Sabtu, 25 Mei 2013
In:
KAU
KAU *last part
Penayangan perdana program jalan-jalan akan dilakukan besok.
Aku sedikit terkejut ketika tim memperlihatkan video yang sudah diedit padaku.
Sebelum host membuka acara, di latar belakang terlihat sekelompok sky divers
yang sedang membuat formasi di langit.
”Eh, ini siapa yang ambil?” tanyaku.
”Debo, Bu,” jawab salah satu dari tim.
”Di mana?”
”Di lokasi.”
”Boleh nanti saya lihat rekaman aslinya?”
”Yang sky divers saja? Oke, nanti saya suruh Debo kirim.”
”Nggak usah, biar saya yang ke sana saja. Tolong katakan padanya untuk menyiapkan rekaman itu.”
Hasil video untuk tayangan perdana program jalan-jalan ini cukup bagus ketika kutunjukkan pada Pak Duta, beliau pun setuju dengan pendapatku. Siangnya, aku menemui Debo di studio. Ketika rekaman para sky divers yang sedang membentuk formasi diputar, aku meminta Debo untuk menghentikan dan memperbesar gambar. Aku ingin melihat wajah mereka satu per satu. Tapi aku kecewa.
”Maaf, Bu, saya pikir karena ini hanya sebagai background saja, saya tidak merekam dengan kualitas yang super. Jadi kalau diperbesar hasilnya pecah seperti ini.”
”Tidak bisa diakali, De? Saya ingin melihat wajah mereka satu per satu.”
”Maaf, Bu, sepertinya tidak bisa.”
Aku terhempas dalam kekecewaan. Padahal aku berharap banyak bisa melihat wajah orang yang kukira Cakka itu.
”Tapi, Bu, saya sempat ngobrol kok sama mereka waktu di hotel. Mereka kan menginap di hotel yang sama dengan kita.”
”Oh ya?” Aku jadi bersemangat. ”Terus, kamu tau mereka dari kelompok mana?”
”Mereka ini para pecinta olahraga ekstrem yang profesional. Tidak hanya sky diving, mereka juga melakukan bungee jumping, caving, macem-macem. Pokoknya semua olahraga ekstrem mereka lakukan. Base mereka di Bandung.”
”Nama kelompoknya?”
”Extrem Sports-apa-gitu, saya lupa.” Oke, lumayan.
Aku kembali ke kantor dan mulai mencari di internet informasi mengenai kelompok ini. Ternyata tidak mudah, karena nama extreme sports yang aku jadikan kata kunci menghasilkan ribuan informasi. Ketika kupersempit menjadi 'extreme sports Bandung', masih ratusan informasi yang kudapatkan. Aku harus membaca satu per satu. Sekali-kali aku lost track karena ingin membaca informasi lebih dalam mengenai olahraga menantang ini. Dan dari yang kubaca, para pelaku olahraga ini adalah orang-orang yang tak memiliki rasa takut sama sekali. Sampai sore aku belum juga menemukan informasi mengenai kelompok extreme sports yang bekerja sama dengan Angel.
Malamnya kutelepon Mama. ”Ma, nonton acara baru Shilla ya besok sore.”
”Pasti dong, pukul berapa? Biar Mama SMS teman-teman Mama juga. ”
Setelah kuberitahukan hari dan tanggal serta jamnya, dan selesai kutanyakan keadaan Papa, aku berperang melawan batinku; sebaiknya kutanyakan lewat Mama nggak ya perihal Cakka? Terakhir aku dengar dari Mama kalau Ny. Winda pergi ke Singapura untuk berobat karena sempat terkena stroke ringan. Berkali-kali kucoba menghubunginya, tetapi tidak tersambung, mungkin beliau masih di Singapura atau nomor HP-nya ganti? Mama mungkin masih suka teleponan dengan beliau. Harapanku, Mama bisa menanyakan ke Ny. Winda mengenai Cakka, apakah dia masih hidup atau tidak. Tapi aku takut Mama malah marah karena Mama sudah nggak mau dengar lagi tentang Cakka dan mungkin saja mereka sudah lost contact. Haahh.. aku benar-benar bingung hingga akhirnya saat pembicaraan dengan Mama berakhir, nama Cakka tak muncul dalam pembicaraan kami.
”Aku cari sendiri aja, deh! Aku harus yakin dulu kalau memang itu Cakka,” gumamku sendiri. Kuintip dari balik jendela kamarku, lagi-lagi sepotong awan kumulus yang menemaniku malam ini.
”Hai kamu, kita sendiri lagi malam ini. Apakah kamu bisa melihat Cakka-ku dari atas sana? Tolong sampaikan salam rinduku untuknya, ya..” Sejenak kutatap awan kumulus tersebut dan membayangkan Cakka menatap awan yang sama malam ini.
***
”Very good, Ashilla! I'm sure program Amazing Trip ini akan bakal mengikuti sukses acara Komar,” puji Pak Duta.
”Amin, Pak. Tapi tentunya semua tak akan berhasil tanpa tim saya di sini.” Seluruh anggota tim dan kru yang ikut menonton tayang perdana program Amazing Trip bertepuk tangan dan semua terlihat bahagia.
”Om bangga padamu, Shilla.” Om Dave menepuk-nepuk bahuku.
”Terima kasih, Om. Sekarang silakan semua menikmati hidangan yang sudah disediakan.” Aku mempersilakan seluruh yang hadir di studio untuk menyantap nasi tumpeng yang telah kupesan. Setelah semua sibuk sendiri-sendiri, aku menyelinap keluar dan kembali ke kantorku. Aku ingin mencari lagi informasi tentang kelompok extreme sport.
Baru saja kubuka laptopku, pintu ruangan diketuk dan kepala Gabriel menyembul dari baliknya.
”Shil, gue dapat nih informasi yang lo cari.” Gabriel menyerahkan secarik kertas padaku.
”Bener ini kelompok extreme sport yang waktu itu shooting di Lido?” Aku memang meminta bantuan Gabriel untuk ikut mencari keberadaan kelompok itu. As a true friend, Gabriel melaksanakan tugasnya tanpa banyak komentar.
”Bener. Gue kan udah cek. Tapi, sorry, mereka nggak kenal yang namanya Cakka.”
”Oh?” Aku spechless.
”Gue udah telepon ke mereka untuk menanyakan Cakka, tapi mereka bilang nggak ada yang namanya Cakka di sana. Dan saat gue tanya apa ada bekas pilot yang gabung sama mereka, jawabnya nggak ada.”
”Oh, I see. Mungkin dia di kelompok yang lain.”
”Ya, mungkin aja. Sorry, cuma itu yang bisa gue bantu, Shil.”
”Sip, thanks, ya.” Gabriel keluar ruangan dan aku menatap tulisan di kertas tersebut; 'Extremeezport' dan nomor telepon daerah Bandung.
Tanpa membuang waktu, aku langsung meraih telepon dan menghubungi nomor telepon itu.
”Halo, apa benar ini base camp Extremeezport?” tanyaku begitu tersambung.
”Ya betul. Boleh saya tau dari mana ini ya?” Terdengar suara perempuan yang menjawab telepon.
”Nama saya Ashilla. Saya dari sebuah stasiun televisi di Jakarta. Saya ingin sekali bertemu dan berbincang dengan anggota Extremeezport, apakah saya bisa membuat janji?”
”Oh, maaf, kami sudah teken kontrak dengan stasiun televisi lain di Bandung, jadi jadwalnya sedikit padat karena harus shooting keluar kota, sepertinya agak susah ya.”
”Ya, ya saya mengerti. Kalau boleh tahu, anggota Extremeezport ini bisa melakukan olahraga ekstrem apa saja ya?”
”Semua yang ekstrem bisa mereka lakukan. Mereka profesional, Bu.”
”Oh begitu. Boleh saya tahu di mana jadwal shooting selanjutnya?”
”Sumatra Utara, di Sungai Asahan.”
”Olahraganya apa?”
”Arung jeram.”
Kuketik lokasi tersebut di Google Search dan menemukan banyak gambar-gambar arung jeram dengan kata kunci 'arung jeram asahan'.
”Lokasi ini sangat ekstrem, Bu,” kata si penerima telepon tadi. ”Kabarnya ini arung jeram ketiga tersulit di seluruh dunia.”
Setelah membaca-baca informasi yang tersedia mengenai arung jeram di Sungai Asahan, aku pun mencari lokasi yang tepat untuk tempat shooting Amazing Trip. Lokasi tersebut harus tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Jadi bisa sebagai alasan untuk mencoba arung jeram yang ada di sana. Sekali menyelam, dua tiga pulau terlampaui, kan? Senyumku lebar dan harapanku tinggi bisa bertemu Cakka di sana. Tiga minggu lagi aku akan bisa bertemu dengan Cakka-ku. Aku yakin!
***
Semua persiapan sudah matang, dan Zeva pun sudah kuberi pengarahan sepanjang jalan menuju bandara. Wajah cantiknya sedikit pucat ketika aku mengatakan bahwa nanti dia pun harus ikut merasakan arung jeram agar lebih real dan natural.
”Apa saya harus ikut, Bu?” tanyanya.
”Iya! Kan sudah ada dalam kontrak kerja kamu kalau kamu mencoba pengalaman apa pun yang ditawarkan di daerah yang dikunjungi.”
”Ya, tapi...”
”Kita nanti ambil jalut yang paling ringan kok, tenang saja.”
”Tapi, Bu, kita bukannya mau meliput Danau Toba?”
”Iya, Sungai Asahan itu hulunya di Danau Toba. Masih satu jalur, kan?”
Sepanjang perjalanan, dalam pesawat Zeva yang biasanya banyak celoteh kini diam saja melihat keluar jendela pesawat. Kemurungannya yang tiba-tiba ini kuartikan karena dia takut mengarungi arung jeram. Kuhela napas panjang. Memang susah kalau punya host cengeng.
”Ze, biar nanti saya saja yang mencoba arung jeramnya. Kamu dari pinggir saja menggambarkan situasi yang ada, gimana?”
”Betulan, Bu? Saya nggak perlu nyebur?” tanyanya dengan wajah berbinar-binar.
”Iya...”
”Terima kasih, Bu, terima kasih.. Saya soalnya takut, karena saya pernah dengar di arung jeram Sungai Asahan itu pernah ada yang jatuh dan meninggal.”
Eh? Glek! Aku menelan ludah dengan susah payah. Ada yang pernah meninggal? Ini informasi baru, aku kok lupa mencari di internet tentang korban arung jeram di sana.
***
Di bandar udara, dua bus ukuran tanggung sudah menunggu rombongan kami. Memang Om Dave paling top deh! Bus ini milik perusahaan sewa keluarga kami yang disewa oleh Om Dave untuk mengantar kami ke mana-mana. Untuk hotelnya pun tak tanggung-tanggung, hotel paling dekat dengan Danau Toba dan mendapat kamar dengan pemandangan yang paling bagus.
Kami diajak berkeliling dahulu sebelum ke hotel untuk menikmati panorama Kota Medan di sore hari. Baru setelah perut kenyang dan mata mengantuk, kami masuk hotel. Tak disangka-sangka, aku bertemu lagi dengan Angel.
”Kurasa lama-lama kita bisa jadi teman,” ujar Angel dengan nada sinisnya yang belum sembuh juga.
”Kau jauh sekali dari Bandung, Njel,” kataku mengimbangi sarkasmenya.
”Kau sendiri, kerja atau sekalian mudik? Mumpung dibayari kantor?”
Aku hanya tertawa. Dalam hatiku penasaran dan ingin bertanya apakah dari anggota Extremeezport ada yang bernama Cakka pada Angel. Tapi aku tahu model perempuan ini. Dia nggak akan dengan mudah melepaskan sepotong informasi dengan mudah.
”Well, kurasa nanti malam aku harus memesan kopi panas ke kamar kalau begini caranya.” Angel melenggang masuk ke dalam lift.
Kuhampiri meja resepsionis untuk menanyakan apakah ada tamu bernama Cakka di hotel ini.
”Maaf, Bu, data tamu tak bisa kami berikan begitu saja. Kami harus menjaga privasi mereka.”
Wajahku sedikit memerah mendengarnya. Dia pikir aku mau membunuh seseorang di hotel ini? Tapi aku sangat mengerti peraturan yang mereka terapkan dan memilih untuk duduk-duduk di kafe, berharap rombongan Extremeezport akan datang untuk makan. Namun, dua jam aku duduk menunggu, tak ada satu pun wajah yang kukenal masuk ke kafe. Menelan rasa kecewa, kuputuskan untuk kembali ke kamar. Tomorrow is a big day!
Kusingkap jendela kamar hotel dan memandang keluar sambil bergumam, ”Hey kumulus, apakau kau ada di atas sana?” tanyaku sambil mencari-cari di langit yang cukup cerah malam ini. Tiba-tiba di sisi kanan aku melihat gumpalan awan asperatus. Awan ini berbentuk mirip angin tornado, dengan lilitan-lilitan awan yang memutar.
”Kenapa ada awan itu di sini? Apakah besok akan ada sesuatu yang buruk?” tanyaku dalam hati. Perasaanku tiba-tiba tak enak.
***
(Author P.O.V)
Sementara itu, di bagian tempat lainnya, Cakka–yang ternyata masih hidup–terbangun dari tidurnya yang sebenarnya masih resah. Tangannya mengucek-ucek matanya sebelum kemudian memutuskan mengangkat telepon yang masih saja berdering itu.
”Kka...” Suara ibunya membuat dirinya langsung terserang rindu.
”Ibu? Ibu baik-baik saja?”
”Ibu baik, Nak.” Meskipun samar, dia bisa mendengar getar sedih di suara ibu itu. ”Kamu sekarang di mana?”
”Di Medan.”
Sejenak pembicaraan singkat itu terhenti.
”Sampai kapan kamu mau begini, Nak?”
Cakka diam.
”Ibu tau kamu patah hati....”
”Ibu, Cakka baik-baik saja, sekarang yang penting Ibu sehat dulu ya,” kata Cakka, buru-buru memotong ucapan ibunya. ”Kalau urusan Cakka di Medan sudah selesai, Cakka akan ke Singapura menjenguk Ibu.”
”Tapi kamu jangan melakukan hal-hal yang aneh ya.”
”Iya, Bu, Cakka cuma olahraga saja kok di sini.”
”Olahraga kok jauh sekali sih, Nah? Pake keluar kota segala.”
”Karena tempat olahraganya cuma ada di Medan.”
”Olahraga apa sih?”
”Nanti saja ya kalau Cakka jenguk Ibu, akan Cakka ceritakan. Sekarang Ibu istirahat ya.”
Untung ibunya tidak membantah. Dengan suara lirih, dia mengucapkan selamat tinggal dan sekali lagi mengingatkan Cakka untuk berhati-hati selama di Medan. Cakka mengiyakan. Tapi tidak untuk janji bahwa hatinya akan baik-baik saja.
Dia masih memikirkan Shilla. Dan itu membuatnya semakin terhanyut dalam kesibukannya saat ini. Dia butuh alasan untuk melupakan cewek itu.
***
(Ashilla P.O.V)
”Rise and shine!” Kuketuk kamar Zeva yang masih tertutup. Tak ada jawaban. ”Zeva? Zevana..?” panggilku berulang-ulang, namun tak ada juga sahutan dari dalam. Setelah kurang lebih lima menit Zeva belum juga membuka pintu dan tingkahku mulai menarik perhatian tamu-tamu lain, barulah Zeva membuka pintu kamarnya. Tampangnya acak-acakan dan sepertinya dia tidak sehat. Kuletakkan punggung tanganku di keningnya.
”Badan kamu panas sekali! Kamu sakit?”
”Sebenarnya dari kemarin saya sudah nggak enak badan, Bu.”
”Kenapa kamu nggak bilang?”
”Saya takut dianggap melanggar kontrak.”
”Saya kan bukan orang yang kejam, Ze. Ya sudah sekarang kamu tiduran lagi saja, saya panggilkan dokter untuk memeriksa kamu.”
Kuminta pihak hotel untuk memanggil dokter dan menugaskan seorang kru wanita untuk menemani Zeva di hotel. Mungkin ini arti kemunculan awan asperatus semalam.
”The show must go on. Ayo yang lain berangkat.”
Bus berangkat menuju lokasi Amazing Trip yang sudah kami survei kemarin sore. Karena host-nya tidak ada di tempat, kameramen hanya merekam suasana di sekitar lokasi tempat wisata dan kami pun hanya sebentar untuk kemudian menuju Sungai Asahan untuk merasakan arung jeram di sana.
”Kami ingin yang level paling ringan saja,” kataku kepada petugas pendaftaran.
”Sudah pernah arung jeram sebelumnya?”
”Sudah, di Sukabumi.”
Kami diberikan pelampung dan helm untuk keamanan. Lalu kami dipersilakan mengambil dayung masing-masing.
”Baik, mohon semua berkumpul.”
Seorang instruktur dipanggil untuk memberikan pengarahan pada kami mengenai cara memegang dan mendayung dengan benar, cara duduk di perahu karet, juga apa yang harus kita lakukan jika terlempar dari perahu.
”Ikuti saja arusnya, jangan khawatir karena tim kami akan segera menolong Anda. Kami ada di sepanjang sungai untuk mengawasi.”
Setelah briefing selesai, kami pun siap untuk mengarungi jeram di level paling rendah. Bukankah promosi daerah di Amazing Trip ditujukan untuk menarik orang datang mengunjungi daerah tersebut?
Seorang kameramen siap mengabadikan gambarku saat berada di atas perahu karet. Sebelum perahu kami dilepas ada sebuah perahu karet yang ditumpangi empat orang laki-laki dan seorang pemandu melintas.
”Mereka sudah profesional, dan sekarang mau menuju level yang paling ekstrem, namanya Nightmare.” Pemandu kami menjelaskan. Aku menatap perahu karet mereka yang menjauh dan berharap semoga Cakka tak termasuk rombongan Nightmare itu.
”Namanya saja sudah seram sekali ya?” celutuk salah seorang kru.
”Makanya kita sih di level ringan aja ya, Bang, jangan pakai dibalik perahunya, oke? Nanti kuberi tip yang banyak!” tambah kru yang lain. Kami semua tertawa nervous.
”Siap?” Seseorang memberi aba-aba dan perahu karet kami leuncur. Belum apa-apa, goyangan air Sungai Asahan mulai terasa dan perahu kami naik turun mengikuti arus. Kameramen berada di perahu lain di depan dan sibuk mengabadikan momen tersebut. Aku tak sempat memikirkan tampil cantik untuk kamera, karena harus berjuang keras mendayung agar perahu tetap maju dan stabil. Tapi sulit rasanya membuat perahu tetap stabil dalam kondisi seperti ini.
Sepuluh menit kemudian, aku mulai menyesal naik arung jeram ini. Kenapa aku nggak duduk manis saja di atas menunggu rombongan Extremeezport datang? Kenapa juga harus ikut terjun? keluhku dalam hati. ”Karena pekerjaan! Pekerjaan! Pekerjaan!” Sebuah bisikan terdengar memberiku kekuatan.
”Kiri!” Pemandu kami memberi aba-aba dan kami mendayung sebelah kiri.
”Kanan!” Gantian sisi kanan yang mendayung.
”Berapa jauh?” tanyaku. Perahu karet yang tadi melintas sebelum kami sudah tak terlihat sama sekali. Mungkin mereka mendayungnya lebih kuat dari pada kami yang cuma karyawan biasa.
”Dua setengah kilo!” jawab si pemandu. Tiba-tiba dia menoleh ke belakang dan...
Wajahnya berubah.
”Berapa jauh lagi kita?” tanya seorang kru perempuan yang tampaknya sudah kelelahan.
”Satu kilo lagi.” Pemandu itu kembali menoleh ke belakang dan aku penasaran dengan apa yang dilihatnya.
”Ada apa sih? Ada buaya ya?” Kelakarku tapi sebenarnya takut juga kalau benar ada buaya.
”Bukan, arusnya sepertinya tambah kuat. Ini tidak seperti biasanya.”
”Masa sih?” tanyaku mulai panik.
”Kiri! Kita mencari tempat untuk berhenti!” teriak si pemandu. Kami pun dengan panik mendayung di sebelah kiri agar perahu lebih cepat menepi. Namun, apa daya tiba-tiba perahu oleh karena arus kuat yang menghantam ditambah baru besar yang seolah tiba-tiba muncul di hadapan kami. Aku dan seorang kru perempuan yang duduk di depanku terlempar jatuh dari perahu karet.
”Ada yang jatuh! Ada yang jatuh!”
”Bu Shilla!”
”Dea!”
”Tolong, ada yang jatuh!”
Sebenarnya aku ingat pesan dari instruktur tadi di atas bahwa jika terlempar ke sungai jangan panik, ikuti saja arus dan menunggu seseorang datang menjemput. Tapi makin jauh aku terseret arus kok belum ada juga yang menolongku? Sekarang aku benar-benar panik.
”Tolo... blep! Blep!” Air masuk dengan semena-mena begitu aku membuka mulut untuk berteriak ketika melewati rombongan yang sedang beristirahat di pinggir sungai.
”Tolong..! Tolong...!” Helmku sudah miring ke mana-mana dan aku tak dapat melihat orang lain di sekelilingku.
”Saya pernah dengar di arung jeram Sungai Asahan itu pernah ada yang jatuh dan meninggal.” Terngiang kembali ucapan Zeva kemarin di atas pesawat, dan semalam aku melihat awan asperatus! Oh Tuhan, selamatkan aku, jeritku dalam hati.
Aku tak tahu berapa lama aku terseret arus yang mengerikan ini, badanku sakit karena terbentur-bentur. Tak hanya itu, kepalaku, kakiku, semua sudah berkenalan dengan batu-batu di sungai ini. Tapi aku terus mencoba melambaikan tangan berharap ada yang melihat, siapa pun itu. Aku sudah tak melihat lagi ke mana arus membawaku. Semoga tidak ke Nightmare, doaku dalam hati. Tiba-tiba sepasang tangan kekar menggapai pelampungku dan memegangnya dengan kuat. Sejenak kami berdua terseret arus tapi kemudian penolongku tersebut menarikku dengan sekuat tenaganya menuju pinggir sungai. Arus yang kuat membuatnya sedikit kesulitan, tapi akhirnya kami pun sampai juga ke pinggir sungai.
”Ayo cepat tarik! Tarik!” Terdengar beberapa orang berteriak. Aku memejamkan mataku karena ketakutan yang luar biasa. Tubuhku bergetar hebat. Dalam hatiku tak berhenti-henti mengucap syukur karena telah lolos dari maut.
Aku merasakan tubuhku dibopong dan perlahan penolongku membaringkan aku di tanah. Aku masih belum berani membuka mataku, tapi saat orang tersebut menyibak rambut yang menutupi wajahku, dia seperti terhenyak dan memanggil namaku.
”Shilla?”
Aku mengenali suaranya. Suara yang selama ini kurindukan, suara yang menjawab tebakan-tebakan awan saat kami terbang berdua, suara lembut yang terakhir kudengar sebelum tidur. Perlahan kubuka mataku.
”Cakka...”
Spontan Cakka memelukku dan pecahlah tangisku. Oh Tuhan, terima kasih. Selesai sudah penantianku. Akhirnya aku menemukan Cakka-ku kembali.
”Aku... nyariin kamu... ke mana-mana, Kka...” kataku di antara sedu sedanku. Cakka mengeratkan pelukannya.
”Oh, Shilla, maafkan aku.”
”Please jangan tinggalin aku lagi, Kka..”
Kutumpahkan semua tangisku di dadanya. Semua kesedihan yang selama ini kurasakan sendiri. Duka yang mendalam karena ditinggal kekasih hati. Dan malam-malam yang sepi saat aku terbangung karena memimpikannya. Seiring ringannya beban dalam dadaku, tangisku pun mereda.
Cakka menatapku sesaat dan mencium keningku dengan sangat lembut membuat kupu-kupu kecil dalam perutku beterbangan ke sana sini.
”Nggak akan.”
Dan saat itu, aku tak punya pilihan lain kecuali percaya.
”Eh, ini siapa yang ambil?” tanyaku.
”Debo, Bu,” jawab salah satu dari tim.
”Di mana?”
”Di lokasi.”
”Boleh nanti saya lihat rekaman aslinya?”
”Yang sky divers saja? Oke, nanti saya suruh Debo kirim.”
”Nggak usah, biar saya yang ke sana saja. Tolong katakan padanya untuk menyiapkan rekaman itu.”
Hasil video untuk tayangan perdana program jalan-jalan ini cukup bagus ketika kutunjukkan pada Pak Duta, beliau pun setuju dengan pendapatku. Siangnya, aku menemui Debo di studio. Ketika rekaman para sky divers yang sedang membentuk formasi diputar, aku meminta Debo untuk menghentikan dan memperbesar gambar. Aku ingin melihat wajah mereka satu per satu. Tapi aku kecewa.
”Maaf, Bu, saya pikir karena ini hanya sebagai background saja, saya tidak merekam dengan kualitas yang super. Jadi kalau diperbesar hasilnya pecah seperti ini.”
”Tidak bisa diakali, De? Saya ingin melihat wajah mereka satu per satu.”
”Maaf, Bu, sepertinya tidak bisa.”
Aku terhempas dalam kekecewaan. Padahal aku berharap banyak bisa melihat wajah orang yang kukira Cakka itu.
”Tapi, Bu, saya sempat ngobrol kok sama mereka waktu di hotel. Mereka kan menginap di hotel yang sama dengan kita.”
”Oh ya?” Aku jadi bersemangat. ”Terus, kamu tau mereka dari kelompok mana?”
”Mereka ini para pecinta olahraga ekstrem yang profesional. Tidak hanya sky diving, mereka juga melakukan bungee jumping, caving, macem-macem. Pokoknya semua olahraga ekstrem mereka lakukan. Base mereka di Bandung.”
”Nama kelompoknya?”
”Extrem Sports-apa-gitu, saya lupa.” Oke, lumayan.
Aku kembali ke kantor dan mulai mencari di internet informasi mengenai kelompok ini. Ternyata tidak mudah, karena nama extreme sports yang aku jadikan kata kunci menghasilkan ribuan informasi. Ketika kupersempit menjadi 'extreme sports Bandung', masih ratusan informasi yang kudapatkan. Aku harus membaca satu per satu. Sekali-kali aku lost track karena ingin membaca informasi lebih dalam mengenai olahraga menantang ini. Dan dari yang kubaca, para pelaku olahraga ini adalah orang-orang yang tak memiliki rasa takut sama sekali. Sampai sore aku belum juga menemukan informasi mengenai kelompok extreme sports yang bekerja sama dengan Angel.
Malamnya kutelepon Mama. ”Ma, nonton acara baru Shilla ya besok sore.”
”Pasti dong, pukul berapa? Biar Mama SMS teman-teman Mama juga. ”
Setelah kuberitahukan hari dan tanggal serta jamnya, dan selesai kutanyakan keadaan Papa, aku berperang melawan batinku; sebaiknya kutanyakan lewat Mama nggak ya perihal Cakka? Terakhir aku dengar dari Mama kalau Ny. Winda pergi ke Singapura untuk berobat karena sempat terkena stroke ringan. Berkali-kali kucoba menghubunginya, tetapi tidak tersambung, mungkin beliau masih di Singapura atau nomor HP-nya ganti? Mama mungkin masih suka teleponan dengan beliau. Harapanku, Mama bisa menanyakan ke Ny. Winda mengenai Cakka, apakah dia masih hidup atau tidak. Tapi aku takut Mama malah marah karena Mama sudah nggak mau dengar lagi tentang Cakka dan mungkin saja mereka sudah lost contact. Haahh.. aku benar-benar bingung hingga akhirnya saat pembicaraan dengan Mama berakhir, nama Cakka tak muncul dalam pembicaraan kami.
”Aku cari sendiri aja, deh! Aku harus yakin dulu kalau memang itu Cakka,” gumamku sendiri. Kuintip dari balik jendela kamarku, lagi-lagi sepotong awan kumulus yang menemaniku malam ini.
”Hai kamu, kita sendiri lagi malam ini. Apakah kamu bisa melihat Cakka-ku dari atas sana? Tolong sampaikan salam rinduku untuknya, ya..” Sejenak kutatap awan kumulus tersebut dan membayangkan Cakka menatap awan yang sama malam ini.
***
”Very good, Ashilla! I'm sure program Amazing Trip ini akan bakal mengikuti sukses acara Komar,” puji Pak Duta.
”Amin, Pak. Tapi tentunya semua tak akan berhasil tanpa tim saya di sini.” Seluruh anggota tim dan kru yang ikut menonton tayang perdana program Amazing Trip bertepuk tangan dan semua terlihat bahagia.
”Om bangga padamu, Shilla.” Om Dave menepuk-nepuk bahuku.
”Terima kasih, Om. Sekarang silakan semua menikmati hidangan yang sudah disediakan.” Aku mempersilakan seluruh yang hadir di studio untuk menyantap nasi tumpeng yang telah kupesan. Setelah semua sibuk sendiri-sendiri, aku menyelinap keluar dan kembali ke kantorku. Aku ingin mencari lagi informasi tentang kelompok extreme sport.
Baru saja kubuka laptopku, pintu ruangan diketuk dan kepala Gabriel menyembul dari baliknya.
”Shil, gue dapat nih informasi yang lo cari.” Gabriel menyerahkan secarik kertas padaku.
”Bener ini kelompok extreme sport yang waktu itu shooting di Lido?” Aku memang meminta bantuan Gabriel untuk ikut mencari keberadaan kelompok itu. As a true friend, Gabriel melaksanakan tugasnya tanpa banyak komentar.
”Bener. Gue kan udah cek. Tapi, sorry, mereka nggak kenal yang namanya Cakka.”
”Oh?” Aku spechless.
”Gue udah telepon ke mereka untuk menanyakan Cakka, tapi mereka bilang nggak ada yang namanya Cakka di sana. Dan saat gue tanya apa ada bekas pilot yang gabung sama mereka, jawabnya nggak ada.”
”Oh, I see. Mungkin dia di kelompok yang lain.”
”Ya, mungkin aja. Sorry, cuma itu yang bisa gue bantu, Shil.”
”Sip, thanks, ya.” Gabriel keluar ruangan dan aku menatap tulisan di kertas tersebut; 'Extremeezport' dan nomor telepon daerah Bandung.
Tanpa membuang waktu, aku langsung meraih telepon dan menghubungi nomor telepon itu.
”Halo, apa benar ini base camp Extremeezport?” tanyaku begitu tersambung.
”Ya betul. Boleh saya tau dari mana ini ya?” Terdengar suara perempuan yang menjawab telepon.
”Nama saya Ashilla. Saya dari sebuah stasiun televisi di Jakarta. Saya ingin sekali bertemu dan berbincang dengan anggota Extremeezport, apakah saya bisa membuat janji?”
”Oh, maaf, kami sudah teken kontrak dengan stasiun televisi lain di Bandung, jadi jadwalnya sedikit padat karena harus shooting keluar kota, sepertinya agak susah ya.”
”Ya, ya saya mengerti. Kalau boleh tahu, anggota Extremeezport ini bisa melakukan olahraga ekstrem apa saja ya?”
”Semua yang ekstrem bisa mereka lakukan. Mereka profesional, Bu.”
”Oh begitu. Boleh saya tahu di mana jadwal shooting selanjutnya?”
”Sumatra Utara, di Sungai Asahan.”
”Olahraganya apa?”
”Arung jeram.”
Kuketik lokasi tersebut di Google Search dan menemukan banyak gambar-gambar arung jeram dengan kata kunci 'arung jeram asahan'.
”Lokasi ini sangat ekstrem, Bu,” kata si penerima telepon tadi. ”Kabarnya ini arung jeram ketiga tersulit di seluruh dunia.”
Setelah membaca-baca informasi yang tersedia mengenai arung jeram di Sungai Asahan, aku pun mencari lokasi yang tepat untuk tempat shooting Amazing Trip. Lokasi tersebut harus tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Jadi bisa sebagai alasan untuk mencoba arung jeram yang ada di sana. Sekali menyelam, dua tiga pulau terlampaui, kan? Senyumku lebar dan harapanku tinggi bisa bertemu Cakka di sana. Tiga minggu lagi aku akan bisa bertemu dengan Cakka-ku. Aku yakin!
***
Semua persiapan sudah matang, dan Zeva pun sudah kuberi pengarahan sepanjang jalan menuju bandara. Wajah cantiknya sedikit pucat ketika aku mengatakan bahwa nanti dia pun harus ikut merasakan arung jeram agar lebih real dan natural.
”Apa saya harus ikut, Bu?” tanyanya.
”Iya! Kan sudah ada dalam kontrak kerja kamu kalau kamu mencoba pengalaman apa pun yang ditawarkan di daerah yang dikunjungi.”
”Ya, tapi...”
”Kita nanti ambil jalut yang paling ringan kok, tenang saja.”
”Tapi, Bu, kita bukannya mau meliput Danau Toba?”
”Iya, Sungai Asahan itu hulunya di Danau Toba. Masih satu jalur, kan?”
Sepanjang perjalanan, dalam pesawat Zeva yang biasanya banyak celoteh kini diam saja melihat keluar jendela pesawat. Kemurungannya yang tiba-tiba ini kuartikan karena dia takut mengarungi arung jeram. Kuhela napas panjang. Memang susah kalau punya host cengeng.
”Ze, biar nanti saya saja yang mencoba arung jeramnya. Kamu dari pinggir saja menggambarkan situasi yang ada, gimana?”
”Betulan, Bu? Saya nggak perlu nyebur?” tanyanya dengan wajah berbinar-binar.
”Iya...”
”Terima kasih, Bu, terima kasih.. Saya soalnya takut, karena saya pernah dengar di arung jeram Sungai Asahan itu pernah ada yang jatuh dan meninggal.”
Eh? Glek! Aku menelan ludah dengan susah payah. Ada yang pernah meninggal? Ini informasi baru, aku kok lupa mencari di internet tentang korban arung jeram di sana.
***
Di bandar udara, dua bus ukuran tanggung sudah menunggu rombongan kami. Memang Om Dave paling top deh! Bus ini milik perusahaan sewa keluarga kami yang disewa oleh Om Dave untuk mengantar kami ke mana-mana. Untuk hotelnya pun tak tanggung-tanggung, hotel paling dekat dengan Danau Toba dan mendapat kamar dengan pemandangan yang paling bagus.
Kami diajak berkeliling dahulu sebelum ke hotel untuk menikmati panorama Kota Medan di sore hari. Baru setelah perut kenyang dan mata mengantuk, kami masuk hotel. Tak disangka-sangka, aku bertemu lagi dengan Angel.
”Kurasa lama-lama kita bisa jadi teman,” ujar Angel dengan nada sinisnya yang belum sembuh juga.
”Kau jauh sekali dari Bandung, Njel,” kataku mengimbangi sarkasmenya.
”Kau sendiri, kerja atau sekalian mudik? Mumpung dibayari kantor?”
Aku hanya tertawa. Dalam hatiku penasaran dan ingin bertanya apakah dari anggota Extremeezport ada yang bernama Cakka pada Angel. Tapi aku tahu model perempuan ini. Dia nggak akan dengan mudah melepaskan sepotong informasi dengan mudah.
”Well, kurasa nanti malam aku harus memesan kopi panas ke kamar kalau begini caranya.” Angel melenggang masuk ke dalam lift.
Kuhampiri meja resepsionis untuk menanyakan apakah ada tamu bernama Cakka di hotel ini.
”Maaf, Bu, data tamu tak bisa kami berikan begitu saja. Kami harus menjaga privasi mereka.”
Wajahku sedikit memerah mendengarnya. Dia pikir aku mau membunuh seseorang di hotel ini? Tapi aku sangat mengerti peraturan yang mereka terapkan dan memilih untuk duduk-duduk di kafe, berharap rombongan Extremeezport akan datang untuk makan. Namun, dua jam aku duduk menunggu, tak ada satu pun wajah yang kukenal masuk ke kafe. Menelan rasa kecewa, kuputuskan untuk kembali ke kamar. Tomorrow is a big day!
Kusingkap jendela kamar hotel dan memandang keluar sambil bergumam, ”Hey kumulus, apakau kau ada di atas sana?” tanyaku sambil mencari-cari di langit yang cukup cerah malam ini. Tiba-tiba di sisi kanan aku melihat gumpalan awan asperatus. Awan ini berbentuk mirip angin tornado, dengan lilitan-lilitan awan yang memutar.
”Kenapa ada awan itu di sini? Apakah besok akan ada sesuatu yang buruk?” tanyaku dalam hati. Perasaanku tiba-tiba tak enak.
***
(Author P.O.V)
Sementara itu, di bagian tempat lainnya, Cakka–yang ternyata masih hidup–terbangun dari tidurnya yang sebenarnya masih resah. Tangannya mengucek-ucek matanya sebelum kemudian memutuskan mengangkat telepon yang masih saja berdering itu.
”Kka...” Suara ibunya membuat dirinya langsung terserang rindu.
”Ibu? Ibu baik-baik saja?”
”Ibu baik, Nak.” Meskipun samar, dia bisa mendengar getar sedih di suara ibu itu. ”Kamu sekarang di mana?”
”Di Medan.”
Sejenak pembicaraan singkat itu terhenti.
”Sampai kapan kamu mau begini, Nak?”
Cakka diam.
”Ibu tau kamu patah hati....”
”Ibu, Cakka baik-baik saja, sekarang yang penting Ibu sehat dulu ya,” kata Cakka, buru-buru memotong ucapan ibunya. ”Kalau urusan Cakka di Medan sudah selesai, Cakka akan ke Singapura menjenguk Ibu.”
”Tapi kamu jangan melakukan hal-hal yang aneh ya.”
”Iya, Bu, Cakka cuma olahraga saja kok di sini.”
”Olahraga kok jauh sekali sih, Nah? Pake keluar kota segala.”
”Karena tempat olahraganya cuma ada di Medan.”
”Olahraga apa sih?”
”Nanti saja ya kalau Cakka jenguk Ibu, akan Cakka ceritakan. Sekarang Ibu istirahat ya.”
Untung ibunya tidak membantah. Dengan suara lirih, dia mengucapkan selamat tinggal dan sekali lagi mengingatkan Cakka untuk berhati-hati selama di Medan. Cakka mengiyakan. Tapi tidak untuk janji bahwa hatinya akan baik-baik saja.
Dia masih memikirkan Shilla. Dan itu membuatnya semakin terhanyut dalam kesibukannya saat ini. Dia butuh alasan untuk melupakan cewek itu.
***
(Ashilla P.O.V)
”Rise and shine!” Kuketuk kamar Zeva yang masih tertutup. Tak ada jawaban. ”Zeva? Zevana..?” panggilku berulang-ulang, namun tak ada juga sahutan dari dalam. Setelah kurang lebih lima menit Zeva belum juga membuka pintu dan tingkahku mulai menarik perhatian tamu-tamu lain, barulah Zeva membuka pintu kamarnya. Tampangnya acak-acakan dan sepertinya dia tidak sehat. Kuletakkan punggung tanganku di keningnya.
”Badan kamu panas sekali! Kamu sakit?”
”Sebenarnya dari kemarin saya sudah nggak enak badan, Bu.”
”Kenapa kamu nggak bilang?”
”Saya takut dianggap melanggar kontrak.”
”Saya kan bukan orang yang kejam, Ze. Ya sudah sekarang kamu tiduran lagi saja, saya panggilkan dokter untuk memeriksa kamu.”
Kuminta pihak hotel untuk memanggil dokter dan menugaskan seorang kru wanita untuk menemani Zeva di hotel. Mungkin ini arti kemunculan awan asperatus semalam.
”The show must go on. Ayo yang lain berangkat.”
Bus berangkat menuju lokasi Amazing Trip yang sudah kami survei kemarin sore. Karena host-nya tidak ada di tempat, kameramen hanya merekam suasana di sekitar lokasi tempat wisata dan kami pun hanya sebentar untuk kemudian menuju Sungai Asahan untuk merasakan arung jeram di sana.
”Kami ingin yang level paling ringan saja,” kataku kepada petugas pendaftaran.
”Sudah pernah arung jeram sebelumnya?”
”Sudah, di Sukabumi.”
Kami diberikan pelampung dan helm untuk keamanan. Lalu kami dipersilakan mengambil dayung masing-masing.
”Baik, mohon semua berkumpul.”
Seorang instruktur dipanggil untuk memberikan pengarahan pada kami mengenai cara memegang dan mendayung dengan benar, cara duduk di perahu karet, juga apa yang harus kita lakukan jika terlempar dari perahu.
”Ikuti saja arusnya, jangan khawatir karena tim kami akan segera menolong Anda. Kami ada di sepanjang sungai untuk mengawasi.”
Setelah briefing selesai, kami pun siap untuk mengarungi jeram di level paling rendah. Bukankah promosi daerah di Amazing Trip ditujukan untuk menarik orang datang mengunjungi daerah tersebut?
Seorang kameramen siap mengabadikan gambarku saat berada di atas perahu karet. Sebelum perahu kami dilepas ada sebuah perahu karet yang ditumpangi empat orang laki-laki dan seorang pemandu melintas.
”Mereka sudah profesional, dan sekarang mau menuju level yang paling ekstrem, namanya Nightmare.” Pemandu kami menjelaskan. Aku menatap perahu karet mereka yang menjauh dan berharap semoga Cakka tak termasuk rombongan Nightmare itu.
”Namanya saja sudah seram sekali ya?” celutuk salah seorang kru.
”Makanya kita sih di level ringan aja ya, Bang, jangan pakai dibalik perahunya, oke? Nanti kuberi tip yang banyak!” tambah kru yang lain. Kami semua tertawa nervous.
”Siap?” Seseorang memberi aba-aba dan perahu karet kami leuncur. Belum apa-apa, goyangan air Sungai Asahan mulai terasa dan perahu kami naik turun mengikuti arus. Kameramen berada di perahu lain di depan dan sibuk mengabadikan momen tersebut. Aku tak sempat memikirkan tampil cantik untuk kamera, karena harus berjuang keras mendayung agar perahu tetap maju dan stabil. Tapi sulit rasanya membuat perahu tetap stabil dalam kondisi seperti ini.
Sepuluh menit kemudian, aku mulai menyesal naik arung jeram ini. Kenapa aku nggak duduk manis saja di atas menunggu rombongan Extremeezport datang? Kenapa juga harus ikut terjun? keluhku dalam hati. ”Karena pekerjaan! Pekerjaan! Pekerjaan!” Sebuah bisikan terdengar memberiku kekuatan.
”Kiri!” Pemandu kami memberi aba-aba dan kami mendayung sebelah kiri.
”Kanan!” Gantian sisi kanan yang mendayung.
”Berapa jauh?” tanyaku. Perahu karet yang tadi melintas sebelum kami sudah tak terlihat sama sekali. Mungkin mereka mendayungnya lebih kuat dari pada kami yang cuma karyawan biasa.
”Dua setengah kilo!” jawab si pemandu. Tiba-tiba dia menoleh ke belakang dan...
Wajahnya berubah.
”Berapa jauh lagi kita?” tanya seorang kru perempuan yang tampaknya sudah kelelahan.
”Satu kilo lagi.” Pemandu itu kembali menoleh ke belakang dan aku penasaran dengan apa yang dilihatnya.
”Ada apa sih? Ada buaya ya?” Kelakarku tapi sebenarnya takut juga kalau benar ada buaya.
”Bukan, arusnya sepertinya tambah kuat. Ini tidak seperti biasanya.”
”Masa sih?” tanyaku mulai panik.
”Kiri! Kita mencari tempat untuk berhenti!” teriak si pemandu. Kami pun dengan panik mendayung di sebelah kiri agar perahu lebih cepat menepi. Namun, apa daya tiba-tiba perahu oleh karena arus kuat yang menghantam ditambah baru besar yang seolah tiba-tiba muncul di hadapan kami. Aku dan seorang kru perempuan yang duduk di depanku terlempar jatuh dari perahu karet.
”Ada yang jatuh! Ada yang jatuh!”
”Bu Shilla!”
”Dea!”
”Tolong, ada yang jatuh!”
Sebenarnya aku ingat pesan dari instruktur tadi di atas bahwa jika terlempar ke sungai jangan panik, ikuti saja arus dan menunggu seseorang datang menjemput. Tapi makin jauh aku terseret arus kok belum ada juga yang menolongku? Sekarang aku benar-benar panik.
”Tolo... blep! Blep!” Air masuk dengan semena-mena begitu aku membuka mulut untuk berteriak ketika melewati rombongan yang sedang beristirahat di pinggir sungai.
”Tolong..! Tolong...!” Helmku sudah miring ke mana-mana dan aku tak dapat melihat orang lain di sekelilingku.
”Saya pernah dengar di arung jeram Sungai Asahan itu pernah ada yang jatuh dan meninggal.” Terngiang kembali ucapan Zeva kemarin di atas pesawat, dan semalam aku melihat awan asperatus! Oh Tuhan, selamatkan aku, jeritku dalam hati.
Aku tak tahu berapa lama aku terseret arus yang mengerikan ini, badanku sakit karena terbentur-bentur. Tak hanya itu, kepalaku, kakiku, semua sudah berkenalan dengan batu-batu di sungai ini. Tapi aku terus mencoba melambaikan tangan berharap ada yang melihat, siapa pun itu. Aku sudah tak melihat lagi ke mana arus membawaku. Semoga tidak ke Nightmare, doaku dalam hati. Tiba-tiba sepasang tangan kekar menggapai pelampungku dan memegangnya dengan kuat. Sejenak kami berdua terseret arus tapi kemudian penolongku tersebut menarikku dengan sekuat tenaganya menuju pinggir sungai. Arus yang kuat membuatnya sedikit kesulitan, tapi akhirnya kami pun sampai juga ke pinggir sungai.
”Ayo cepat tarik! Tarik!” Terdengar beberapa orang berteriak. Aku memejamkan mataku karena ketakutan yang luar biasa. Tubuhku bergetar hebat. Dalam hatiku tak berhenti-henti mengucap syukur karena telah lolos dari maut.
Aku merasakan tubuhku dibopong dan perlahan penolongku membaringkan aku di tanah. Aku masih belum berani membuka mataku, tapi saat orang tersebut menyibak rambut yang menutupi wajahku, dia seperti terhenyak dan memanggil namaku.
”Shilla?”
Aku mengenali suaranya. Suara yang selama ini kurindukan, suara yang menjawab tebakan-tebakan awan saat kami terbang berdua, suara lembut yang terakhir kudengar sebelum tidur. Perlahan kubuka mataku.
”Cakka...”
Spontan Cakka memelukku dan pecahlah tangisku. Oh Tuhan, terima kasih. Selesai sudah penantianku. Akhirnya aku menemukan Cakka-ku kembali.
”Aku... nyariin kamu... ke mana-mana, Kka...” kataku di antara sedu sedanku. Cakka mengeratkan pelukannya.
”Oh, Shilla, maafkan aku.”
”Please jangan tinggalin aku lagi, Kka..”
Kutumpahkan semua tangisku di dadanya. Semua kesedihan yang selama ini kurasakan sendiri. Duka yang mendalam karena ditinggal kekasih hati. Dan malam-malam yang sepi saat aku terbangung karena memimpikannya. Seiring ringannya beban dalam dadaku, tangisku pun mereda.
Cakka menatapku sesaat dan mencium keningku dengan sangat lembut membuat kupu-kupu kecil dalam perutku beterbangan ke sana sini.
”Nggak akan.”
Dan saat itu, aku tak punya pilihan lain kecuali percaya.
#TAMAT
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar