok. Cuma sehari trus pulang lagi, gitu.”
”Namanya siapa?” Aku diam. Pura-pura menganggap Cakka pacarku adalah hal yang mudah jika tak harus menyebut namanya.
”Namanya... ng... namanya...” Aku menoleh ke belakang sambil menggumamkan namanya.
”Siapa?”
”Ya ampun, Mam! Kita belum sarapan!”
”Siapa namanya?” Mama tidak akan menyerah.
”Cakka, Mam. Namanya Cakka.”
”Cakka. Mama suka namanya. Orang mana?”
Nah lho! Orang mana ya? Aku belum pernah menanyakan asal usul Cakka. Tapi kalau dilihat-lihat sepertinya dia ada keturunan bule. Tapi tentu saja aku tidak akan menyebutkan fakta itu secara udah terkenal kalau aku nggak doyan bule.
”Sepertinya orang Sumatra, Mam.” Aku mengarang bebas. ”Oh, bagus... bagus...” Mama mengangguk puas. Memang harapan Mama adalah aku bisa menikah dengan cowok berdarah Sumatra. Aku harap Cakka memiliki darah Sumatra. Entah kenapa, tiba-tiba aku jadi kangen sama Cakka dan ingin meneleponnya nanti malam.
Mengurus Mama ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Berkali-kali Mama menolak minum obat, alasannya, ” Kamu mau ngeracunin Mama ya?” Atau menolak makan, ” Nggak enak!” Semua itu karena teman Mama yang sudah mendengar kalau aku sudah punya pacar kecewa berat dan tak jadi datang menjenguknya. Padahal, Mama paling suka didatangi teman-teman arisannya dan ngobrol seharian. Rupanya Mamanya Kaka ini adalah sahabat paling dekatnya, dan dalam hati aku yakin Mama sebenarnya kecewa juga karena aku dan anak sahabatnya itu tidak jadi diperkenalkan. Namun, Mama berusaha menutupinya dan kelihatan berbahagia atas pilihanku ditambah lagi pacarku kan orang Sumatra.
Sementara, Cakka pun sulit sekali dihubungi sehingga membuatku uring-uringan karena harus menghadapi sikap senewen Mama dan menata perasaanku sendiri yang kacau balau. Aku tidak tahu kenapa Cakka tidak bisa dihubungi. SMS-ku tidak dijawab, teleponku tak diangkat, dia pun tak mengirimkan berita sama sekali. Aku benar-benar resah dibuatnya. Aku ingin kembali ke Jakarta, tetapi kondisi Mama belum sepenuhnya pulih.
Seminggu kemudian, ketika aku sedang menonton televisi, aku melihat berita kecelakaan pesawat yang jatuh dan hilang di perairan Riau. Mesin pesawat itu mengalami kerusakan dan akhirnya pesawat jatuh di perairan Riau. Aku bagai dihantam tsunami begitu melihat foto pilot dan co-pilot yang hilang di perairan Riau, yang ditayangkan di televisi. Ternyata pilot tersebut adalah Cakka!
Aku menjerit kaget dan terduduk lemas di kursi. Sesaat aku terpaku menatap layar televisi. Tanpa terasa air mataku meleleh di pipi. Cakka. Itu tidak mungkin Cakka. Aku tak bisa membaca nama yang tertera di layar karena air mata menutupi pandanganku. Tapi itu bukan Cakka! Ya Tuhan, semoga itu bukan Cakka.
” Eh, itu kan anak temannya Mama!”
Mama yang mendengar jeritanku tiba-tiba sudah berdiri di belakangku dan ikut berseru kaget melihat foto Cakka. Apa? Aku menoleh dan pecahlah tangisku. Mama kaget melihatku menangis.
”Kamu kenapa, Shil?” Mama menghampiriku dan memelukku. ”Shilla, kamu kenapa?”
Aku menunjuk ke layar televisi dengan tangan gemetar.
”Itu Cakka, Mam.” Mama menarik napas kaget. Jadi selama ini yang Mama maksud Kaka adalah Cakka. Kenapa aku bisa sebodoh ini? Kenapa aku tidak meng-cross check terlebih dulu? Sekarang semua sudah terlambat. Cakka hilang di laut dan kemungkinan tak akan ditemukan lagi. Dia ingin berkenalan denganku bahkan mungkin dia akan melamarku! Cakka tahu aku adalah anak teman mamanya. Dia tahu karena dia sudah melihat fotoku dan mungkin juga sudah mengenaliku saat kami pertama bertemu. Pantas sikapnya kadang aneh padaku, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi. Dia tak pernah mengucapkan apa-apa karena dia tahu aku adalah Ashilla. Mungkin dia ingin proses perkenalan kami berjalan secara alami. Dan memang aku akui aku menyukainya bahkan jatuh cinta padanya. Tapi sekarang semua terlambat! TERLAMBAT! Hatiku hancur mengingat semua itu.
”Cakka nggak pernah bilang, Mam...” isakku pilu.
Mama membelai kepalaku.
”Cakka nggak pernah bilang... dia nggak pernah bilang padahal kami sudah sering ketemu. Kenapa? Kenapa Mam?” Mama hanya memelukku lebih erat dan ikut menangis bersamaku.
Cakka Kawekas Virganero. Itulah nama asli Cakka yang kuketahui dari berita di televisi. Bahkan namanya mengandung nama awan favoritku, Virga. Dialah awanku. Dia yang kuinginkan selalu ada di dekatku. Ternyata kehilangan begini rasanya. Sakit sekali seperti ditusuk-tusuk dan nyeri jika mengingatnya.
Aku memantau proses pencarian dari Surabaya. Aku memperpanjang cutiku karena kurasa aku tak akan sanggup kembali ke Jakarta dan menjalani hidup seolah tak terjadi apa pun. Aku tahu aku bersikap konyol karena Cakka bahkan tak pernah mengungkapkan perasaannya padaku. Namun, bukankah dia bilang ke mamanya kalau ia ingin berkenalan denganku? Bukankah itu artinya dia ingin jadi pacarku? Lewat Mamanya atau langsung ke aku, sama saja buatku. Yang penting adalah niat Cakka yang ingin mengenalku lebih dekat, itu sudah cukup. Belum lagi kebersamaan yang selama ini terjalin.
Proses pencarian yang dilakukan aparat terkait terkesan lamban dan membuatku gemas setengah mati. Sudah dua hari belum juga berhasil ditemukan letak jatuhnya pesawat. Bagaimana kalau ternyata Cakka masih hidup dan terperangkap di dalam pesawat? Kalau tidak segera ditolong, bukankah dia bisa mati karena kehabisan oksigen atau bahkan lebih parah, dia bisa saja dimakan ikan hiu! Aku bergidik ngeri membayangkannya.
Mama mengajakku menemui Mamanya Cakka yang sedang berduka di rumahnya untuk memberi dukungan. Nyonya Winda tinggal berdua saja dengan Cakka sejak suaminya meninggal. Bisa kubayangkan, betapa hancur hatinya ditinggal anak satu-satunya. Aku melihat-lihat album foto keluarga yang disodorkan Ny. Winda. Terlihat di sana Cakka kecil, Cakka sedang naik sepeda dengan senyum lebarnya dan menunjukkan gigi ompong, dan ayah Cakka yang ternyata benar seorang bule.
”Shilla... seandainya Kaka bisa berkenalan denganmu, Nak.” Ny. Tanti terisak-isak di pelukan Mama. Aku jadi menangis lagi.
”Saya sudah kenal dengan Cakka, Tante.”
Ny. Winda mengangkat wajahnya kaget.
”Kami berkenalan di Jakarta. Saya tidak tahu kalau dia adalah Kaka. Saya taunya dia itu namanya Cakka.” Aku pun menceritakan perkenalan kami dan perjalanan kami ke daerah bencana untuk menyalurkan bantuan dan obrolan kami selama perjalanan tersebut.
”Berarti selama ini yang dia ceritakan ke Tante itu kamu. Ooh.. kenapa nasibnya malang seperti ini. Dulu dia ditinggal pacarnya ke luar negeri, sekarang malah dia pergi mendahului.” Ny. Winda menangis teringat anaknya.
Aku baru tahu kalau Cakka pernah punya pacar. Dia tidak pernah menceritakannya padaku. Kalau diingat-ingat dia memang tidak pernah menceritakan kehidupan pribadinya padaku. Dia hanya bercerita masalah pekerjaan, pesawat, dan kegiatan yang sedang kami lakukan saat itu. Itu pun hanya sedikit karena aku yang lebih banyak mendominasi pembicaraan.
”Tante dengar gadis yang disukai Kaka penyuka awan. Tante pun sangat menyukai awan. Itulah kenapa tante menamakan dia dengan nama awan favorit tante, Virga.” Aku pun menyukai awan Virga. Aku tersenyum sedih.
Kami bisa jadi pasangan yang harmonis, aku dan Cakka. Apalagi kesukaanku dan mamanya sama. Dijamin tidak akan ada episode mertua kejam versus menantu malang. Tapi semua sudah terlambat. Sudah seminggu tim pencari belum juga menemukan bangkai pesawat, apalagi pilot dan co-pilot-nya. Harapan makin tipis untuk menemukan mereka dalam keadaan hidup.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar