Sabtu, 25 Mei 2013
In:
KAU
KAU *part 6
MALAMNYA, aku tidak bisa memejamkan mata. Tas ransel seperti
yang disarankan Cakka untuk kubawa telah siap dan teronggok di sudut kamar. Aku
merasa sedikit konyol karena telah mendengarkan saran cowok itu. Masa pergi dua
hari hanya membawa perlengkapan satu tas ransel? Namun, Cakka memaksakan
sarannya karena dia bilang, dia tidak akan berhenti untuk membantuku mengangkat
koper. Huh! Berani-beraninya dia mengancamku begitu. Lagian, siapa yang mau
minta tolong sama dia? Aku bisa kok membawa koperku sendiri! Tapi, sebenarnya
bukan soal koper dan ransel yang membuatku tidak bisa tidur malam ini. Di
hanggar, sebelum pulang, Cakka memberi pesan singkat. Salah satunya mengenai
ransel, dan satu lagi mengenai keadaan di daerah konflik seperti di Ambon yang
akan kudatangi. Dia bilang, aku harus bermental baja dan siap dengan segala
risiko seorang jurnalis perang, termasuk siap untuk mati di tempat. Apa-apaan!
Aku rasa dia hanya sedang mencoba menakut-nakutiku, mungkin dia hanya ingin
mengusiliku karena mendengar bahwa ini adalah penugasan pertamaku ke daerah
konflik–thanks to Gabriel si ember bocor! Tapi Cakka belum kenal siapa aku. Ia
belum tahu bahwa aku mendapat nilai tertinggi selama pelatihan di Kendari
kemarin, yang berarti kemampuanku untuk bertahan hidup di kondisi sesulit apa
pun, sudah di atas rata-rata perempuan biasa. Terus terang, kekagumanku pada
Cakka yang hanya sebesar nol koma sekian persen itu jadi semakin menipis karena
gaya sok taunya itu.
Paginya, aku bangun dengan kepala sedikit pusing. Namun, begitu lagi-lagi aku melihat awan virga di langit pagi, sakit kepalaku pun langsung hilang. Langkahku terasa ringan dan santai, padahal, jelas-jelas aku akan pergi ke Ambon.
Begitu aku datang, Gabriel dan beberapa kru yang sudah menunggu di hanggar, bergegas masuk ke pesawat. Kami pun siap berangkat. Jauh dari harapanku, kapten Cakka ternyata tidak memakai seragam pilotnya. Jeans belel dan kemeja rupanya masih setia menghiasi penampilannya hari ini. Aku menghela napas. Musnahlah sudah khayalanku bisa berjalan di sisi seorang pilot yang gagah.
Cakka menutup pintu yang menghubungkan kabin penumpang dengan kabin depan, dan memutus komunikasi dengan para penumpang setelah aku berusaha mengajaknya ngobrol. Sombongnya! Padahal aku cuma bilang kalau awan di atas sangat indah dan meminta dia untuk lebih mendekat ke awan-awan tersebut. Tapi dia malah menutup pintu kabin.
Di mana-mana orang ganteng emang belagu, pikirku sewot.
Masih menyisakan kesal atas keangkuhan Cakka, aku pun kembali ke tempat dudukku dan mengagumi awan favoritku yang tampak dekat sekali seolah jika aku mengulurkan tangan, aku akan bisa merasakan lembutnya awan-awan di sekelilingku itu.
Terlepas dari bahaya yang mungkin mengancam, aku senang berada di pesawat ini. Tiba-tiba, aku merasa pesawat kecil ini seperti bertambah naik dan terus naik mendekati awan-awanku. Ooh.. andai aku bisa meraihnya! Aku menjerit kecil, merasa senang karena bisa memandang awan-awan kesukaanku dari dekat. Rupanya Cakka mendengar ocehanku. Aku tersenyum dalam hati. Kupandangi puas-puas awan-awan sirus itu dari dekat dan melihat berbagai bentukannya.
”Nemu kepala monyet, Shil?” ledek Gabriel.
”Nggak usah nyari di luar kalo itu mah! Tinggal noleh aja ke samping,” jawabku tanpa menoleh. Beberapa kru tertawa mendengarku men-skak mat Gabriel.
Baru saja aku menangkap bentukan awan yang menyerupai kepala naga, pesawat mulai merendah dan kami pun tiba di Bandara Pattimura. Oh my God! Oh my God! Kepala naga! Again! Aku mengeluarkan topi rajut merahku dan memakainya. Gabriel sempat menatapku dan terlihat ingin bertanya, tapi sebelum dia bertanya aku langsung mengikuti kru menuju mobil sewaan kami dan meluncur ke Pulau Seram, tempat yang diduga masih menjadi tempat persembunyian pendukung RMS.
Seharian kami menempuh perjalanan ke Pulau Seram. Dalam pemberhentian, kami membuka mata dan telinga lebar-lebar untuk mencari informasi tentang pergerakan RMS. Penduduk setempat terlihat sangat berhati-hati menjawab pertanyaan kami. Mungkin mereka takut, kami bukan wartawan sungguhan, melainkan polisi atau tentara yang sedang menyamar. Sebab menurut mereka banyak kejadian seperti ini terjadi. Polisi berpura-pura menjadi pedagang, berpura-pura menjadi peneliti, dan akhirnya malah menangkap orang-orang yang dianggap mencurigakan.
Gabriel, dengan kemampuannya berkomunikasi, langsung menarik hati para penduduk sekitar–terutama perempuan muda Ambon, jangan tanya kenapa–dan berhasil mengumpulkan sebanyak mungkin informasi. Namun petunjuk yang kami dapatkan tak kunjung menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan. Bahkan hingga malam tiba, jangankan berhasil mewawancarai pimpinan RMS, informasi mengenai dugaan pergerakan RMS ataupun informasi mengenai pimpinan RMS yang mungkin masih bersembunyi saja belum berhasil kami dapatkan. Sementara, besok siang kami sudah harus kembali ke Jakarta.
Kami menginap di sebuah penginapan sederhana dengan pintu kayu yang sudah reyot.tengah malam, tiba-tiba terjadi gempa yang cukup dahsyat. Gabriel menggedor pintu kamarku yang terkunci dan memanggil-manggil dari luar.
”Shilla! Shilla! Bangun! Cepet keluar!”
”Yel, tolong gue! Gabriel! Iyel!” Aku yang sudah bangun sebelum Gabriel mengetuk pintu kamarku, berusaha membuka pintu kamar, namun ternyata pintu sudah bergeser dan aku tak bisa membukanya, begitu pun jendela. Ya Tuhan. Aku kembali teringat kepala naga yang tadi siang aku lihat. Ya Tuhan! Aku takut sekali. Apakah ini berarti aku akan mati dalam ruangan sempit ini? Bahkan di saat aku belum mendapatkan berita apa pun untuk menunaikan tugasku, seperti saat ini? Dalam kepanikan aku masih berusaha untuk tetap berpikiran jernih dan sadar untuk melindungi diriku di sudut ruangan, jauh dari lemari dan benda-benda yang mudah jatuh seperti yang diajarkan di latihan evakuasi gempa. Segitiga kehidupan! Ya, aku harus mencari segitiga kehidupan! Aku berdoa memohon keselamatan sambil memejamkan mataku. Aku teringat Mama dan Papa, bagaimana mereka bisa melanjutkan hidup tanpaku, anak mereka satu-satunya? Aku memohon ampun pada Tuhan atas semua dosa-dosa yang pernah kuperbuat. Bahkan aku berjanji untuk mencoba bersikap baik pada Angel jika aku selamat dari musibah ini. Kengerian ini berlangsung lama dan tiba-tiba sesuatu menimpaku dan semua menjadi gelap.
”Shilla... Shilla...” Sesuatu yang dingin menyentuh pipiku. Mataku berat dan seluruh tubuhku terasa sakit. Aku ingin mengucapkan sesuatu tapi lidahku terasa kelu. Tak sepatah kata pun yang terucap dari bibirku.
”Shil, bangun, Shil.. Shilla!” Kali ini sesuatu yang panas menyentuh pipiku. Aah.. apa sih ini! Biarkan aku tidur! Kepalaku sakit!
”Shilla! Bangun, Shil. Kamu harus bangun!” Lagi-lagi suara mengesalkan itu mencegahku dari usahaku untuk melanjutkan tidur. Aku membuka mata dan kulihat wajah seseorang menatapku begitu dekat. Aku mengeluh karena pusing dan membuang pandanganku.
”Shilla, lo sadar! Syukurlaaah!” Beberapa orang mengucapkan syukur menurut agama dan kepercayaan mereka masing-masing. Apa yang terjadi? Kenapa kepalaku rasanya sakit sekali? Dan siapa tadi yang menatapku begitu dekat dan membuatku pusing? Kupalingkan lagi wajahku perlahan dan kulihat Gabriel yang sekarang ada di dekatku.
”Yel...” seruku lemah. Gabriel menggenggam tanganku.
”Elo selamat, Shil. Elo selamat!”
”Ada gempa tadi.”
”Iya, tapi elo selamat. Udah, lo nggak usah takut lagi, ya. Cakka datang ke sini tadi buat nolongin elo.”
Cakka? Bukannya dia ada di Bandara Pattimura? Dia menyusul kemari? Sangat tidak masuk akal, tapi sepertinya memang wajah dia yang aku lihat pertama kali saat aku membuka mata barusan.
”Yang lain?”
”Yang lain selamat. Kita semua selamat, Shil. Kamera dan perlengkapan kita hancur, tapi semua kru selamat.” Oke, good. Lalu semua gelap lagi.
Ketika bangun, aku mendapati kerai hijau mengelilingiku. Aku menoleh ke samping dan melenguh kesakitan karena denyutan di kepalaku membuat ruangan menjadi tampak seperti berputar. Seseorang duduk di kursi samping tempat tidurku. Mendengarku, orang itu langsung menegakkan duduknya. Cakka.
”Yang lain sedang istirahat, jadi saya nungguin kamu di sini.”
”Makasih.”
”Masih pusing?”
”Dikit. Haus.”
Dengan sigap, Cakka menyorongkan air minum dengan sedotan putih kepadaku.
”Kita terpaksa menunda kepulangan ke Jakarta karena kamu belum memungkinkan untuk terbang.” Aku terdiam. Berita tidak kudapatkan, yang kudapat malah kenyataan bahwa aku tertimpa kaso atap kamar yang runtuh. Betapa konyolnya. ”Bos kamu sudah membayar lebih untuk penundaan ini, berikut biaya rumah sakitnya. Jadi kamu nggak usah khawatir soal itu.” Rupanya Cakka salah mengertikan sikap diamku. Mungkin ia mengira aku diam karena mengkhawatirkan biaya sewa pesawat. Siapa yang khawatir? Aku tahu Om Dave pasti akan bertindak cepat menghadapi situasi di luar harapan seperti ini. Aku hanya mengkhawatirkan janji yang sempat aku buat di detik-detik sebelum aku pingsan bahwa aku akan mencoba untuk bersikap baik pada Angel.
”Thanks.” Kembali kupejamkan mata. Kurasa aku kembali tertidur dan ketika bangun sayup-sayup kudengar Cakka tengah berbicara dengan dokter.
”Gegar otak ringan–tidak perlu khawatir–pulang besok..” sepotong-potong kutangkap pembicaraan mereka. Dengan kondisiku seperti ini, ada kemungkinan, aku tidak akan diizinkan turun di Surabaya. Baguslah. All in all, sekarang yang penting aku selamat dari musibah ini. Kembali mataku berat dan aku pun tenggelam dalam tidurku.
***
”Shilla, ayo makan dulu.” Mama membantuku duduk di kasur dan menyuapiku dengan lembut. Om Dave melarangku masuk kerja sebelum aku benar-benar pulih. Bahkan aku pun dipaksa tinggal di rumahnya sampai aku benar-benar sembuh. Mama–yang sejak aku di Ambon terus memantau lokasiku–langsung histeris ketika mendengar berita gempa di Pulau Seram tempatku bermalam. Tanpa menunggu lama, Mama berangkat ke Jakarta untuk menunggu kepulanganku dari Ambon, sementara Papa tinggal untuk mengawasi bisnis mereka di Surabaya.
Aneh, di saat seperti ini, justru terselip rasa senang di hatiku karena menyadari ternyata ada yang mengkhawatirkanku. Selama ini, justru terkadang aku merasa Mama terlalu perhatian. Tapi sesekali perhatiannya tertuju pada satu hal yang memang perlu mendapat perhatian. Rasanya lebih nyaman seperti ini daripada Mama membahas masalah pacar terus.
Kehadiran Mama rupanya sungguh mempercepat kesembuhanku dan seminggu kemudian aku pun memaksa pulang kembali ke kosan. Setelah itu Mama memesan tiket pesawat ke Surabaya untuk pulang lusa.
Malam sebelum kepulangan Mama, kami duduk-duduk di teras memandang ke langit. Well, sebenarnya.. aku yang memandang langit sambil membayang-bayangkan wajah Cakka yang tiba-tiba hadir dalam benakku, sementara Mama membolak-balik majalah lama untuk sekadar melewatkan waktu. Entah kenapa, aku kok tiba-tiba jadi teringat dia ya? Teringat pada sosok Cakka yang menemaniku selama aku di rumah sakit di Ambon dan tak bosan melayaniku. Teringat saat ia menyuapiku makan, memberiku minum saat aku haus. Pada kata-katanya sebelum berangkat ke Ambon yang kini telah segera kumaafkan. Begitu pula dengan penampilannya yang jauh dari kesan seorang pilot profesional. Perhatiannya dan suaranya yang lembut saat merawatku membuatku melayang ke udara. Aku belum pernah mendapat perhatian seperti itu dari seorang cowok mana pun, dan Cakka benar-benar persis seperti cowok idamanku: bergaya cuek, tinggi, cool, tapi sangat perhatian. Diam-diam kekagumanku padanya kini bertambah satu persen.
Gabriel menceritakan padaku tentang kejadian di Ambon, saat ia menjengukku di rumah sakit setelah kami kembali ke Jakarta. Dia bilang Cakka menyusul ke Pulau Seram setelah mengetahui tujuan kami dari seorang penjual kopi atau semacamnya. Tanpa menunggu esok, Cakka menyewa mobil dan menyusul kami karena mengkhawatirkan keadaan kami. Ataukah sebenarnya dia mengkhawatirkan keadaanku? pikirku senang. Tanpa dibayar oleh Om Dave, Cakka membantu kru NTS dan mendampingiku selama aku dirawat di rumah sakit di sana. Kok, entah kenapa, mendengarnya aku hatiku jadi merasa berbunga-bunga ya? Awal pertemuanku dengan cowok itu yang awalnya mengukirkan kesan buruk dan terasa menyebalkan sudah benar-benar terlupakan. Yang teringat sekarang hanyalah wajahnya, matanya, suaranya, perhatiannya...
Tiba-tiba Mama memanggilku, membuyarkan lamunanku tentang Cakka.
”Shil.”
”Hmm?”
”Kok selama kamu sakit, pacarmu nggak nengokin kamu?” Waduh! Kupikir Mama sudah tidak memikirkan hal itu! Buru-buru kuhapus wajah Cakka dari lukisan imajinerku, takut Mama bisa melihatnya.
”Sibuk dia, Mam.”
Entah kenapa, aku jadi membayangkan Mama berkenalan dengan Cakka. Tapi bayangan itu kan tidak mungkin bisa menjadi kenyataan.
”Besok Mama pulang ke Surabaya. Bisa nggak dia kamu suruh ke sini? Mama mau kenalan.”
”Waduh, Shilla nggak tau, Mam, kayaknya dia bilang waktu itu mau keluar kota deh.”
Benar-benar tidak mungkin.
”Tapi masa dia nggak mau kenalan sama Mama?”
”Ng... ntar Shilla tanyain deh, ya.”
”Sekarang aja kamu telepon gih sana.”
Telepon siapa? Tiba-tiba aku berharap, benturan kemarin membuatku terkena amnesia, seperti dalam cerita-cerita di sinetron. Nggak apa-apa deh asal nggak permanen.
”Takutnya udah tidur, Mam.”
”Jam tujuh udah tidur?”
”Ya.. dia kan capek.”
”Emang kerjanya apa? Kuli bangunan?” Lalu Mama tertawa geli. Namun, melihatku diam, Mama jadi ikutan diam dan salah mengartikan sikap diamku. ”Pacar kamu bukan kuli bangunan, kan?”
”Ya bukanlah, Mam!”
Tapi siapa dong? Bahkan kuli bangunan pun akan kuterima dengan senang hati demi menghentikan Mama dari pemaksaan ini.
”Telepon sekarang!”
Kalau Mama sudah mengeluarkan nada rendah super altonya ini, langkah terbaik adalah aku harus langsung ngacir ke kamar. Tapi siapa yang harus kutelepon? Siapa? Cakka? Nggak mungkin! Tapi siapa? Rio? Arrghh... seputus asa itukah aku? Lalu siapa? Siapa..? Gabriel! Dia harus mau membantuku! HARUS! Kupencet nomor telepon Gabriel dan mendengar nada tunggu. Lagu boyband? Aku nggak nyangka Gabriel doyan boyband.
”Halo!”
”Yel, you've got to help me. I'm in crisis.”
”Kenapa lo?”
”Elo mau gak jadi pacar gue?”
Gabriel diam. Kurasa dia menimbang-nimbang apakah sebaiknya memutuskan hubungan telepon atau berpura-pura tidak mendapat sinyal telepon.
”Pura-pura aja, Yel! Please...” Sengaja kupelankan suara agar Mama tak mendengar.
”Oh, pura-pura.”
Apakah aku mendengar nada lega dalam suara Gabriel? Keterlaluan! Memangnya kalo beneran, dia nggak mau jadi pacarku, gitu? Emang aku jelek banget, gitu?
”Iya, gue mau ngenalin elo ke nyokap gue. Please, Yel, tolongin gue.”
”Gegar otak lo udah sembuh, kan?”
”Gabriel gue serius!” Sial! Dia malah meledekku.
”Oke, tapi ada syaratnya.”
Berengsek! Tuh orang selalu dapat cara untuk memerasku.
”Apa?”
”Elo harus rekomendasiin gue ke Om lo, biar karier gue nggak stuck di sini.”
”Deal!” jawabku cepat. Om Dave pasti mau mempertimbangkan rekomendasiku. Bagaimanapun, aku adalah keponakan kesayangannya.
”Serius lo?” Sekarang Gabriel terdengar bersemangat.
”Iya, begitu gue masuk kantor, gue akan ngomong ke Om Dave untuk menarik lo ke studio.”
”Sip! Kapan gue bisa ketemu calon mertua?”
”Besok pagi jam tujuh, elo ke rumah gue sekalian anter kita ke bandara. Nyokap mau pulang ke Surabaya. Inget ya, elo adalah pengusaha dan sering keluar kota.”
”Sip. Pengusaha apa?”
”Lo pikirin aja sendiri, gue belum bilang apa-apa kok, ke Nyokap.”
”Oke, deal.”
Aku keluar kamar dan menemui Mama di teras dengan hati dipenuhi rasa lega.
”Besok dia datang ke sini jam tujuh pagi, Mam.”
”Siapa namanya?”
Oiya, sampe lupa!
”Nama aslinya Abi tapi dia biasa dipanggil Gabriel.”
”Oh...” Mama mengangguk dan tampak kurang senang dengan prospek akan berkenalan dengan seseorang bernama Gabriel. Tak heran, karena kudengar dari Mama, anak temannya bernama Kaka. Nama yang terlalu 'fancy' buat aku. Jangan-jangan dia homo lagi! Hiy...!
Paginya, aku bangun dengan kepala sedikit pusing. Namun, begitu lagi-lagi aku melihat awan virga di langit pagi, sakit kepalaku pun langsung hilang. Langkahku terasa ringan dan santai, padahal, jelas-jelas aku akan pergi ke Ambon.
Begitu aku datang, Gabriel dan beberapa kru yang sudah menunggu di hanggar, bergegas masuk ke pesawat. Kami pun siap berangkat. Jauh dari harapanku, kapten Cakka ternyata tidak memakai seragam pilotnya. Jeans belel dan kemeja rupanya masih setia menghiasi penampilannya hari ini. Aku menghela napas. Musnahlah sudah khayalanku bisa berjalan di sisi seorang pilot yang gagah.
Cakka menutup pintu yang menghubungkan kabin penumpang dengan kabin depan, dan memutus komunikasi dengan para penumpang setelah aku berusaha mengajaknya ngobrol. Sombongnya! Padahal aku cuma bilang kalau awan di atas sangat indah dan meminta dia untuk lebih mendekat ke awan-awan tersebut. Tapi dia malah menutup pintu kabin.
Di mana-mana orang ganteng emang belagu, pikirku sewot.
Masih menyisakan kesal atas keangkuhan Cakka, aku pun kembali ke tempat dudukku dan mengagumi awan favoritku yang tampak dekat sekali seolah jika aku mengulurkan tangan, aku akan bisa merasakan lembutnya awan-awan di sekelilingku itu.
Terlepas dari bahaya yang mungkin mengancam, aku senang berada di pesawat ini. Tiba-tiba, aku merasa pesawat kecil ini seperti bertambah naik dan terus naik mendekati awan-awanku. Ooh.. andai aku bisa meraihnya! Aku menjerit kecil, merasa senang karena bisa memandang awan-awan kesukaanku dari dekat. Rupanya Cakka mendengar ocehanku. Aku tersenyum dalam hati. Kupandangi puas-puas awan-awan sirus itu dari dekat dan melihat berbagai bentukannya.
”Nemu kepala monyet, Shil?” ledek Gabriel.
”Nggak usah nyari di luar kalo itu mah! Tinggal noleh aja ke samping,” jawabku tanpa menoleh. Beberapa kru tertawa mendengarku men-skak mat Gabriel.
Baru saja aku menangkap bentukan awan yang menyerupai kepala naga, pesawat mulai merendah dan kami pun tiba di Bandara Pattimura. Oh my God! Oh my God! Kepala naga! Again! Aku mengeluarkan topi rajut merahku dan memakainya. Gabriel sempat menatapku dan terlihat ingin bertanya, tapi sebelum dia bertanya aku langsung mengikuti kru menuju mobil sewaan kami dan meluncur ke Pulau Seram, tempat yang diduga masih menjadi tempat persembunyian pendukung RMS.
Seharian kami menempuh perjalanan ke Pulau Seram. Dalam pemberhentian, kami membuka mata dan telinga lebar-lebar untuk mencari informasi tentang pergerakan RMS. Penduduk setempat terlihat sangat berhati-hati menjawab pertanyaan kami. Mungkin mereka takut, kami bukan wartawan sungguhan, melainkan polisi atau tentara yang sedang menyamar. Sebab menurut mereka banyak kejadian seperti ini terjadi. Polisi berpura-pura menjadi pedagang, berpura-pura menjadi peneliti, dan akhirnya malah menangkap orang-orang yang dianggap mencurigakan.
Gabriel, dengan kemampuannya berkomunikasi, langsung menarik hati para penduduk sekitar–terutama perempuan muda Ambon, jangan tanya kenapa–dan berhasil mengumpulkan sebanyak mungkin informasi. Namun petunjuk yang kami dapatkan tak kunjung menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan. Bahkan hingga malam tiba, jangankan berhasil mewawancarai pimpinan RMS, informasi mengenai dugaan pergerakan RMS ataupun informasi mengenai pimpinan RMS yang mungkin masih bersembunyi saja belum berhasil kami dapatkan. Sementara, besok siang kami sudah harus kembali ke Jakarta.
Kami menginap di sebuah penginapan sederhana dengan pintu kayu yang sudah reyot.tengah malam, tiba-tiba terjadi gempa yang cukup dahsyat. Gabriel menggedor pintu kamarku yang terkunci dan memanggil-manggil dari luar.
”Shilla! Shilla! Bangun! Cepet keluar!”
”Yel, tolong gue! Gabriel! Iyel!” Aku yang sudah bangun sebelum Gabriel mengetuk pintu kamarku, berusaha membuka pintu kamar, namun ternyata pintu sudah bergeser dan aku tak bisa membukanya, begitu pun jendela. Ya Tuhan. Aku kembali teringat kepala naga yang tadi siang aku lihat. Ya Tuhan! Aku takut sekali. Apakah ini berarti aku akan mati dalam ruangan sempit ini? Bahkan di saat aku belum mendapatkan berita apa pun untuk menunaikan tugasku, seperti saat ini? Dalam kepanikan aku masih berusaha untuk tetap berpikiran jernih dan sadar untuk melindungi diriku di sudut ruangan, jauh dari lemari dan benda-benda yang mudah jatuh seperti yang diajarkan di latihan evakuasi gempa. Segitiga kehidupan! Ya, aku harus mencari segitiga kehidupan! Aku berdoa memohon keselamatan sambil memejamkan mataku. Aku teringat Mama dan Papa, bagaimana mereka bisa melanjutkan hidup tanpaku, anak mereka satu-satunya? Aku memohon ampun pada Tuhan atas semua dosa-dosa yang pernah kuperbuat. Bahkan aku berjanji untuk mencoba bersikap baik pada Angel jika aku selamat dari musibah ini. Kengerian ini berlangsung lama dan tiba-tiba sesuatu menimpaku dan semua menjadi gelap.
”Shilla... Shilla...” Sesuatu yang dingin menyentuh pipiku. Mataku berat dan seluruh tubuhku terasa sakit. Aku ingin mengucapkan sesuatu tapi lidahku terasa kelu. Tak sepatah kata pun yang terucap dari bibirku.
”Shil, bangun, Shil.. Shilla!” Kali ini sesuatu yang panas menyentuh pipiku. Aah.. apa sih ini! Biarkan aku tidur! Kepalaku sakit!
”Shilla! Bangun, Shil. Kamu harus bangun!” Lagi-lagi suara mengesalkan itu mencegahku dari usahaku untuk melanjutkan tidur. Aku membuka mata dan kulihat wajah seseorang menatapku begitu dekat. Aku mengeluh karena pusing dan membuang pandanganku.
”Shilla, lo sadar! Syukurlaaah!” Beberapa orang mengucapkan syukur menurut agama dan kepercayaan mereka masing-masing. Apa yang terjadi? Kenapa kepalaku rasanya sakit sekali? Dan siapa tadi yang menatapku begitu dekat dan membuatku pusing? Kupalingkan lagi wajahku perlahan dan kulihat Gabriel yang sekarang ada di dekatku.
”Yel...” seruku lemah. Gabriel menggenggam tanganku.
”Elo selamat, Shil. Elo selamat!”
”Ada gempa tadi.”
”Iya, tapi elo selamat. Udah, lo nggak usah takut lagi, ya. Cakka datang ke sini tadi buat nolongin elo.”
Cakka? Bukannya dia ada di Bandara Pattimura? Dia menyusul kemari? Sangat tidak masuk akal, tapi sepertinya memang wajah dia yang aku lihat pertama kali saat aku membuka mata barusan.
”Yang lain?”
”Yang lain selamat. Kita semua selamat, Shil. Kamera dan perlengkapan kita hancur, tapi semua kru selamat.” Oke, good. Lalu semua gelap lagi.
Ketika bangun, aku mendapati kerai hijau mengelilingiku. Aku menoleh ke samping dan melenguh kesakitan karena denyutan di kepalaku membuat ruangan menjadi tampak seperti berputar. Seseorang duduk di kursi samping tempat tidurku. Mendengarku, orang itu langsung menegakkan duduknya. Cakka.
”Yang lain sedang istirahat, jadi saya nungguin kamu di sini.”
”Makasih.”
”Masih pusing?”
”Dikit. Haus.”
Dengan sigap, Cakka menyorongkan air minum dengan sedotan putih kepadaku.
”Kita terpaksa menunda kepulangan ke Jakarta karena kamu belum memungkinkan untuk terbang.” Aku terdiam. Berita tidak kudapatkan, yang kudapat malah kenyataan bahwa aku tertimpa kaso atap kamar yang runtuh. Betapa konyolnya. ”Bos kamu sudah membayar lebih untuk penundaan ini, berikut biaya rumah sakitnya. Jadi kamu nggak usah khawatir soal itu.” Rupanya Cakka salah mengertikan sikap diamku. Mungkin ia mengira aku diam karena mengkhawatirkan biaya sewa pesawat. Siapa yang khawatir? Aku tahu Om Dave pasti akan bertindak cepat menghadapi situasi di luar harapan seperti ini. Aku hanya mengkhawatirkan janji yang sempat aku buat di detik-detik sebelum aku pingsan bahwa aku akan mencoba untuk bersikap baik pada Angel.
”Thanks.” Kembali kupejamkan mata. Kurasa aku kembali tertidur dan ketika bangun sayup-sayup kudengar Cakka tengah berbicara dengan dokter.
”Gegar otak ringan–tidak perlu khawatir–pulang besok..” sepotong-potong kutangkap pembicaraan mereka. Dengan kondisiku seperti ini, ada kemungkinan, aku tidak akan diizinkan turun di Surabaya. Baguslah. All in all, sekarang yang penting aku selamat dari musibah ini. Kembali mataku berat dan aku pun tenggelam dalam tidurku.
***
”Shilla, ayo makan dulu.” Mama membantuku duduk di kasur dan menyuapiku dengan lembut. Om Dave melarangku masuk kerja sebelum aku benar-benar pulih. Bahkan aku pun dipaksa tinggal di rumahnya sampai aku benar-benar sembuh. Mama–yang sejak aku di Ambon terus memantau lokasiku–langsung histeris ketika mendengar berita gempa di Pulau Seram tempatku bermalam. Tanpa menunggu lama, Mama berangkat ke Jakarta untuk menunggu kepulanganku dari Ambon, sementara Papa tinggal untuk mengawasi bisnis mereka di Surabaya.
Aneh, di saat seperti ini, justru terselip rasa senang di hatiku karena menyadari ternyata ada yang mengkhawatirkanku. Selama ini, justru terkadang aku merasa Mama terlalu perhatian. Tapi sesekali perhatiannya tertuju pada satu hal yang memang perlu mendapat perhatian. Rasanya lebih nyaman seperti ini daripada Mama membahas masalah pacar terus.
Kehadiran Mama rupanya sungguh mempercepat kesembuhanku dan seminggu kemudian aku pun memaksa pulang kembali ke kosan. Setelah itu Mama memesan tiket pesawat ke Surabaya untuk pulang lusa.
Malam sebelum kepulangan Mama, kami duduk-duduk di teras memandang ke langit. Well, sebenarnya.. aku yang memandang langit sambil membayang-bayangkan wajah Cakka yang tiba-tiba hadir dalam benakku, sementara Mama membolak-balik majalah lama untuk sekadar melewatkan waktu. Entah kenapa, aku kok tiba-tiba jadi teringat dia ya? Teringat pada sosok Cakka yang menemaniku selama aku di rumah sakit di Ambon dan tak bosan melayaniku. Teringat saat ia menyuapiku makan, memberiku minum saat aku haus. Pada kata-katanya sebelum berangkat ke Ambon yang kini telah segera kumaafkan. Begitu pula dengan penampilannya yang jauh dari kesan seorang pilot profesional. Perhatiannya dan suaranya yang lembut saat merawatku membuatku melayang ke udara. Aku belum pernah mendapat perhatian seperti itu dari seorang cowok mana pun, dan Cakka benar-benar persis seperti cowok idamanku: bergaya cuek, tinggi, cool, tapi sangat perhatian. Diam-diam kekagumanku padanya kini bertambah satu persen.
Gabriel menceritakan padaku tentang kejadian di Ambon, saat ia menjengukku di rumah sakit setelah kami kembali ke Jakarta. Dia bilang Cakka menyusul ke Pulau Seram setelah mengetahui tujuan kami dari seorang penjual kopi atau semacamnya. Tanpa menunggu esok, Cakka menyewa mobil dan menyusul kami karena mengkhawatirkan keadaan kami. Ataukah sebenarnya dia mengkhawatirkan keadaanku? pikirku senang. Tanpa dibayar oleh Om Dave, Cakka membantu kru NTS dan mendampingiku selama aku dirawat di rumah sakit di sana. Kok, entah kenapa, mendengarnya aku hatiku jadi merasa berbunga-bunga ya? Awal pertemuanku dengan cowok itu yang awalnya mengukirkan kesan buruk dan terasa menyebalkan sudah benar-benar terlupakan. Yang teringat sekarang hanyalah wajahnya, matanya, suaranya, perhatiannya...
Tiba-tiba Mama memanggilku, membuyarkan lamunanku tentang Cakka.
”Shil.”
”Hmm?”
”Kok selama kamu sakit, pacarmu nggak nengokin kamu?” Waduh! Kupikir Mama sudah tidak memikirkan hal itu! Buru-buru kuhapus wajah Cakka dari lukisan imajinerku, takut Mama bisa melihatnya.
”Sibuk dia, Mam.”
Entah kenapa, aku jadi membayangkan Mama berkenalan dengan Cakka. Tapi bayangan itu kan tidak mungkin bisa menjadi kenyataan.
”Besok Mama pulang ke Surabaya. Bisa nggak dia kamu suruh ke sini? Mama mau kenalan.”
”Waduh, Shilla nggak tau, Mam, kayaknya dia bilang waktu itu mau keluar kota deh.”
Benar-benar tidak mungkin.
”Tapi masa dia nggak mau kenalan sama Mama?”
”Ng... ntar Shilla tanyain deh, ya.”
”Sekarang aja kamu telepon gih sana.”
Telepon siapa? Tiba-tiba aku berharap, benturan kemarin membuatku terkena amnesia, seperti dalam cerita-cerita di sinetron. Nggak apa-apa deh asal nggak permanen.
”Takutnya udah tidur, Mam.”
”Jam tujuh udah tidur?”
”Ya.. dia kan capek.”
”Emang kerjanya apa? Kuli bangunan?” Lalu Mama tertawa geli. Namun, melihatku diam, Mama jadi ikutan diam dan salah mengartikan sikap diamku. ”Pacar kamu bukan kuli bangunan, kan?”
”Ya bukanlah, Mam!”
Tapi siapa dong? Bahkan kuli bangunan pun akan kuterima dengan senang hati demi menghentikan Mama dari pemaksaan ini.
”Telepon sekarang!”
Kalau Mama sudah mengeluarkan nada rendah super altonya ini, langkah terbaik adalah aku harus langsung ngacir ke kamar. Tapi siapa yang harus kutelepon? Siapa? Cakka? Nggak mungkin! Tapi siapa? Rio? Arrghh... seputus asa itukah aku? Lalu siapa? Siapa..? Gabriel! Dia harus mau membantuku! HARUS! Kupencet nomor telepon Gabriel dan mendengar nada tunggu. Lagu boyband? Aku nggak nyangka Gabriel doyan boyband.
”Halo!”
”Yel, you've got to help me. I'm in crisis.”
”Kenapa lo?”
”Elo mau gak jadi pacar gue?”
Gabriel diam. Kurasa dia menimbang-nimbang apakah sebaiknya memutuskan hubungan telepon atau berpura-pura tidak mendapat sinyal telepon.
”Pura-pura aja, Yel! Please...” Sengaja kupelankan suara agar Mama tak mendengar.
”Oh, pura-pura.”
Apakah aku mendengar nada lega dalam suara Gabriel? Keterlaluan! Memangnya kalo beneran, dia nggak mau jadi pacarku, gitu? Emang aku jelek banget, gitu?
”Iya, gue mau ngenalin elo ke nyokap gue. Please, Yel, tolongin gue.”
”Gegar otak lo udah sembuh, kan?”
”Gabriel gue serius!” Sial! Dia malah meledekku.
”Oke, tapi ada syaratnya.”
Berengsek! Tuh orang selalu dapat cara untuk memerasku.
”Apa?”
”Elo harus rekomendasiin gue ke Om lo, biar karier gue nggak stuck di sini.”
”Deal!” jawabku cepat. Om Dave pasti mau mempertimbangkan rekomendasiku. Bagaimanapun, aku adalah keponakan kesayangannya.
”Serius lo?” Sekarang Gabriel terdengar bersemangat.
”Iya, begitu gue masuk kantor, gue akan ngomong ke Om Dave untuk menarik lo ke studio.”
”Sip! Kapan gue bisa ketemu calon mertua?”
”Besok pagi jam tujuh, elo ke rumah gue sekalian anter kita ke bandara. Nyokap mau pulang ke Surabaya. Inget ya, elo adalah pengusaha dan sering keluar kota.”
”Sip. Pengusaha apa?”
”Lo pikirin aja sendiri, gue belum bilang apa-apa kok, ke Nyokap.”
”Oke, deal.”
Aku keluar kamar dan menemui Mama di teras dengan hati dipenuhi rasa lega.
”Besok dia datang ke sini jam tujuh pagi, Mam.”
”Siapa namanya?”
Oiya, sampe lupa!
”Nama aslinya Abi tapi dia biasa dipanggil Gabriel.”
”Oh...” Mama mengangguk dan tampak kurang senang dengan prospek akan berkenalan dengan seseorang bernama Gabriel. Tak heran, karena kudengar dari Mama, anak temannya bernama Kaka. Nama yang terlalu 'fancy' buat aku. Jangan-jangan dia homo lagi! Hiy...!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar